Laura mengembuskan napas pelan bernada keluhan, mendengar ucapan Harper. Wanita itu memijat pelan keningnya. “Aku sakit kepala, Sayang,” ucap Laura mencari alasan.
Harper terlihat kecewa. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Hanya raut wajah masam yang menjadi penanda rasa tak suka, atas sikap ibunya.
Melihat ekspresi Harper, membuat Laura merasa tak tega. Wanita cantik berambut pirang itu mengembuskan napas pelan, lalu mengarahkan perhatian pada Christian. “Baiklah. Tapi, sebentar saja,” putusnya. Meskipun tampak jelas rona keterpaksaan, tapi Laura berhasil membuat Harper kembali tersenyum.
Begitu juga dengan Christian. Pria dengan rambut agak gondrong itu segera membalikkan badan menuju mobil, sambil tersenyum. Dia tak memiliki niat mencari perhatian lebih dari Laura karena
“Ada delapan puluh persen orang di dunia yang memiliki iris mata gelap. Tak ada yang salah jika Harper menjadi salah satunya,” jawab Laura, seraya memasukkan satu sendok es krim ke mulut. Dia berusaha terlihat setenang mungkin, agar Christian tak dapat membaca keresahan yang hadir dan mengusik. Membuatnya merasa tak nyaman.Christian tersenyum kalem, seraya melakukan hal yang sama seperti Laura. Coffee ice cream yang disantap pria itu jadi terasa berbeda, saat dinikmati sambil berhadapan dengan Laura. “Memang tidak ada yang salah. Namun, seingatku warna mata Lewis berbeda,” balas Christian tenang. Dia menatap wanita cantik di hadapannya, sambil memegangi sendok kecil dengan tangan kanan. “Aku tidak terlalu paham akan rumus percampuran gen,” ujarnya lagi.“Maksudmu?” tanya Laura tak mengerti.
“Aku akan mengantarmu pulang terlebih dulu,” ucap Christian, setelah menutup sambungan telepon. Dia tak terlihat tenang lagi seperti tadi. “Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Laura penasaran. “Aku harus segera ke rumah sakit,” jawab Christian. Raut wajahnya tampak gelisah. “Apa terjadi sesuatu dengan Delila?” tanya Laura lagi, kian penasaran. Christian tak segera menjawab. Dia terus menatap lurus ke depan, seperti tak ada niat memberikan penjelasan pada Laura yang menatap penuh harap, agar diberi tahu apa yang terjadi sebenarnya. Laura yang awalnya setengah menghadapkan tubuh pada Christian, terpaksa kembali menatap ke depan sepenuhnya. Walaupun sudah berpisah lama, tetapi dia belum lupa dengan karakter sang mantan suami. Christian tak akan bicara, jika dirinya tak berkehendak. Dia tak peduli, meskipun telah membuat orang lain begitu penasaran. “Kita langsung ke rumah sakit saja,” ujar Laura, setelah terdiam beberapa saat. Christian tak menyahut. Namun, pria itu sempat menoleh pa
Christian memperhatikan Laura yang masih menggendong Mairi, sambil sesekali mengusap-usap punggung serta mencium anak itu. Pengusaha tampan tersebut merasa heran karena sang putri tidak menolak, saat diperlakukan demikian oleh Laura. Biasanya Mairi selalu membatasi diri dari orang yang tidak benar-benar dekat. Terlebih, jika masih asing baginya. Sang pemilik Lynch Company tersebut tak mengalihkan tatapan sedikit pun, hingga Laura tiba-tiba menoleh dan memberi isyarat bahwa Mairi sudah tertidur lelap.“Sepertinya Mairi kelelahan. Apa dia sudah makan?” tanya Laura, sebelum memberikan anak itu pada Christian.Christian mengangguk. “Aku selalu memastikan perutnya terisi, sebelum melakukan apa pun,” jawab pria itu yakin.“Dia pasti sangat sedih. Aku bisa merasakann
“Wanita apa maksudmu?” tanya Christian pura-pura tak mengerti.“Wanita yang membuatku harus melarikan diri darimu,” jawab Laura pelan.Christian menatap lekat wanita cantik di hadapannya. Keraguan itu tampak kian jelas, dalam sepasang iris gelap pengusaha tampan tersebut. “Kau tak perlu tahu siapa wanita itu,” ucapnya.“Apakah dia terlalu berarti untukmu?”Lagi-lagi, Christian terlihat ragu. Namun, akhirnya dia mengangguk. “Dia sangat berarti. Akan tetapi, aku telah mengembalikan perasaan tersebut dan menguburnya dalam-dalam. Setelah perpisahan kita waktu itu, aku juga melepaskan segala hal yang berkaitan dengan cerita masa lalu,” jelasnya tenang.
“Oh, bagaimana kau bisa berpikir demikian?” Laura kembali tertawa renyah. “Bukankah itu benar, Bu?” Harper menatap Laura, dengan sorot tak dapat diartikan. Laura menghentikan tawa, lalu mencubit pipi putri kecilnya. Dia menggeleng pelan. “Aku sudah lama mengenal ayah Mairi. Namun, dia tidak menyukaiku … maksudku ini tak seperti yang kau pikirkan, Sayang,” jelasnya lemah-lembut.“Lalu, kenapa dia terus tersenyum padamu?” tanya Harper lagi.“Kau tahu dari mana bahwa dia terus tersenyum padaku?” Laura balik bertanya. “Hmm.” Harper mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagu, seakan-akan tengah berpikir. “Waktu di kedai es krim, paman tampan itu berkali-kali melihat ke arahmu sambil tersenyum. Kau tidak melihatnya karena sedang makan es krim, Bu.” “Oh, ya?” Kali ini, giliran Laura yang menggerakkan bola mata ke kiri dan kanan, seolah-olah tengah memikirkan sesuatu. “Aku memang tidak tahu,” ucapnya. “Kalau begitu, apa kau mau tinggal di sini, Bu?” Laura mengembuskan napas bernada keluhan, di
Laura tertegun beberapa saat, tanpa melepaskan genggaman tangan dari pergelangan Harper. Pandangan ibu dan anak itu sama-sama tertuju pada seseorang, yang berdiri di dekat sedan pinggir jalan depan kediaman Keluarga Pearson. Pria dengan T-Shirt hitam berlapis jaket kulit cokelat. “Hai, Haper!” sapa gadis kecil dengan setengah berseru. Dia menyembulkan kepala lewat jendela kaca mobil. “Hai, Mairi!” balas Harper seraya melambaikan tangan. Kedua gadis kecil itu saling melempar senyum lucu yang terlihat sangat menggemaskan. “Maaf. Mairi memaksa ingin bertemu Harper,” ucap pria yang tak lain adalah Christian. “Hari ini putriku tidak berangkat ke sekolah.” Christian sedikit kikuk, saat berhadapan langsung dengan Laura. Namun, pengusaha yang makin terlihat menawan di usia empat puluh tahun itu berusaha tetap terlihat tenang serta berwibawa. Laura tersenyum kecil seraya mengangguk pelan. Perhatiannya langsung tertuju pada Mairi, yang kali ini bahkan mengeluarkan sebagian tubuh melalui
“Mengapa kau berpikir demikian?” Christian memicingkan mata seraya menoleh pada Laura, yang lebih memilih menatap ke depan. “Aku tidak bermaksud membuatmu begitu. Namun, lihatlah kebahagiaan Harper dan Mairi atas kebersamaan mereka. Kurasa putri kita cocok dan bisa berteman baik.”“Aku tidak mempermasalahkan dan justru senang melihat keakraban mereka. Akan tetapi, kau tahu kami harus kembali ke Amerika. Sementara Harper menolak ikut karena merasa nyaman di sini. Dia mengatakan senang memiliki teman baru dan berkali-kali menyebut nama Mairi. Aku hanya …..” Laura mengembuskan napas pelan karena merasa serba salah.“Putrimu anak yang cerdas. Dia pasti paham jika diberi pengertian. Aku biasa melakukan itu pada Mairi. Meskipun terkadang … ya kau tahu sendiri seperti apa karakter anak seusia mereka.
Laura baru selesai menata meja makan, ketika Emma muncul dari lantai dua. “Apa kau akan pergi?” tanya ibunda Harper tersebut, melihat penampilan saudara kembarnya yang sudah rapi. Emma mengenakan celana jeans ketat yang dipadukan T-Shirt press body berlapis jaket. Dia juga mengikat rambut panjangnya.Laura menatap heran karena Emma berpenampilan seperti itu di malam hari. “Kau mau ke mana?” tanya wanita itu lagi, berhubung saudara kembarnya tak memberikan jawaban.“Jamie mengajakku keluar.” Akhirnya Emma bicara, meskipun sambil mengunyah apel yang diambil dari keranjang buah.“Dengan baju seperti itu?” Laura menautkan alis.“Ya. Apanya yang salah?” Emma tak melanjutkan percakapan, berhubu