Lewis terdiam memandangi amplop yang diberikan Laura. Dia tak tahu apa isinya. Rasa penasaran muncul. Pria tampan itu memberi isyarat, seakan bertanya.
Namun, Laura tidak memberikan penjelasan. Ibunda Harper tersebut hanya tersenyum kecil, seraya membalas dengan isyarat pula agar Lewis segera membuka amplop tadi.
“Kuharap ini bukan sesuatu yang mengejutkan,” ujar Lewis, masih terlihat tenang. Akan tetapi, raut wajahnya seketika berubah tegang, saat mengeluarkan dua lembar foto dari dalam amplop itu. Lewis diam membeku. Otaknya bekerja keras. Antara merangkai kata yang akan dijadikan sebagai penjelasan kepada sang istri, juga mencoba memahami apa yang terjadi dan akan dihadapinya setelah ini.
“Aku bisa menjelaskan semua padamu. Sungguh,” ucap Lewis setelah terdiam beberapa sa
“Haruskah?” Lewis mengalihkan mode panggilan ke loudspeaker sehingga Laura dapat mendengar apa yang Christian katakan. “Aku hanya ingin membuktikan kecurigaan tentang status Harper. Kurasa tak ada salahnya. Iya, kan?” Lewis dan Laura saling pandang. “Bukankah sudah kutegaskan kemarin tentang hal itu? Kenapa kau masih keras kepala?”“Aku akan memperjuangkan apa yang menurutku benar. Terlebih, untuk sesuatu yang merupakan milikku. Jika kau ataupun Laura tak menyembunyikan kebenaran seperti informasi yang kudapat kemarin, kalian berdua tak perlu merasa takut? Lagi pula, ikatan darah antara ayah dengan putrinya tak akan terputus, meskipun dipisahkan belasan ribu kilometer. Kami pasti akan tetap dipersatukan Tuhan.”Christian begitu percaya diri dengan apa yang diucapkan tadi. Kali ini, pria tampan tiga puluh enam tahun tersebut yakin bahwa kebenaran akan didapat dengan melakukan tes DNA. Sementara itu, di pihak Laura dan Lewis pun tak ada pilihan selain menyetujui. Keesokan harinya.
Entah mengapa, perasaan Laura begitu sakit melihat sorot kecewa yang terpancar dari sepasang iris gelap Christian. Apa yang pria itu katakan pun membuatnya merasa jadi wanita paling hina. Laura seperti dapat merasakan sakit hati yang tergambar jelas di wajah sang mantan suami. Terlebih, saat menyaksikan langkah gagah Christian yang makin menjauh, hingga akhirnya hilang di balik dinding rumah sakit. Ketika dalam perjalanan pulang, Laura tak banyak bicara. Ada rasa sesal mendalam, mengingat semua yang telah dilakukannya. Ya. Demi mendapatkan hasil negatif dari tes DNA yang dilakukan, dia dan Lewis nekat memberikan sampel yang bukan milik Harper. Segala alasan Lewis kemukakan, saat petugas laboratorium meminta mengambil sampel secara langsung dari bayi tiga bulan tersebut. “Apakah kita sudah melakukan kejahatan?” tanya Laura pelan, seperti pada diri
Ragu. Laura hanya menatap deretan angka yang tertera di layar telepon genggam. Dia tak berani menjawab panggilan masuk itu. Ibunda Harper tersebut memilih mengabaikan. Dia menutup pintu belakang mobil, lalu masuk melalui pintu sopir.Setelah memasang sabuk pengaman serta mengenakan kacamata hitam, wanita cantik yang kini sudah menginjak usia dua puluh sembilan tahun tersebut bersiap menyalakan mesin mobil. Akan tetapi, dering panggilan dari nomor tadi kembali terdengar. Laura mengembuskan napas pelan. Terpaksa, dia menerima panggilan itu.“Laura Bellingham di sini. Ada yang bisa dibantu? Boleh kutahu dengan siapa ini?”“Nyonya Bellingham?” Terdengar suara seorang pria dari ujung telepon.“Ya, aku. Anda siapa?
“Hallo,” sapa Laura. “Apa kau sibuk?” tanya Emma. “Aku sedang di makam Lewis. Ada apa?” “Nanti saja kuhubungi lagi.” “Baiklah.” Laura menutup sambungan telepon. Dia kembali fokus pada niat awal datang ke makam Lewis, yang selalu dikunjungi setiap minggu.Tiap kali berkunjung, Harper selalu membawakan bunga yang berbeda. Dia juga biasa bercerita banyak hal, di depan nisan Lewis. Gadis kecil itu tak pernah tahu bahwa Lewis bukanlah ayah kandungnya. Selama menjalani pernikahan dengan Lewis, Laura belum dikaruniai buah hati. Namun, itu tak menjadi masalah besar. Lagi pula, Lewis begitu menyayangi Harper. Dia bersikap seolah anak itu merupakan darah dagingnya. “Apa ayah tidak kelaparan, Bu?” tanya Harper tiba-tiba sehingga membuyarkan lamunan Laura. “Kau selalu menanyakan itu, tiap kali kita kemari,” ucap Laura, seraya menyentuh pucuk kepala putrinya. Harper tak segera menjawab. Dia memperhatikan makam Lewis. “Apakah ayah tahu kita datang dan membawakan bunga untuknya?” tanya gadi
Emma langsung menoleh ke sumber suara. Wanita itu terkejut luar biasa, mendapati seorang pria yang tak lain adalah Christian. “Ah, apa-apaan ini?” ucapnya dalam hati.“Emma?” Christian menaikkan sebelah alis, disertai tatapan aneh pada saudara kembar Laura tersebut. Satu hal yang menjadi perhatian pengusaha tampan itu, ialah gadis kecil di dekat Emma. Christian menatap lekat Harper, yang tengah asyik menikmati camilan.Merasa tak ada hal penting yang harus dibahas dengan Emma, perhatian Christian beralih pada Mairi. “Ayo, Nak. Kita harus pulang,” ajaknya.Namun, Mairi justru memalingkan wajah sambil melipat kedua tangan di dada. “Aku tidak mau pulang, sebelum melihat Delila,” tolak gadis kecil berambut cokelat itu.
Keesokan harinyaGrace diizinkan pulang oleh dokter yang menanganinya selama dirawat di rumah sakit. Dia dijemput oleh Jamie dan diantar hingga ke rumah. Di rumah, Laura sudah menyiapkan aneka masakan untuk menyambut kepulangan sang ibunda. Dia memasak makanan khusus untuk Grace, berhubung wanita itu belum diperbolehkan mengonsumsi sembarang makanan. Grace harus benar-benar memperhatikan asupan gizi yang masuk ke tubuhnya. Wanita paruh baya tampak sangat bahagia. Satu minggu menjalani perawatan di rumah sakit, tak lagi diingat setelah bertemu langsung dengan Harper. Selama ini, mereka hanya bertegur sapa lewat telepon dan sambungan video call. “Aku turut berduka cita atas kepergian suamimu,” ucap Jamie.“Terima kasih, Tuan Carson,” balas Laura berusaha terlihat biasa. “Sudah lewat tiga bulan dan aku harus melanjutkan hidup.” Wanita itu tersenyum kelu. “Ayahku pun begitu ketika ibu tiada. Dia menghabiskan waktu untuk menggeluti hobi dan segala hal yang bisa membuatnya sibuk,” ujar
Laura menoleh ragu. Seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak. Di sebelahnya ada pria tampan berambut gelap, yang sudah sekian lama dilupakan. Pria yang juga tengah menatap kepadanya.Rasa terkejut luar biasa, tergambar jelas dari paras tampan si pemilik rambut gelap yang tak lain adalah Christian. Dia tak percaya bisa bertemu lagi dengan mantan istri, yang selama ini tak ditemui dan berusaha dihilangkan dari ingatan.Mereka saling pandang beberapa saat, sebelum tersadar dan langsung mengalihkan perhatian ke panggung karena pertunjukkan akan segera dimulai. Namun, ekspresi tak nyaman terlihat jelas dari wajah keduanya.Laura menonton aksi para penari balet, sambil meremas pelan tali tas di pangkuannya. Dia melakukan itu demi menghalau perasaan aneh yang mulai mengganggu ketenangan karena kehad
Laura mengembuskan napas pelan bernada keluhan, mendengar ucapan Harper. Wanita itu memijat pelan keningnya. “Aku sakit kepala, Sayang,” ucap Laura mencari alasan.Harper terlihat kecewa. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Hanya raut wajah masam yang menjadi penanda rasa tak suka, atas sikap ibunya.Melihat ekspresi Harper, membuat Laura merasa tak tega. Wanita cantik berambut pirang itu mengembuskan napas pelan, lalu mengarahkan perhatian pada Christian. “Baiklah. Tapi, sebentar saja,” putusnya. Meskipun tampak jelas rona keterpaksaan, tapi Laura berhasil membuat Harper kembali tersenyum.Begitu juga dengan Christian. Pria dengan rambut agak gondrong itu segera membalikkan badan menuju mobil, sambil tersenyum. Dia tak memiliki niat mencari perhatian lebih dari Laura karena
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me