Laura terkejut mendengar ajakan Christian. Setengah tak percaya, dia bertanya, “London? Apa kau akan memulangkanku?” tanyanya lirih.
Namun, lagi-lagi Christian tidak langsung memberikan jawaban. Dia meraih tas dari meja, lalu melangkah ke dekat pintu. Sebelum keluar, pria itu mengambil trench coat yang digantung di tempat khusus. “Kutunggu di bawah. Sepuluh menit.” Setelah berkata demikian, Christian berlalu dari dalam kamar. Meninggalkan Laura dalam pertanyaan tak terjawab.
Sepuluh menit waktu yang diberikan Christian pada Laura untuk bersiap-siap. Seperti biasa, wanita itu tak berpenampilan secara berlebihan. Laura menggerai rambut pirangnya yang bergelombang. Dia melangkah sedikit terburu-buru menuju lantai bawah. Dirinya tak ingin membuat sang suami menunggu terlalu lama. “Di mana Christian?” tanya Laura, s
“Diakah kekasihmu?” tanya Laura sambil menahan Christian yang hendak masuk.Christian menoleh. Namun, seperti biasa. Dia seperti enggan memberikan jawaban.Laura menggeleng. “Aku tidak mau ikut masuk,” tolak wanita itu, seraya melepaskan genggaman tangan Christian dari pergelangannya.“Terserah kau. Duduklah. Jangan pergi ke mana-mana,” pesan Christian dingin. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia masuk. Christian menutup pintu, lalu melangkah ke dekat ranjang di mana Chelsea terbaring.“Apa kau tidur?” tanya Christian datar sambil menatap sang kekasih yang terpejam.Perlahan, Chelsea membuka mata. “Christian? Kau kah itu?” tanyanya memastikan, b
Keesokan harinyaChristian sudah bersiap pergi ke kantor. Seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, hari ini dia akan mengadakan pertemuan penting dengan seorang pengusaha smartphone ternama yaitu Lewis Bellingham.“Sampai jam berapa pertemuanmu berlangsung?” tanya Laura, saat melihat Christian hendak memasang dasi.“Aku tidak tahu. Terkadang, bisa lebih lama dari yang sudah dijadwalkan,” jawab Christian. Dia tertegun, ketika Laura mengambil dasi dari tangannya. Pria itu hanya menatap lekat, saat Laura memasangkan dasi tadi dan merapikannya.“Semoga semuanya lancar,” ucap Laura pelan, seraya merapikan kerah dan bagian lain dari kemeja yang dikenakan sang suami. “Kau punya selera yang bagus dalam berpak
Laura langsung membuka mata, ketika merasakan sentuhan di bibirnya. Dia agak terengah. Setelah Christian menghentikan pertautan itu, barulah Laura dapat bernapas lega. “Kau mengejutkanku,” ucapnya pelan. “Sejak kapan kau tidur?” tanya Christian, seraya menjauhkan wajahnya dari Laura. “Entahlah.” Laura bangkit, lalu duduk bersandar. “Aku … aku bingung harus melakukan apa di sini,” ucapnya merasa konyol. Sesaat kemudian, si pemilik mata biru itu menatap Christian yang hendak masuk ke walk in closet. “Kapan kau datang?”“Baru saja,” jawab Christian sambil terus berlalu. Tak berselang lama, dia muncul lagi dengan hanya mengenakan kemeja putih. Dua dari kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. “Bangunlah. Kita pergi sekarang.” Lagi-lagi, Christian memberikan perintah layaknya seorang atasan terhadap bawahan. “Memangnya kau tidak lelah?” Laura beranjak turun dari tempat tidur. “Aku sangat lelah,” sahut Christian. “Memangnya kau tidak risi
Christian telah selesai berpakaian. Namun, Laura tak juga kembali ke kamar. Pria itu menjadi penasaran. Akhirnya, dia memutuskan keluar mencari sang istri. Sambil melangkah menyusuri koridor, Christian berkali-kali mengembuskan napas panjang karena tak habis pikir. Selama ini, dirinya tidak pernah dipusingkan oleh urusan wanita, bahkan Chelsea sekalipun. Kekasihnya itu selalu berusaha menjadi seseorang yang pengertian serta penurut. Akan tetapi, tidak saat menghadapi Laura. Wanita cantik tersebut tak seliar Chelsea. Namun, ternyata mengendalikannya jauh lebih sulit dibanding sang model.“Ke mana dia?” Christian berdiri di ujung koridor, seraya mengedarkan pandangan. Akan tetapi, dia tak menemukan istrinya di manapun. Pria itu melanjutkan langkah menuju bagian lain dari kediaman mewahnya yang luas bak istana. Di sana, Christian bertemu dengan seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga. “Apa kau melihat Nyonya Laura?” tanyanya. “Iya, Tuan
“Ingat baik-baik, Henry. Aku tidak mau melihatmu lagi ada di London,” tegas Emma. Henry tersenyum lebar, setelah mengantongi sejumlah uang dari wanita muda itu. “Tenang saja, Sayang. Sudah kukatakan bahwa aku akan menghilang seperti asap yang tertiup angin,” ujarnya meyakinkan. “Aku akan memikirkan terlebih dulu tempat yang ….”“Kau tidak perlu banyak berpikir!” sela Emma. “Pergilah sekarang juga!” “Hey, Laura. Kau kenapa, Sayang?” tanya Henry dengan raut diliputi keheranan. “Apa yang dirimu takutkan?” selidiknya. Mendengar pertanyaan tadi, seketika Emma diam dan berpikir. Dia juga tak mengerti kenapa dirinya merasa harus membuat Henry pergi jauh dari London, bahkan dari Inggris. Emma terus berpikir. “Apakah kau merasa terancam?” tanya Henry lagi. “Tentu saja tidak,” jawab Emma dingin.“Lalu?” Henry menaikkan sebelah alisnya.Emma menggeleng kencang sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. “Aku h
Setelah mendapat persetujuan, Henry dipersilakan naik ke tempat Jeremy Carson alias Jamie. Setelah sekian lama, akhirnya dia dapat kembali bertatap muka dengan pria yang kini menjadi pengusaha tersebut. “Apa kabar?” sapa Henry. Dia menyodorkan tangan, mengajak Jamie bersalaman.Akan tetapi, Jamie hanya menatapnya, lalu berbalik begitu saja. Pria tampan dengan beberapa tato itu tersenyum sinis, seraya mengambil minuman. “Kupikir kau tak akan berani menampakkan wajahmu lagi di hadapanku,” ucapnya.“Seharusnya tidak. Namun, aku terpaksa,” ujar Henry sambil duduk. Mantan kekasih Emma tersebut diam, seakan tengah memikirkan sesuatu. Sementara itu, Jamie duduk tenang sambil menikmati minuman. “Kuharap kau tidak berlama-lama di sini karena aku sibuk,” uucanya dingin, seraya menggerakkan ujung kaki kanan, yang diletakkan di paha sebelah kiri. Dia meneguk minumannya lagi. “Aku ingin meminta bantuanmu.” Henry yang sudah lama mengenal Jamie, tak banyak bas
Christian mengembuskan napas pendek sambil menatap layar ponselnya. Dia membiarkan panggilan itu hingga berakhir sendiri. Dengan tenang, pria tampan tersebut memasukkan kembali telepon genggamnya ke saku kemeja. “Kenapa tidak dijawab?” tanya Laura bernada menyindir. “Silakan saja. Lagi pula, aku akan keluar dari sini.” Laura membuka pintu. Tanpa memedulikan Christian, dia berlalu dari sana. Meninggalkan pria itu seorang diri. Christian terpaku beberapa saat di ambang pintu. Satu sisi hati pria tampan tersebut ingin menyusul Laura. Namun, ada bisikan yang mengatakan bahwa dirinya tak harus melakukan itu. Dia adalah Christian Lynch. Pantang memberikan bujuk rayu pada seorang wanita, meskipun wanita itu adalah istrinya. Istri? “Astaga,” keluh Christian pelan. Baru saja dia hendak menyusul Laura, dering panggilan kembali terdengar. “Ayolah, Chelsea.” Christian berdecak pelan. Mau tak mau dia harus menjawab panggilan itu, agar sang kekasih tak teru
“Semoga Anda menikmati pesta ini, Nyonya,” ucap Lewis dengan senyum kalem, tetapi terlihat sangat menyebalkan bagi Christian. “Terima kasih. Ini adalah pesta yang sangat luar biasa, Tuan Bellingham.” Laura membalas perlakuan sopan Lewis dengan sanjungan. “Aku ingin semua tamuku merasa puas.” Lewis kembali memamerkan senyum menawannya pada Laura. “Itu sudah seharusnya, Tuan Bellingham. Sebagai tuan rumah, kita wajib memberikan pelayanan terbaik pada tamu yang hadir,” ucap Christian menimpali. “Ya. Anda benar sekali, Tuan Lynch.” Lewis mengalihkan perhatiannya dari Laura. “Baiklah. Silakan nikmati pesta ini.” Pengusaha tampan itu mengarahkan tangan ke bagian dalam aula, sebagai isyarat agar Christian dan Laura berbaur dengan tamu undangan yang lain. “Terima kasih, Tuan Bellingham.” Christian mengangguk samar, sebelum mengajak sang istri meninggalkan Lewis yang akan menjadi relasi bisnisnya. “Pria yang sangat baik dan sopan,” ujar Laura. Entah sadar atau tidak, saat dirinya berkata