Laura langsung membuka mata, ketika merasakan sentuhan di bibirnya. Dia agak terengah. Setelah Christian menghentikan pertautan itu, barulah Laura dapat bernapas lega. “Kau mengejutkanku,” ucapnya pelan.
“Sejak kapan kau tidur?” tanya Christian, seraya menjauhkan wajahnya dari Laura.“Entahlah.” Laura bangkit, lalu duduk bersandar. “Aku … aku bingung harus melakukan apa di sini,” ucapnya merasa konyol. Sesaat kemudian, si pemilik mata biru itu menatap Christian yang hendak masuk ke walk in closet. “Kapan kau datang?”“Baru saja,” jawab Christian sambil terus berlalu. Tak berselang lama, dia muncul lagi dengan hanya mengenakan kemeja putih. Dua dari kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. “Bangunlah. Kita pergi sekarang.” Lagi-lagi, Christian memberikan perintah layaknya seorang atasan terhadap bawahan.“Memangnya kau tidak lelah?” Laura beranjak turun dari tempat tidur.“Aku sangat lelah,” sahut Christian. “Memangnya kau tidak risiChristian telah selesai berpakaian. Namun, Laura tak juga kembali ke kamar. Pria itu menjadi penasaran. Akhirnya, dia memutuskan keluar mencari sang istri. Sambil melangkah menyusuri koridor, Christian berkali-kali mengembuskan napas panjang karena tak habis pikir. Selama ini, dirinya tidak pernah dipusingkan oleh urusan wanita, bahkan Chelsea sekalipun. Kekasihnya itu selalu berusaha menjadi seseorang yang pengertian serta penurut. Akan tetapi, tidak saat menghadapi Laura. Wanita cantik tersebut tak seliar Chelsea. Namun, ternyata mengendalikannya jauh lebih sulit dibanding sang model.“Ke mana dia?” Christian berdiri di ujung koridor, seraya mengedarkan pandangan. Akan tetapi, dia tak menemukan istrinya di manapun. Pria itu melanjutkan langkah menuju bagian lain dari kediaman mewahnya yang luas bak istana. Di sana, Christian bertemu dengan seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga. “Apa kau melihat Nyonya Laura?” tanyanya. “Iya, Tuan
“Ingat baik-baik, Henry. Aku tidak mau melihatmu lagi ada di London,” tegas Emma. Henry tersenyum lebar, setelah mengantongi sejumlah uang dari wanita muda itu. “Tenang saja, Sayang. Sudah kukatakan bahwa aku akan menghilang seperti asap yang tertiup angin,” ujarnya meyakinkan. “Aku akan memikirkan terlebih dulu tempat yang ….”“Kau tidak perlu banyak berpikir!” sela Emma. “Pergilah sekarang juga!” “Hey, Laura. Kau kenapa, Sayang?” tanya Henry dengan raut diliputi keheranan. “Apa yang dirimu takutkan?” selidiknya. Mendengar pertanyaan tadi, seketika Emma diam dan berpikir. Dia juga tak mengerti kenapa dirinya merasa harus membuat Henry pergi jauh dari London, bahkan dari Inggris. Emma terus berpikir. “Apakah kau merasa terancam?” tanya Henry lagi. “Tentu saja tidak,” jawab Emma dingin.“Lalu?” Henry menaikkan sebelah alisnya.Emma menggeleng kencang sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. “Aku h
Setelah mendapat persetujuan, Henry dipersilakan naik ke tempat Jeremy Carson alias Jamie. Setelah sekian lama, akhirnya dia dapat kembali bertatap muka dengan pria yang kini menjadi pengusaha tersebut. “Apa kabar?” sapa Henry. Dia menyodorkan tangan, mengajak Jamie bersalaman.Akan tetapi, Jamie hanya menatapnya, lalu berbalik begitu saja. Pria tampan dengan beberapa tato itu tersenyum sinis, seraya mengambil minuman. “Kupikir kau tak akan berani menampakkan wajahmu lagi di hadapanku,” ucapnya.“Seharusnya tidak. Namun, aku terpaksa,” ujar Henry sambil duduk. Mantan kekasih Emma tersebut diam, seakan tengah memikirkan sesuatu. Sementara itu, Jamie duduk tenang sambil menikmati minuman. “Kuharap kau tidak berlama-lama di sini karena aku sibuk,” uucanya dingin, seraya menggerakkan ujung kaki kanan, yang diletakkan di paha sebelah kiri. Dia meneguk minumannya lagi. “Aku ingin meminta bantuanmu.” Henry yang sudah lama mengenal Jamie, tak banyak bas
Christian mengembuskan napas pendek sambil menatap layar ponselnya. Dia membiarkan panggilan itu hingga berakhir sendiri. Dengan tenang, pria tampan tersebut memasukkan kembali telepon genggamnya ke saku kemeja. “Kenapa tidak dijawab?” tanya Laura bernada menyindir. “Silakan saja. Lagi pula, aku akan keluar dari sini.” Laura membuka pintu. Tanpa memedulikan Christian, dia berlalu dari sana. Meninggalkan pria itu seorang diri. Christian terpaku beberapa saat di ambang pintu. Satu sisi hati pria tampan tersebut ingin menyusul Laura. Namun, ada bisikan yang mengatakan bahwa dirinya tak harus melakukan itu. Dia adalah Christian Lynch. Pantang memberikan bujuk rayu pada seorang wanita, meskipun wanita itu adalah istrinya. Istri? “Astaga,” keluh Christian pelan. Baru saja dia hendak menyusul Laura, dering panggilan kembali terdengar. “Ayolah, Chelsea.” Christian berdecak pelan. Mau tak mau dia harus menjawab panggilan itu, agar sang kekasih tak teru
“Semoga Anda menikmati pesta ini, Nyonya,” ucap Lewis dengan senyum kalem, tetapi terlihat sangat menyebalkan bagi Christian. “Terima kasih. Ini adalah pesta yang sangat luar biasa, Tuan Bellingham.” Laura membalas perlakuan sopan Lewis dengan sanjungan. “Aku ingin semua tamuku merasa puas.” Lewis kembali memamerkan senyum menawannya pada Laura. “Itu sudah seharusnya, Tuan Bellingham. Sebagai tuan rumah, kita wajib memberikan pelayanan terbaik pada tamu yang hadir,” ucap Christian menimpali. “Ya. Anda benar sekali, Tuan Lynch.” Lewis mengalihkan perhatiannya dari Laura. “Baiklah. Silakan nikmati pesta ini.” Pengusaha tampan itu mengarahkan tangan ke bagian dalam aula, sebagai isyarat agar Christian dan Laura berbaur dengan tamu undangan yang lain. “Terima kasih, Tuan Bellingham.” Christian mengangguk samar, sebelum mengajak sang istri meninggalkan Lewis yang akan menjadi relasi bisnisnya. “Pria yang sangat baik dan sopan,” ujar Laura. Entah sadar atau tidak, saat dirinya berkata
“Aku tidak peduli!” Laura berusaha keras mengangkat lutut. Namun, dia cukup kesulitan melakukan hal itu. Laura juga harus berjibaku menghindari Jamie yang terus mencoba menciumnya. “Christian!” Laura mencoba berteriak memanggil sang suami, meskipun tak yakin pria itu dapat mendengar suaranya. “Lepaskan aku, Bajingan!” Laura tak ingin menyerah dengan mudah. “Christian!” Sekali lagi, dia berusaha meminta bantuan. Namun, Jamie tak tinggal diam. Dia tak akan membiarkan Laura meminta pertolongan. Anehnya, tak ada seorang pun yang datang ke sana sehingga Laura harus berjibaku seorang diri. Merasa dirinya tak mampu melawan tenaga Jamie yang terlalu kuat, akhirnya Laura diam seakan pasrah. “Apa maumu?” tanyanya parau. “Aku ingin kau, Sayang. Aku menyukaimu, Laura. Aku ingin kau menjadi milikku,” jawab Jamie pelan dan dalam. Laura berusaha tenang. Dia sadar bahwa posisinya tidak diuntungkan. Laura harus melakukan cara lain untuk melarikan dir
“Katakan ada apa?” tanya Christian lagi tanpa melepas pelukannya. Dia bahkan beberapa kali mengecup pucuk kepala Laura yang basah. Rona cemas tergambar jelas di paras tampannya. “Aku ingin mandi,” jawab Laura sambil terisak. “Tolong mandikan aku,” pintanya seraya kembali berbalik. Christian masih belum memahami apa yang terjadi. Namun, rasa penasaran itu telah membuat dia lupa, akan batasan serta image yang dibangun untuk membentengi dirinya dengan Laura. Christian melipat lengan kemeja hingga tiga per empat. Dia mengambil botol sabun, lalu menuangkan isinya ke shower puff. Setelah itu, Christian menggosokkan perlahan ke seluruh tubuh Laura. Pria tampan berambut gelap tersebut harus berusaha mengendalikan hasrat kelelakiannya, yang terbangkitkan karena melihat seonggok daging putih mulus tanpa cela. Setelah selesai membersihkan tubuh Laura, Christian langsung memakaikan bathrobes putih ke tubuh sang istri. Tanpa diduga, dia juga membopongnya k
“Apa kau serius, Christian?” Laura menatap tak percaya pada sang suami. “Apa kau pernah melihatku bercanda?” “Um, maksudku apakah menurutmu aku aku layak dan … ini terlalu berlebihan.” Laura memasukkan satu suap makanan ke mulutnya. “Kenapa? Kau harus percaya diri bila memang merasa memiliki potensi. Tak ada salahnya mencoba. Aku akan membantu dalam beberapa hal. Kau mengurus yang lain sesuai keahlianmu.” Christian begitu tenang, saat berkata demikian. Dia tak pernah terlihat seperti itu selama Laura mengenalnya. “Pertimbangkan saja dulu. Aku akan memulai semua setelah mendapat keputusan darimu,” saran Christian, setelah beberapa saat tak ada percakapan antara dirinya dengan sang istri. “Iya. Baiklah.” Setelah makan siang usai, Laura kembali ke kamar. Berhubung tak ada apa pun yang bisa dikerjakan, wanita itu akhirnya melakukan sesuatu yang tidak penting. Laura iseng membuka susunan laci di meja sebelah tempat tidur, berhar