Lucien turun dari mobilnya dengan langkah penuh percaya diri, matanya terlihat cukup tajam memandangi rumah sederhana yang ia datangi bersama para bawahannya.
Di belakangnya, dua pria bertubuh kekar mengikuti, masing-masing juga membawa koper besar yang tampak berat. Angin malam terasa mencekam usai kedatangan mereka.
Laura berdiri di depan pintu bersama Ibunya yang bernama Simone Marchand. Melihat sosok pria itu, tubuh Madam Simone langsung membatu. Matanya membulat penuh ketakutan, dan tangannya mulai sedikit gemetar.
“Cepat masuk ke dalam, Laura,” bisik Madam Simone, matanya tidak lepas dari sosok Lucien yang tampak menatap Laura.
“Tapi kenapa aku harus—”
“Masuk, Laura!” Nada Madam Simone terdengar lebih tegas dengan memandang putrinya.
Akan tetapi, saat Laura ingin berbalik. Lucien justru sudah berdiri di depan mereka, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.
“Selamat malam, Madam Simone,” sapa Lucien, nadanya terdengar sopan, tetapi dingin.
“Senang akhirnya bisa bertemu Anda lagi setelah sekian lama.”
Madam Simone menarik napasnya dalam-dalam, lalu berdiri tegak dan tak lupa melindungi Laura yang berdiri di belakang tubuhnya.
“Beraninya sekali kau datang ke sini, Lucien! Setelah semua yang kau lakukan!” pungkas Madam Simone begitu tegas, sampai suaranya pun menggelegar di halaman rumah.
“Sayangnya, kedatanganku bukan untuk berbicara tentang masa lalu, Madam,” sahut Lucien dengan wajah datarnya, sesekali curi pandang ke Laura.
“La—Lalu untuk apa kau datang kemari?” tanya Madam Simone.
“Aku datang di sini untuk masa depan. Masa depan antara aku dan … putrimu.” Lucien menoleh ke Laura, lalu kembali menatap Madam Simone dengan tersenyum tipis.
Laura menatapnya dengan kaget, apalagi Madam Simone yang langsung memegang erat pergelangan putrinya karena takut terjadi apa-apa dengannya.
“Masa depan? Apa maksudmu?” tanya Laura kebingungan.
Lucien memberi isyarat pada seluruh anak buahnya yang diajaknya datang ke rumah Laura.
Semua koper langsung kompak dibuka, memperlihatkan isi penuh dengan uang tunai dan perhiasan yang berkilauan di bawah lampu jalan.
“Aku datang untuk meminangmu, Laura,” kata Lucien tanpa basa-basi.
“Aku ingin kau menjadi … istriku.”
Laura tersenyum sinis mendengar apa yang baru saja ia dengar. Sangat tidak mungkin kalau mereka akan menikah, karena baru saja saling kenal, ditambah Ibunya terlihat masih menyimpan sebuah rahasia.
“Apa pistol yang mengenai perutmu tadi merusak otakmu juga?” ujar Laura mengejek.
“Bukan pistol yang merusak otakku, Laura, tapi dirimu,” jawab Lucien.
Laura mundur beberapa langkah untuk menghindari pria itu. Kemudian berjalan mendekati salah satu bawahan Lucien yang memegang sekoper uang, lalu menepisnya sampai berhamburan ke tanah.
“Aku tidak akan pernah menikah denganmu!”
“Kau salah, sayang,” balas Lucien sambil melangkah maju, membuat Laura semakin terdesak.
“Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan, dan sekarang … aku menginginkanmu.”
“Pergi dari sini, Lucien!” Madam Simone bergegas berdiri di depan putrinya, suaranya bergetar penuh amarah.
“Laura tidak akan pernah menikah dengan pembunuh seperti dirimu, Lucien!” bentak Madam Simone.
Lucien tertawa kecil mendengar ungkapan Madam Simone yang begitu berani, tawanya terdengar dingin dan menusuk.
“Pembunuh? Rupanya Anda masih menyimpan dendam atas kejadian itu.”
“Bukankah kita sudah selesai dengan urusan itu sepuluh tahun lalu?” ujar Lucien.
“Tidak ada yang benar-benar selesai, Lucien!” teriak Madam Simone.
“Kau membunuh suamiku! Kau menghancurkan keluarga kami!”
“Apa kau pikir aku akan membiarkan anakku menikah dengan pembunuh berdarah dingin sepertimu?”
Laura memandang ibunya dengan pupil mata melebar. Ia masih berusaha mencerna segala ucapan yang baru saja ia dengar dari Ibunya.
“A—Apa maksud Ibu? Orang ini … Lucien … orang yang membunuh Ayah?” tanya Laura dengan emosi yang mulai menguasainya secara perlahan.
Lucien memiringkan kepalanya saat mata Laura menatap nyalang ke arahnya, senyumnya pun tampak sedikit memudar.
“Ibumu benar, Laura, tapi Ayahmu memang bagian dari masalah yang harus diatasi. Tenanglah, itu hanya bisnis,” jawab Lucien dengan ekspresi tenang dan sesekali tersenyum ke Laura.
PLAK!
Tamparan keras Laura mendarat di pipi Lucien, membuat pria itu sedikit tersentak. Beberapa bawahannya sampai bergerak maju, tapi Lucien langsung menghentikan mereka hanya dengan mengangkat satu tangannya.
Meskipun itu adalah tamparan ke sekian dari Laura, ia tidak marah. Sebaliknya, senyum liciknya kembali muncul di wajahnya.
“Kau bisa memukulku sesukamu,” katanya pelan.
“Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Kau akan menjadi milikku, suka atau tidak.”
“Aku lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang telah membunuh cinta pertamaku!” balas Laura, matanya berkilat dengan amarah dan air mata yang mulai mengalir.
Lucien mendekatkan wajahnya ke arah Laura, bahkan menyingkirkan Madam Simone sampai terjatuh ke tanah.
“Jangan mengucapkan kalimat yang tak kumengerti, sayang.”
“Jangan mengancam putriku!” Madam Simone langsung bergegas berdiri di depan Laura, melindungi putrinya dengan tubuhnya yang sudah tidak muda lagi.
“Aku tidak takut padamu, Lucien! Kau tidak akan pernah mendapatkan Laura!”
“Dan aku … tidak sudi punya menantu seorang pembunuh sepertimu!” sambung Madam Simone dengan kedua tangan yang direntangkan untuk melindungi Laura yang sedang menangis.
Lucien memandang Madam Simone dengan tatapan dinginnya yang seperti Rajawali.
“Anda salah besar, Madam. Jika Anda menolak, aku bisa menjamin rumah ini, usaha kecil Anda, semuanya … akan hancur dalam waktu 1 menit.”
“Coba saja!” teriak Madam Simone menantang.
“Aku tidak akan menyerahkan putriku padamu, meskipun kau akan menghancurkan semuanya!”
Lucien menyeringai puas mendengar jawaban yang begitu menantang, lalu melambaikan tangannya pada anak buahnya. Mereka mengunci koper dan membawa semuanya kembali ke mobil.
“Baiklah, Madam. Jika itu yang Anda inginkan…,” katanya sambil melangkah mundur.
“Tapi ingat satu hal, Laura. Aku bersumpah akan membuatmu jadi milikku!” titahnya menggema, sampai membangunkan beberapa tetangga yang tinggal di dekat rumah Laura.
Sebelum Lucien benar-benar kembali ke dalam mobilnya yang mewah, ia mendekatkan diri dan mulai mencengkeram rahang Laura dengan tatapan yang begitu tegas.
“Lepaskan Laura, Lucien!” pinta Madam Simone, tapi tubuhnya ditahan oleh salah satu bawahan Lucien.
“Aku akan kembali besok, dan hanya ada satu jawaban yang ingin kudengar dari bibirmu,” ucapnya, sambil mengusap bibir bawah Laura menggunakan Ibu jari tangan kanannya.
“Lebih baik kau menyerah saja, Tuan Lucien yang terhormat,” ucap Laura.
“Kalau kau ingin aku menyerah, tunggulah selamanya.”
Laura mulai meronta, tapi mengingat tenaganya jauh lebih lemah dibanding Lucien, ia pun menyerah dan hanya bisa pasrah.
“Aku tidak peduli dengan usahamu, karena aku tidak akan pernah mengiyakan keinginanmu itu!”
“Laura? Kalau kau menikah denganku, hidupmu akan jauh lebih terjamin,” jelas Lucien.
“Sayangnya, saya tidak minat menikah denganmu, karena saya sudah memiliki tunangan.”
Tubuh Lucien membeku sejenak usai mendengar pernyataan Laura, sampai ekspresinya berubah drastis.“Tunangan?” ulang Lucien dengan suara yang hampir berbisik, tetapi berhasil membuat Laura merinding.Madam Simone bergegas menarik tubuh Laura ke belakang, mencoba menjauhkan putrinya dari amukan yang mulai membara di mata pria Lucien.“Benar, Tuan Lucien,” kata Laura, meskipun suaranya sedikit gemetar.“Aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai, dan dia … bukan kau!”Seketika Lucien melangkah mundur dan tertawa meremehkan. Tidak ada kegembiraan dalam tawanya. Para bawahannya tampak waspada dengan saling pandang, seolah tahu bahwa situasi ini akan segera berubah menjadi berbahaya.“Katakan, siapa tunanganmu?” Lucien bertanya dengan nada datar, matanya kini menyipit seperti binatang buas yang siap menerkam.“Untuk apa saya harus memberi tahu orang sepertimu?” tanpa balik Laura.Dalam sekejap langkahnya kembali mendekat ke Laura, lalu menarik tangannya dan berhasil memeluk tubuh ramping
“GABRIEL!” Laura berteriak histeris, berusaha berlari menghampiri tunangannya, tetapi Madam Simone menahan tubuhnya dengan tangis ketakutan.Gabriel terjatuh, lutut kanannya menghantam tanah, sementara tangan kirinya menekan luka yang mengucurkan darah. Napasnya jadi terasa memburu, tetapi tatapannya tetap penuh perlawanan mengarah pada Lucien.“La—Laura, jangan mendekat!” seru Madam Simone dengan suara yang bergetar.“Tetapi Gabriel terluka, Bu!” jawabnya.“Ibu tahu, tapi lelaki itu … berbahaya!”Lucien mulai melangkah maju dengan tenang, pistol berwarna hitam legam masih tergenggam di tangan kanannya. Mata dinginnya tak pernah lepas dari Gabriel yang kini berlutut di hadapannya.“Melihatmu berlutut seperti ini membuatku bahagia,” ujar Lucien dengan suara rendah dan tajam.“Karena pria yang katanya menjadi tunangan Laura … kini tunduk di kakiku.”“Pengecut!” seru Gabriel dengan nada penuh amarah, meski suaranya terdengar melemah akibat rasa sakit di lututnya.“Hanya pria lemah yang m
Semua orang menatap ke sumber suara, melihat sosok Lucien yang berjalan di tengah para bawahannya yang sudah berbaris di sepanjang karpet merah yang panjang, sambil memegang pistol masing-masing.“Lu-Lucien?” gumam Madam Simone.Gabriel yang berdiri segera menggenggam erat tangan Laura, karena khawatir pengantinnya dibawa kabur oleh pria tidak waras itu.Seharusnya pernikahan mereka dilaksanakan secara privasi dan hanya beberapa keluarga saja yang diundang. Tidak ada satu orang luar pun yang mengetahuinya, karena sudah disuap oleh Madam Simone untuk tetap diam demi lancarnya acara pernikahan Laura dan Gabriel.“Apa kau sedang bingung, jalang kecilku?” tanya Lucien.“Berani sekali kau melakukan pernikahan secara diam-diam.”“Bukan urusanmu, Tuan!” jawab Laura tegas.Gabriel yang sangat marah karena pernikahannya dengan Laura justru dirusak oleh Lucien, ia segera menoleh ke Pastor yang berdiri ketakutan, untuk memaksanya tetap melanjutkan acara ini sampai selesai.Namun, Pastor itu terli
“Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan putriku yang telah membunuh suamiku dengan cara paling kejam!”“Kau … Kau tidak pantas mendapatkan darah dagingku dan suamiku, Lucien!” sambung Madam Simone sampai suaranya menggema dalam Gereja.Mendengar pengakuan keras kepala dari Madam Simone, justru memancing amarah yang sejak tadi berusaha dipendam oleh Lucien.“Menurutmu seorang pembunuh tidak bisa menikahi putrimu?” tanya Lucien.“Ya, kau tidak pantas menikahi putriku!”Lucien menyeringai, dan berkata dengan tenang, “Bagaimana jika putrimu juga membunuh orang yang dicintainya?”“Bukankah akan serasi menikah denganku yang sama-sama pem-bu-nuh?” tantang Lucien dengan mulai perlahan menarik pelatuk yang di mana ujung pistolnya sudah membidik dahi Gabriel.Mata Laura seketika memejam karena tak kuat jika ucapan Lucien benar-benar membuat Gabriel tiada.Terlebih lagi tangannya yang dituntun untuk menarik pelatuk dalam posisi yang tak bisa mengelak.“HENTIKAN, LUCIEN! JANGAN MEMBUAT PUTRIK
“Aku berhak, karena kau sebentar lagi akan kujadikan permaisuri di istana megahku, Laura.”Melihat celah Lucien yang terbuka begitu lebar, Laura langsung melepas jepit rambut hitam lancip yang selalu digunakan, dan mulai menusuk leher Lucien hingga mengeluarkan darah segar.Sayangnya, bukannya melepas genggaman dari tubuh ramping Laura, tangan kekar Lucien justru semakin mengerat mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam mobil.“TURUNKAN TUBUHKU, SIALAN! KALAU KAU MEMBAWAKU, AKAN KUPASTIKAN KAU AKAN MENYESAL!” teriak Laura mulai frustrasi dengan sikap egois Lucien.Mendengar teriakan dan ancaman yang diberikan oleh Laura, sama sekali tidak membuat Lucien takut. Justru kebalikannya, ia semakin ingin menjadikannya miliknya sampai mati.Bahkan jika sampai Laura tidak bisa menjadi miliknya di masa depan nanti, maka siapa pun pria lain tidak ada hak untuk menyentuh ataupun memilikinya juga.Ketika hal itu sampai terjadi, ia akan pastikan Laura mati di tangannya saat itu juga, karena jika
“Kau … berani sekali melakukan ini padaku, Sayang.”Darah berwarna merah pekat seketika mengalir lumayan deras dari perut Lucien usai apa yang dilakukan oleh Laura, sehingga menodai kemeja putihnya yang mahal sampai beberapa darah juga menetes di atas lantai.Tubuh Lucien seketika membeku atas keberaniannya. Matanya membelalak kaget akan rasa sakit yang ia rasakan, tapi sesaat kemudian wajahnya justru menunjukkan senyum licik yang mengartikan bahwa rasa sakit ini tidaklah seberapa.“Aku akui nyalimu, kucing kecil.”Ia mundur selangkah dari hadapan Laura dan mencoba memberi jarak antara mereka berdua, sembari tangannya bergerak menahan luka di perutnya, tetapi tatapannya tetap terkunci pada wajah cantik Laura yang terlihat sangat panik atas apa yang telah ia lakukan.Detak jantung Laura mendadak terasa cepat, sampai napasnya jadi terengah-engah, juga tangannya gemetar memegang pecahan gelas yang kini sudah berlumuran darah sampai menjatuhkan gelas itu hingga pecah berkeping-keping ke la
“Kau satu-satunya gadis yang … berhasil membuatku gila, Laura.”Laura tertawa sumbang mendengar ucapan Lucien, lalu berkata, “Ternyata kau baru sadar, ya, Tuan? Bukankah sejak dulu … kau memang sudah tidak waras, karena hobi menyiksa dan membunuh orang lain hanya demi keinginan bodohmu yang tidak jelas itu?”“Termasuk Ayahku … kau bahkan menyiksanya dengan cara paling tragis dan tidak manusiawi!” bentak Laura dengan kedua tangan memukul kuat-kuat dada bidang Lucien. Matanya menyorot dengan tajam saking bencinya pada pria yang ada di hadapannya sekarang.“Ayolah, Laura. Kenapa kau sangat membenciku seperti ini?” tanya Lucien dengan wajah pura-pura sedihnya yang begitu khas.Laura lumayan syok, dan mencoba memberanikan diri untuk mendekat saat pertanyaan itu lolos dengan entengnya dari mulut seorang kriminal berhati dingin seperti Lucien.Dalam gerakan cepat, kedua tangan Laura berhasil mencengkeram kerah kemeja Lucien dengan kaki yang agak berjinjit. Cengkeramannya terlihat begitu kuat,
Sebuah pukulan keras mendarat sempurna ke pipi kiri Lucien usai Laura berhasil melepaskan tangannya, dengan jarak 3 inci ketika Lucien hendak mencium bibirnya lagi.Darah segar pun ke luar dari sudut bibir Lucien karena pukulan Laura yang begitu kuat, lalu ia langsung mengusapnya dan menjilatnya sendiri dengan mata yang menatap sinis ke Laura di bawah tubuhnya.Lucien hanya bisa menarik napas panjang, tak peduli meskipun darahnya masih mengalir dari lukanya. Bibirnya yang penuh sekarang melengkungkan senyuman dingin, seperti seorang Iblis yang baru saja menemukan hiburan baru.“Kau benar-benar menarik, Laura,” desisnya, suaranya terdengar serak dan tajam.“Seorang gadis biasa tidak akan berani melakukan hal ini padaku.”Sekarang berganti Laura yang tersenyum di bawahnya, dan dengan penuh percaya diri ia mulai mengatakan, “Sayangnya, saya bukanlah gadis yang bisa kau permainkan semudah itu!”Mendengar jawaban tegas dari bibir yang hampir ia cium, justru membuat Lucien semakin gemas dan
Malam ini, Lucien sengaja mengajak Laura pergi ke restoran mewah setelah beberapa jam dikunci di dalam kamar. Restoran itu sungguh mewah dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya keemasan, seperti sedang menjadi saksi bisu ketegangan yang terjalin di antara Laura yang menjagak dari Lucien.Di meja mereka, tampak berbagai hidangan mahal sudah tersaji lengkap. Lucien menatap wajah cantik Laura dengan tatapan tajamnya, dan bibirnya melengkung dalam senyuman yang sungguh memabukkan.“Makanlah,” katanya pelan dengan nada memerintah.“Kau membutuhkan energi sebelum melayaniku malam ini.”Apa yang baru saja dikatakan oleh bajingan ini? Melayani? Memangnya Lucien pikir Laura mau melayani pria bajingan yang sudah menyiksa Ayahnya sampai mati?“Sepertinya kau terlalu mabuk, Lucien. Kau memintaku untuk melayanimu?” Laura tertawa jahat mendengarnya.“Kau mengajakku makan malam di restoran semewah ini hanya karena ingin menyentuhku? Hentikan omong kosongmu itu, Tuan Lucien!”Laura membanti
“Aku benci kau, Lucien!” teriak tegas Laura sampai suaranya terdengar begitu nyaring dalam kamar, sampai matanya terlihat berkaca-kaca.“Kau adalah mimpi buruk yang tak ingin aku ulang! Bahkan jika semua yang terjadi sekarang adalah mimpi buruk, aku akan bangun dan rela tidak tidur untuk selamanya!”Lucien yang mendengar betapa marahnya Laura padanya malah tertawa kecil. Suara tawanya yang menggema itu membuat sekujur tubuh Laura menggigil. “Dan kau, jalang kecilku, adalah satu-satunya hal yang membuat mimpi buruk itu terasa indah.”Dalam sekejap, ia kembali mendorong tubuh Laura ke dinding lebih keras, sampai kepala bagian belakangnya agak terbentur, membuat gadis itu tersentak dengan sikap kasar Lucien padanya.Tanpa peringata yang jelas, Lucien kembali mencium bibir ranum Laura dengan brutal—sangat posesif dan sangat marah, tanpa memberi ruang untuk Laura melawan aksi gilanya itu.Bibirnya telah berhasil menguasai bibir Laura sampai terlihat agak bengkak dan terasa benar-benar kebas
Sebuah pukulan keras mendarat sempurna ke pipi kiri Lucien usai Laura berhasil melepaskan tangannya, dengan jarak 3 inci ketika Lucien hendak mencium bibirnya lagi.Darah segar pun ke luar dari sudut bibir Lucien karena pukulan Laura yang begitu kuat, lalu ia langsung mengusapnya dan menjilatnya sendiri dengan mata yang menatap sinis ke Laura di bawah tubuhnya.Lucien hanya bisa menarik napas panjang, tak peduli meskipun darahnya masih mengalir dari lukanya. Bibirnya yang penuh sekarang melengkungkan senyuman dingin, seperti seorang Iblis yang baru saja menemukan hiburan baru.“Kau benar-benar menarik, Laura,” desisnya, suaranya terdengar serak dan tajam.“Seorang gadis biasa tidak akan berani melakukan hal ini padaku.”Sekarang berganti Laura yang tersenyum di bawahnya, dan dengan penuh percaya diri ia mulai mengatakan, “Sayangnya, saya bukanlah gadis yang bisa kau permainkan semudah itu!”Mendengar jawaban tegas dari bibir yang hampir ia cium, justru membuat Lucien semakin gemas dan
“Kau satu-satunya gadis yang … berhasil membuatku gila, Laura.”Laura tertawa sumbang mendengar ucapan Lucien, lalu berkata, “Ternyata kau baru sadar, ya, Tuan? Bukankah sejak dulu … kau memang sudah tidak waras, karena hobi menyiksa dan membunuh orang lain hanya demi keinginan bodohmu yang tidak jelas itu?”“Termasuk Ayahku … kau bahkan menyiksanya dengan cara paling tragis dan tidak manusiawi!” bentak Laura dengan kedua tangan memukul kuat-kuat dada bidang Lucien. Matanya menyorot dengan tajam saking bencinya pada pria yang ada di hadapannya sekarang.“Ayolah, Laura. Kenapa kau sangat membenciku seperti ini?” tanya Lucien dengan wajah pura-pura sedihnya yang begitu khas.Laura lumayan syok, dan mencoba memberanikan diri untuk mendekat saat pertanyaan itu lolos dengan entengnya dari mulut seorang kriminal berhati dingin seperti Lucien.Dalam gerakan cepat, kedua tangan Laura berhasil mencengkeram kerah kemeja Lucien dengan kaki yang agak berjinjit. Cengkeramannya terlihat begitu kuat,
“Kau … berani sekali melakukan ini padaku, Sayang.”Darah berwarna merah pekat seketika mengalir lumayan deras dari perut Lucien usai apa yang dilakukan oleh Laura, sehingga menodai kemeja putihnya yang mahal sampai beberapa darah juga menetes di atas lantai.Tubuh Lucien seketika membeku atas keberaniannya. Matanya membelalak kaget akan rasa sakit yang ia rasakan, tapi sesaat kemudian wajahnya justru menunjukkan senyum licik yang mengartikan bahwa rasa sakit ini tidaklah seberapa.“Aku akui nyalimu, kucing kecil.”Ia mundur selangkah dari hadapan Laura dan mencoba memberi jarak antara mereka berdua, sembari tangannya bergerak menahan luka di perutnya, tetapi tatapannya tetap terkunci pada wajah cantik Laura yang terlihat sangat panik atas apa yang telah ia lakukan.Detak jantung Laura mendadak terasa cepat, sampai napasnya jadi terengah-engah, juga tangannya gemetar memegang pecahan gelas yang kini sudah berlumuran darah sampai menjatuhkan gelas itu hingga pecah berkeping-keping ke la
“Aku berhak, karena kau sebentar lagi akan kujadikan permaisuri di istana megahku, Laura.”Melihat celah Lucien yang terbuka begitu lebar, Laura langsung melepas jepit rambut hitam lancip yang selalu digunakan, dan mulai menusuk leher Lucien hingga mengeluarkan darah segar.Sayangnya, bukannya melepas genggaman dari tubuh ramping Laura, tangan kekar Lucien justru semakin mengerat mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam mobil.“TURUNKAN TUBUHKU, SIALAN! KALAU KAU MEMBAWAKU, AKAN KUPASTIKAN KAU AKAN MENYESAL!” teriak Laura mulai frustrasi dengan sikap egois Lucien.Mendengar teriakan dan ancaman yang diberikan oleh Laura, sama sekali tidak membuat Lucien takut. Justru kebalikannya, ia semakin ingin menjadikannya miliknya sampai mati.Bahkan jika sampai Laura tidak bisa menjadi miliknya di masa depan nanti, maka siapa pun pria lain tidak ada hak untuk menyentuh ataupun memilikinya juga.Ketika hal itu sampai terjadi, ia akan pastikan Laura mati di tangannya saat itu juga, karena jika
“Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan putriku yang telah membunuh suamiku dengan cara paling kejam!”“Kau … Kau tidak pantas mendapatkan darah dagingku dan suamiku, Lucien!” sambung Madam Simone sampai suaranya menggema dalam Gereja.Mendengar pengakuan keras kepala dari Madam Simone, justru memancing amarah yang sejak tadi berusaha dipendam oleh Lucien.“Menurutmu seorang pembunuh tidak bisa menikahi putrimu?” tanya Lucien.“Ya, kau tidak pantas menikahi putriku!”Lucien menyeringai, dan berkata dengan tenang, “Bagaimana jika putrimu juga membunuh orang yang dicintainya?”“Bukankah akan serasi menikah denganku yang sama-sama pem-bu-nuh?” tantang Lucien dengan mulai perlahan menarik pelatuk yang di mana ujung pistolnya sudah membidik dahi Gabriel.Mata Laura seketika memejam karena tak kuat jika ucapan Lucien benar-benar membuat Gabriel tiada.Terlebih lagi tangannya yang dituntun untuk menarik pelatuk dalam posisi yang tak bisa mengelak.“HENTIKAN, LUCIEN! JANGAN MEMBUAT PUTRIK
Semua orang menatap ke sumber suara, melihat sosok Lucien yang berjalan di tengah para bawahannya yang sudah berbaris di sepanjang karpet merah yang panjang, sambil memegang pistol masing-masing.“Lu-Lucien?” gumam Madam Simone.Gabriel yang berdiri segera menggenggam erat tangan Laura, karena khawatir pengantinnya dibawa kabur oleh pria tidak waras itu.Seharusnya pernikahan mereka dilaksanakan secara privasi dan hanya beberapa keluarga saja yang diundang. Tidak ada satu orang luar pun yang mengetahuinya, karena sudah disuap oleh Madam Simone untuk tetap diam demi lancarnya acara pernikahan Laura dan Gabriel.“Apa kau sedang bingung, jalang kecilku?” tanya Lucien.“Berani sekali kau melakukan pernikahan secara diam-diam.”“Bukan urusanmu, Tuan!” jawab Laura tegas.Gabriel yang sangat marah karena pernikahannya dengan Laura justru dirusak oleh Lucien, ia segera menoleh ke Pastor yang berdiri ketakutan, untuk memaksanya tetap melanjutkan acara ini sampai selesai.Namun, Pastor itu terli
“GABRIEL!” Laura berteriak histeris, berusaha berlari menghampiri tunangannya, tetapi Madam Simone menahan tubuhnya dengan tangis ketakutan.Gabriel terjatuh, lutut kanannya menghantam tanah, sementara tangan kirinya menekan luka yang mengucurkan darah. Napasnya jadi terasa memburu, tetapi tatapannya tetap penuh perlawanan mengarah pada Lucien.“La—Laura, jangan mendekat!” seru Madam Simone dengan suara yang bergetar.“Tetapi Gabriel terluka, Bu!” jawabnya.“Ibu tahu, tapi lelaki itu … berbahaya!”Lucien mulai melangkah maju dengan tenang, pistol berwarna hitam legam masih tergenggam di tangan kanannya. Mata dinginnya tak pernah lepas dari Gabriel yang kini berlutut di hadapannya.“Melihatmu berlutut seperti ini membuatku bahagia,” ujar Lucien dengan suara rendah dan tajam.“Karena pria yang katanya menjadi tunangan Laura … kini tunduk di kakiku.”“Pengecut!” seru Gabriel dengan nada penuh amarah, meski suaranya terdengar melemah akibat rasa sakit di lututnya.“Hanya pria lemah yang m