Tubuh Lucien membeku sejenak usai mendengar pernyataan Laura, sampai ekspresinya berubah drastis.
“Tunangan?” ulang Lucien dengan suara yang hampir berbisik, tetapi berhasil membuat Laura merinding.
Madam Simone bergegas menarik tubuh Laura ke belakang, mencoba menjauhkan putrinya dari amukan yang mulai membara di mata pria Lucien.
“Benar, Tuan Lucien,” kata Laura, meskipun suaranya sedikit gemetar.
“Aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai, dan dia … bukan kau!”
Seketika Lucien melangkah mundur dan tertawa meremehkan. Tidak ada kegembiraan dalam tawanya. Para bawahannya tampak waspada dengan saling pandang, seolah tahu bahwa situasi ini akan segera berubah menjadi berbahaya.
“Katakan, siapa tunanganmu?” Lucien bertanya dengan nada datar, matanya kini menyipit seperti binatang buas yang siap menerkam.
“Untuk apa saya harus memberi tahu orang sepertimu?” tanpa balik Laura.
Dalam sekejap langkahnya kembali mendekat ke Laura, lalu menarik tangannya dan berhasil memeluk tubuh ramping itu dari belakang, dengan posisi tangan kanan Lucien mencengkeram lehernya.
Kepala Lucien didekatkan ke wajah Laura, lalu mengusap pipi tanpa polesan bedak itu menggunakan pipi Lucien yang sesekali mengecup pipinya.
“Aku ingin tahu siapa orang yang berani merebut milikku,” bisiknya.
“Siapa pun dia, itu bukan urusanmu, Tuan!” balas Laura dengan tegas, meskipun hatinya mulai berdebar kencang.
Lucien semakin mengeratkan pelukannya, membuat Laura tak bisa bergerak. Hawa tubuhnya yang dingin bercampur dengan aroma parfum mahal milik Lucien menusuk indra penciuman Laura.
“Bukan urusanku?” Lucien berbisik di dekat telinga Laura, suaranya rendah namun tajam, sambil menyusuri leher Laura untuk mengendus aroma tubuhnya.
“Y—Ya, Tuan. Bukan urusanmu!” jawab Laura.
“Segala sesuatu tentang dirimu adalah urusanku, Laura. Mulai dari napas yang kau hirup hingga pria sialan yang kau sebut tunangan itu,” jelasnya dengan ekspresi yang sungguh menyeramkan.
“Tu—Tuan Lucien, lepaskan aku!” seru Laura mencoba meronta, tetapi kekuatan pria itu terlalu besar.
Tangannya mencengkeram pergelangan kekar Lucien, namun itu hanya membuat tawa kecilnya terdengar semakin mengerikan.
“Laura, kenapa kau sangat keras kepala? Aku menyukai itu. Kau tahu kenapa?” Lucien menggeser kepalanya, menatap langsung ke mata Laura yang penuh amarah dan ketakutan setelah menoleh.
“Karena semakin kau menolakku … aku akan semakin bersemangat untuk memilikimu.”
Madam Simone berusaha mati-matian untuk mendekati mereka karena ingin menyelamatkan putrinya, tetapi salah satu bawahan Lucien dengan sigap menahan lengannya.
“Lu—Lucien, kau itu benar-benar pria tidak waras!” bentak Madam Simone dengan penuh kemarahan, matanya berkaca-kaca melihat anaknya dalam cengkeraman pria itu.
“Lepaskan putriku, Lucien! Dia bukan milikmu, dan dia tidak akan pernah jadi milikmu!” amuknya.
Lucien melirik Madam Simone dengan senyuman yang dingin.
“Madam Simone, seharusnya Anda tahu bahwa tak ada gunanya melawan.”
“Jika Anda benar-benar ingin melindungi putri Anda, Anda harus mulai menerima kenyataan.”
“Apa maksudmu, Lucien?” tanya Madam Simone.
“Saya tidak akan pergi tanpa dia,” jawab Lucien dengan tatapan sinisnya.
Laura mendengus napasnya dengan kasar, mencoba melawan rasa takut yang membelenggunya. Terlebih lagi dekapan Lucien sungguh erat, membuatnya kesulitan untuk kabur.
“Aku bukanlah barang yang bisa kau klaim, Tuan Lucien!”
“Aku punya hak atas hidupku sendiri, dan aku memilih untuk tidak menjadi bagian dari duniamu!” sambung Laura.
Lucien membalas dengan cengiran sinis, lalu melepaskan cengkeramannya. Namun, sebelum Laura sempat menjauh, ia mencengkeram dagunya dengan kuat, memaksa matanya untuk bertemu dengan mata miliknya.
“Kau salah, Laura,” katanya dengan suara dingin.
“Kau tidak punya pilihan. Kau sudah menjadi bagianku sejak pertama kali aku memutuskan menginginkanmu.”
Laura menggertakkan giginya, air mata frustrasi mulai menggenang di pelupuk matanya karena sudah tak tahan dengan kegilaan pria di hadapannya ini.
“Sudah kubilang sejak awal, Tuan. Bahwa aku lebih baik mati daripada menyerahkan diriku padamu!”
Lucien tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti belati yang berhasil menusuk hati Laura. Ekspresi wajahnya pun terlihat acuh tak acuh pada ucapan Laura.
“Kalau begitu, akan kupastikan kematianmu menjadi yang paling indah, karena itu artinya … kau mati dalam genggamanku.”
Laura mencoba memalingkan wajahnya, tetapi cengkeraman Lucien terlalu kuat di rahangnya. Ia menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian.
“Kau tidak akan pernah menang, Tuan. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidup keluargaku lagi.”
“Kau tidak berhak mengaturku, Laura.”
“Aku berhak! Katamu, kau mencintaiku, kan? Itu artinya … aku berhak mengaturmu, bahwa kamu tidak pantas menjadi suamiku!” jelas Laura.
PLAK!
Pipi Laura ditampar, lalu pinggangnya direngkuh untuk mendekat ke badannya. Melihat putrinya di perlakukan seperti itu, Madam Simone hanya bisa menangis tersedu-sedu.
Pipi Laura kembali dalam genggaman pria yang saat ini tersenyum sinis, lalu berkata, “Jaga ucapanmu, karena kau sudah bersumpah akan menjadikanmu istriku. Cepat atau lambat, kau akan jadi milikku … seutuhnya.”
Di sisi lain, terdengar adanya suara motor Harley yang mulai berhenti di dekat pelataran rumah Madam Simone. Dia seorang lelaki yang mulai melepas helm-nya, lalu berjalan mendekat.
“SINGKIRKAN TANGANMU DARINYA!” bentak pria yang baru saja datang itu.
Tubuh Lucien pun didorong dengan keras oleh Laura usai mendengar suara pria yang berdiri sambil menggenggam sebuket bunga mawar di tangan kanannya, karena niatnya malam ini datang untuk memberikan bunga ke Laura.
Kemudian, Laura segera berlari dalam pelukannya, sambil menangis tersedu-sedu. Pelukannya pun terasa sangat erat, seolah tak ingin melepaskan pria itu.
“Laura? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya.
“A—Aku baik-baik saja,” jawab Laura.
Lucien yang melihat Laura memeluk pria lain di hadapannya langsung melipat kedua tangannya ke dada, sambil menatap mata pria yang kini juga meliriknya dengan kening berkerut.
“Dia siapa, Laura?” tanyanya.
“Dia … Dia orang yang membunuh Ayah,” jawabnya.
Kedua matanya langsung melotot usai mendengar jawaban dari Laura. Tubuh Laura dengan perlahan disingkirkan, dan Madam Simone yang berhasil melepaskan dirinya pun segera memeluk tubuh Laura.
Pria itu berjalan hingga kini tubuhnya hanya berjarak satu meter dari Lucien, lalu ia berkata, “Jadi kau yang membunuh Ayah Laura?”
Belum sempat Lucien menjawab, pipinya langsung terkena tinju dari pria yang merupakan tunangan Laura.
Seluruh bawahan Lucien langsung mengeluarkan pistolnya masing-masing, mulai diarahkan ke sosok pria bertubuh jangkung dengan nama lengkap Gabriel Moretti.
Bibir Lucien yang terlihat berdarah justru tak membuatnya terpancing, ia hanya menyeringai dan kembali berdiri tegap, juga mulai memerintahkan para bawahannya untuk menurunkan senjatanya masing-masing hanya dengan mengangkat satu tangannya.
Matanya melirik ke arah Laura, lalu bertanya, “Laura? Apa ini pria yang kau cintai itu?”
“Benar, dia adalah tunanganku yang akan menjadi suami—”
Suara tembakan terdengar nyaring ketika Laura belum sempat melanjutkan penjelasannya.
“GABRIEL!” Laura berteriak histeris, berusaha berlari menghampiri tunangannya, tetapi Madam Simone menahan tubuhnya dengan tangis ketakutan.Gabriel terjatuh, lutut kanannya menghantam tanah, sementara tangan kirinya menekan luka yang mengucurkan darah. Napasnya jadi terasa memburu, tetapi tatapannya tetap penuh perlawanan mengarah pada Lucien.“La—Laura, jangan mendekat!” seru Madam Simone dengan suara yang bergetar.“Tetapi Gabriel terluka, Bu!” jawabnya.“Ibu tahu, tapi lelaki itu … berbahaya!”Lucien mulai melangkah maju dengan tenang, pistol berwarna hitam legam masih tergenggam di tangan kanannya. Mata dinginnya tak pernah lepas dari Gabriel yang kini berlutut di hadapannya.“Melihatmu berlutut seperti ini membuatku bahagia,” ujar Lucien dengan suara rendah dan tajam.“Karena pria yang katanya menjadi tunangan Laura … kini tunduk di kakiku.”“Pengecut!” seru Gabriel dengan nada penuh amarah, meski suaranya terdengar melemah akibat rasa sakit di lututnya.“Hanya pria lemah yang m
Semua orang menatap ke sumber suara, melihat sosok Lucien yang berjalan di tengah para bawahannya yang sudah berbaris di sepanjang karpet merah yang panjang, sambil memegang pistol masing-masing.“Lu-Lucien?” gumam Madam Simone.Gabriel yang berdiri segera menggenggam erat tangan Laura, karena khawatir pengantinnya dibawa kabur oleh pria tidak waras itu.Seharusnya pernikahan mereka dilaksanakan secara privasi dan hanya beberapa keluarga saja yang diundang. Tidak ada satu orang luar pun yang mengetahuinya, karena sudah disuap oleh Madam Simone untuk tetap diam demi lancarnya acara pernikahan Laura dan Gabriel.“Apa kau sedang bingung, jalang kecilku?” tanya Lucien.“Berani sekali kau melakukan pernikahan secara diam-diam.”“Bukan urusanmu, Tuan!” jawab Laura tegas.Gabriel yang sangat marah karena pernikahannya dengan Laura justru dirusak oleh Lucien, ia segera menoleh ke Pastor yang berdiri ketakutan, untuk memaksanya tetap melanjutkan acara ini sampai selesai.Namun, Pastor itu terli
“Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan putriku yang telah membunuh suamiku dengan cara paling kejam!”“Kau … Kau tidak pantas mendapatkan darah dagingku dan suamiku, Lucien!” sambung Madam Simone sampai suaranya menggema dalam Gereja.Mendengar pengakuan keras kepala dari Madam Simone, justru memancing amarah yang sejak tadi berusaha dipendam oleh Lucien.“Menurutmu seorang pembunuh tidak bisa menikahi putrimu?” tanya Lucien.“Ya, kau tidak pantas menikahi putriku!”Lucien menyeringai, dan berkata dengan tenang, “Bagaimana jika putrimu juga membunuh orang yang dicintainya?”“Bukankah akan serasi menikah denganku yang sama-sama pem-bu-nuh?” tantang Lucien dengan mulai perlahan menarik pelatuk yang di mana ujung pistolnya sudah membidik dahi Gabriel.Mata Laura seketika memejam karena tak kuat jika ucapan Lucien benar-benar membuat Gabriel tiada.Terlebih lagi tangannya yang dituntun untuk menarik pelatuk dalam posisi yang tak bisa mengelak.“HENTIKAN, LUCIEN! JANGAN MEMBUAT PUTRIK
“Aku berhak, karena kau sebentar lagi akan kujadikan permaisuri di istana megahku, Laura.”Melihat celah Lucien yang terbuka begitu lebar, Laura langsung melepas jepit rambut hitam lancip yang selalu digunakan, dan mulai menusuk leher Lucien hingga mengeluarkan darah segar.Sayangnya, bukannya melepas genggaman dari tubuh ramping Laura, tangan kekar Lucien justru semakin mengerat mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam mobil.“TURUNKAN TUBUHKU, SIALAN! KALAU KAU MEMBAWAKU, AKAN KUPASTIKAN KAU AKAN MENYESAL!” teriak Laura mulai frustrasi dengan sikap egois Lucien.Mendengar teriakan dan ancaman yang diberikan oleh Laura, sama sekali tidak membuat Lucien takut. Justru kebalikannya, ia semakin ingin menjadikannya miliknya sampai mati.Bahkan jika sampai Laura tidak bisa menjadi miliknya di masa depan nanti, maka siapa pun pria lain tidak ada hak untuk menyentuh ataupun memilikinya juga.Ketika hal itu sampai terjadi, ia akan pastikan Laura mati di tangannya saat itu juga, karena jika
“Kau … berani sekali melakukan ini padaku, Sayang.”Darah berwarna merah pekat seketika mengalir lumayan deras dari perut Lucien usai apa yang dilakukan oleh Laura, sehingga menodai kemeja putihnya yang mahal sampai beberapa darah juga menetes di atas lantai.Tubuh Lucien seketika membeku atas keberaniannya. Matanya membelalak kaget akan rasa sakit yang ia rasakan, tapi sesaat kemudian wajahnya justru menunjukkan senyum licik yang mengartikan bahwa rasa sakit ini tidaklah seberapa.“Aku akui nyalimu, kucing kecil.”Ia mundur selangkah dari hadapan Laura dan mencoba memberi jarak antara mereka berdua, sembari tangannya bergerak menahan luka di perutnya, tetapi tatapannya tetap terkunci pada wajah cantik Laura yang terlihat sangat panik atas apa yang telah ia lakukan.Detak jantung Laura mendadak terasa cepat, sampai napasnya jadi terengah-engah, juga tangannya gemetar memegang pecahan gelas yang kini sudah berlumuran darah sampai menjatuhkan gelas itu hingga pecah berkeping-keping ke la
“Kau satu-satunya gadis yang … berhasil membuatku gila, Laura.”Laura tertawa sumbang mendengar ucapan Lucien, lalu berkata, “Ternyata kau baru sadar, ya, Tuan? Bukankah sejak dulu … kau memang sudah tidak waras, karena hobi menyiksa dan membunuh orang lain hanya demi keinginan bodohmu yang tidak jelas itu?”“Termasuk Ayahku … kau bahkan menyiksanya dengan cara paling tragis dan tidak manusiawi!” bentak Laura dengan kedua tangan memukul kuat-kuat dada bidang Lucien. Matanya menyorot dengan tajam saking bencinya pada pria yang ada di hadapannya sekarang.“Ayolah, Laura. Kenapa kau sangat membenciku seperti ini?” tanya Lucien dengan wajah pura-pura sedihnya yang begitu khas.Laura lumayan syok, dan mencoba memberanikan diri untuk mendekat saat pertanyaan itu lolos dengan entengnya dari mulut seorang kriminal berhati dingin seperti Lucien.Dalam gerakan cepat, kedua tangan Laura berhasil mencengkeram kerah kemeja Lucien dengan kaki yang agak berjinjit. Cengkeramannya terlihat begitu kuat,
Sebuah pukulan keras mendarat sempurna ke pipi kiri Lucien usai Laura berhasil melepaskan tangannya, dengan jarak 3 inci ketika Lucien hendak mencium bibirnya lagi.Darah segar pun ke luar dari sudut bibir Lucien karena pukulan Laura yang begitu kuat, lalu ia langsung mengusapnya dan menjilatnya sendiri dengan mata yang menatap sinis ke Laura di bawah tubuhnya.Lucien hanya bisa menarik napas panjang, tak peduli meskipun darahnya masih mengalir dari lukanya. Bibirnya yang penuh sekarang melengkungkan senyuman dingin, seperti seorang Iblis yang baru saja menemukan hiburan baru.“Kau benar-benar menarik, Laura,” desisnya, suaranya terdengar serak dan tajam.“Seorang gadis biasa tidak akan berani melakukan hal ini padaku.”Sekarang berganti Laura yang tersenyum di bawahnya, dan dengan penuh percaya diri ia mulai mengatakan, “Sayangnya, saya bukanlah gadis yang bisa kau permainkan semudah itu!”Mendengar jawaban tegas dari bibir yang hampir ia cium, justru membuat Lucien semakin gemas dan
“Aku benci kau, Lucien!” teriak tegas Laura sampai suaranya terdengar begitu nyaring dalam kamar, sampai matanya terlihat berkaca-kaca.“Kau adalah mimpi buruk yang tak ingin aku ulang! Bahkan jika semua yang terjadi sekarang adalah mimpi buruk, aku akan bangun dan rela tidak tidur untuk selamanya!”Lucien yang mendengar betapa marahnya Laura padanya malah tertawa kecil. Suara tawanya yang menggema itu membuat sekujur tubuh Laura menggigil. “Dan kau, jalang kecilku, adalah satu-satunya hal yang membuat mimpi buruk itu terasa indah.”Dalam sekejap, ia kembali mendorong tubuh Laura ke dinding lebih keras, sampai kepala bagian belakangnya agak terbentur, membuat gadis itu tersentak dengan sikap kasar Lucien padanya.Tanpa peringata yang jelas, Lucien kembali mencium bibir ranum Laura dengan brutal—sangat posesif dan sangat marah, tanpa memberi ruang untuk Laura melawan aksi gilanya itu.Bibirnya telah berhasil menguasai bibir Laura sampai terlihat agak bengkak dan terasa benar-benar kebas
Malam ini, Lucien sengaja mengajak Laura pergi ke restoran mewah setelah beberapa jam dikunci di dalam kamar. Restoran itu sungguh mewah dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya keemasan, seperti sedang menjadi saksi bisu ketegangan yang terjalin di antara Laura yang menjagak dari Lucien.Di meja mereka, tampak berbagai hidangan mahal sudah tersaji lengkap. Lucien menatap wajah cantik Laura dengan tatapan tajamnya, dan bibirnya melengkung dalam senyuman yang sungguh memabukkan.“Makanlah,” katanya pelan dengan nada memerintah.“Kau membutuhkan energi sebelum melayaniku malam ini.”Apa yang baru saja dikatakan oleh bajingan ini? Melayani? Memangnya Lucien pikir Laura mau melayani pria bajingan yang sudah menyiksa Ayahnya sampai mati?“Sepertinya kau terlalu mabuk, Lucien. Kau memintaku untuk melayanimu?” Laura tertawa jahat mendengarnya.“Kau mengajakku makan malam di restoran semewah ini hanya karena ingin menyentuhku? Hentikan omong kosongmu itu, Tuan Lucien!”Laura membanti
“Aku benci kau, Lucien!” teriak tegas Laura sampai suaranya terdengar begitu nyaring dalam kamar, sampai matanya terlihat berkaca-kaca.“Kau adalah mimpi buruk yang tak ingin aku ulang! Bahkan jika semua yang terjadi sekarang adalah mimpi buruk, aku akan bangun dan rela tidak tidur untuk selamanya!”Lucien yang mendengar betapa marahnya Laura padanya malah tertawa kecil. Suara tawanya yang menggema itu membuat sekujur tubuh Laura menggigil. “Dan kau, jalang kecilku, adalah satu-satunya hal yang membuat mimpi buruk itu terasa indah.”Dalam sekejap, ia kembali mendorong tubuh Laura ke dinding lebih keras, sampai kepala bagian belakangnya agak terbentur, membuat gadis itu tersentak dengan sikap kasar Lucien padanya.Tanpa peringata yang jelas, Lucien kembali mencium bibir ranum Laura dengan brutal—sangat posesif dan sangat marah, tanpa memberi ruang untuk Laura melawan aksi gilanya itu.Bibirnya telah berhasil menguasai bibir Laura sampai terlihat agak bengkak dan terasa benar-benar kebas
Sebuah pukulan keras mendarat sempurna ke pipi kiri Lucien usai Laura berhasil melepaskan tangannya, dengan jarak 3 inci ketika Lucien hendak mencium bibirnya lagi.Darah segar pun ke luar dari sudut bibir Lucien karena pukulan Laura yang begitu kuat, lalu ia langsung mengusapnya dan menjilatnya sendiri dengan mata yang menatap sinis ke Laura di bawah tubuhnya.Lucien hanya bisa menarik napas panjang, tak peduli meskipun darahnya masih mengalir dari lukanya. Bibirnya yang penuh sekarang melengkungkan senyuman dingin, seperti seorang Iblis yang baru saja menemukan hiburan baru.“Kau benar-benar menarik, Laura,” desisnya, suaranya terdengar serak dan tajam.“Seorang gadis biasa tidak akan berani melakukan hal ini padaku.”Sekarang berganti Laura yang tersenyum di bawahnya, dan dengan penuh percaya diri ia mulai mengatakan, “Sayangnya, saya bukanlah gadis yang bisa kau permainkan semudah itu!”Mendengar jawaban tegas dari bibir yang hampir ia cium, justru membuat Lucien semakin gemas dan
“Kau satu-satunya gadis yang … berhasil membuatku gila, Laura.”Laura tertawa sumbang mendengar ucapan Lucien, lalu berkata, “Ternyata kau baru sadar, ya, Tuan? Bukankah sejak dulu … kau memang sudah tidak waras, karena hobi menyiksa dan membunuh orang lain hanya demi keinginan bodohmu yang tidak jelas itu?”“Termasuk Ayahku … kau bahkan menyiksanya dengan cara paling tragis dan tidak manusiawi!” bentak Laura dengan kedua tangan memukul kuat-kuat dada bidang Lucien. Matanya menyorot dengan tajam saking bencinya pada pria yang ada di hadapannya sekarang.“Ayolah, Laura. Kenapa kau sangat membenciku seperti ini?” tanya Lucien dengan wajah pura-pura sedihnya yang begitu khas.Laura lumayan syok, dan mencoba memberanikan diri untuk mendekat saat pertanyaan itu lolos dengan entengnya dari mulut seorang kriminal berhati dingin seperti Lucien.Dalam gerakan cepat, kedua tangan Laura berhasil mencengkeram kerah kemeja Lucien dengan kaki yang agak berjinjit. Cengkeramannya terlihat begitu kuat,
“Kau … berani sekali melakukan ini padaku, Sayang.”Darah berwarna merah pekat seketika mengalir lumayan deras dari perut Lucien usai apa yang dilakukan oleh Laura, sehingga menodai kemeja putihnya yang mahal sampai beberapa darah juga menetes di atas lantai.Tubuh Lucien seketika membeku atas keberaniannya. Matanya membelalak kaget akan rasa sakit yang ia rasakan, tapi sesaat kemudian wajahnya justru menunjukkan senyum licik yang mengartikan bahwa rasa sakit ini tidaklah seberapa.“Aku akui nyalimu, kucing kecil.”Ia mundur selangkah dari hadapan Laura dan mencoba memberi jarak antara mereka berdua, sembari tangannya bergerak menahan luka di perutnya, tetapi tatapannya tetap terkunci pada wajah cantik Laura yang terlihat sangat panik atas apa yang telah ia lakukan.Detak jantung Laura mendadak terasa cepat, sampai napasnya jadi terengah-engah, juga tangannya gemetar memegang pecahan gelas yang kini sudah berlumuran darah sampai menjatuhkan gelas itu hingga pecah berkeping-keping ke la
“Aku berhak, karena kau sebentar lagi akan kujadikan permaisuri di istana megahku, Laura.”Melihat celah Lucien yang terbuka begitu lebar, Laura langsung melepas jepit rambut hitam lancip yang selalu digunakan, dan mulai menusuk leher Lucien hingga mengeluarkan darah segar.Sayangnya, bukannya melepas genggaman dari tubuh ramping Laura, tangan kekar Lucien justru semakin mengerat mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam mobil.“TURUNKAN TUBUHKU, SIALAN! KALAU KAU MEMBAWAKU, AKAN KUPASTIKAN KAU AKAN MENYESAL!” teriak Laura mulai frustrasi dengan sikap egois Lucien.Mendengar teriakan dan ancaman yang diberikan oleh Laura, sama sekali tidak membuat Lucien takut. Justru kebalikannya, ia semakin ingin menjadikannya miliknya sampai mati.Bahkan jika sampai Laura tidak bisa menjadi miliknya di masa depan nanti, maka siapa pun pria lain tidak ada hak untuk menyentuh ataupun memilikinya juga.Ketika hal itu sampai terjadi, ia akan pastikan Laura mati di tangannya saat itu juga, karena jika
“Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan putriku yang telah membunuh suamiku dengan cara paling kejam!”“Kau … Kau tidak pantas mendapatkan darah dagingku dan suamiku, Lucien!” sambung Madam Simone sampai suaranya menggema dalam Gereja.Mendengar pengakuan keras kepala dari Madam Simone, justru memancing amarah yang sejak tadi berusaha dipendam oleh Lucien.“Menurutmu seorang pembunuh tidak bisa menikahi putrimu?” tanya Lucien.“Ya, kau tidak pantas menikahi putriku!”Lucien menyeringai, dan berkata dengan tenang, “Bagaimana jika putrimu juga membunuh orang yang dicintainya?”“Bukankah akan serasi menikah denganku yang sama-sama pem-bu-nuh?” tantang Lucien dengan mulai perlahan menarik pelatuk yang di mana ujung pistolnya sudah membidik dahi Gabriel.Mata Laura seketika memejam karena tak kuat jika ucapan Lucien benar-benar membuat Gabriel tiada.Terlebih lagi tangannya yang dituntun untuk menarik pelatuk dalam posisi yang tak bisa mengelak.“HENTIKAN, LUCIEN! JANGAN MEMBUAT PUTRIK
Semua orang menatap ke sumber suara, melihat sosok Lucien yang berjalan di tengah para bawahannya yang sudah berbaris di sepanjang karpet merah yang panjang, sambil memegang pistol masing-masing.“Lu-Lucien?” gumam Madam Simone.Gabriel yang berdiri segera menggenggam erat tangan Laura, karena khawatir pengantinnya dibawa kabur oleh pria tidak waras itu.Seharusnya pernikahan mereka dilaksanakan secara privasi dan hanya beberapa keluarga saja yang diundang. Tidak ada satu orang luar pun yang mengetahuinya, karena sudah disuap oleh Madam Simone untuk tetap diam demi lancarnya acara pernikahan Laura dan Gabriel.“Apa kau sedang bingung, jalang kecilku?” tanya Lucien.“Berani sekali kau melakukan pernikahan secara diam-diam.”“Bukan urusanmu, Tuan!” jawab Laura tegas.Gabriel yang sangat marah karena pernikahannya dengan Laura justru dirusak oleh Lucien, ia segera menoleh ke Pastor yang berdiri ketakutan, untuk memaksanya tetap melanjutkan acara ini sampai selesai.Namun, Pastor itu terli
“GABRIEL!” Laura berteriak histeris, berusaha berlari menghampiri tunangannya, tetapi Madam Simone menahan tubuhnya dengan tangis ketakutan.Gabriel terjatuh, lutut kanannya menghantam tanah, sementara tangan kirinya menekan luka yang mengucurkan darah. Napasnya jadi terasa memburu, tetapi tatapannya tetap penuh perlawanan mengarah pada Lucien.“La—Laura, jangan mendekat!” seru Madam Simone dengan suara yang bergetar.“Tetapi Gabriel terluka, Bu!” jawabnya.“Ibu tahu, tapi lelaki itu … berbahaya!”Lucien mulai melangkah maju dengan tenang, pistol berwarna hitam legam masih tergenggam di tangan kanannya. Mata dinginnya tak pernah lepas dari Gabriel yang kini berlutut di hadapannya.“Melihatmu berlutut seperti ini membuatku bahagia,” ujar Lucien dengan suara rendah dan tajam.“Karena pria yang katanya menjadi tunangan Laura … kini tunduk di kakiku.”“Pengecut!” seru Gabriel dengan nada penuh amarah, meski suaranya terdengar melemah akibat rasa sakit di lututnya.“Hanya pria lemah yang m