Home / Rumah Tangga / Hasrat Liar Suamiku / 1. Kepuasan Suamiku

Share

Hasrat Liar Suamiku
Hasrat Liar Suamiku
Author: Rich Ghali

1. Kepuasan Suamiku

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2024-02-07 14:46:38

“Arght! Pelan-pelan!”

Gerakan kasar yang dilakukan oleh Dewangga membuatku merasa sakit di beberapa titik bagian tubuh.

Namun seakan tuli, suamiku itu terus saja melanjutkannya. Aku bahkan bisa merasakan beberapa helai rambut tercabut dari tempatnya menancap, sebab ia menjambak rambutku dengan begitu kuat. Entah sadar atau tidak, ia selalu saja menyiksa ketika kami tengah bercinta.

Ia selalu menggila jika sudah di atas ranjang seperti ini. Hanya kepuasan dirinya sendiri yang ia pikirkan, tanpa peduli dengan kepuasan dan kondisi kesehatan pasangan.

Kini Dewangga memintaku untuk mengubah posisi. Melihat wajahnya yang tampak memerah dan penuh dengan keringat, sepertinya ia akan segera mencapai puncak.

“Yank.” Aku memanggil dengan sisa tenaga. Berharap agar pertempuran ini lekas berakhir. Sebab, tidak ada kenikmatan sama sekali yang aku dapatkan. Hanya ada rasa sakit dan nyeri di setiap hentakan yang ia berikan.

Dewangga seketika bertumpu pada leherku. Sedikit mencekik ketika ia kembali bergerak dengan begitu cepat. Napasnya terdengar ngos-ngosan. Seakan beradu cepat dengan gerakan maju mundur yang tengah ia lakukan.

Perlahan cekikan itu kian menguat, membuatku begitu sulit untuk bernapas. Beberapa kali aku terbatuk hingga cengkeraman di leher ia lepas.

Aku pikir aku akan mati beberapa saat yang lalu.....

Untungnya, aku masih punya kesempatan.

Aku lantas bangkit untuk duduk ketika ia menjatuhkan diri ke ranjang. Menghirup oksigen dengan brutal, sebab kekurangan stock setelah kesulitan bernapas selama beberapa saat.

Entah sejak kapan aku tidak lagi merasakan apa pun saat kami bercinta di atas peraduan. Aku merasa sudah lupa bagaimana rasanya disentuh dengan penuh cinta. Yang bisa aku lihat hanya nafsu di manik matanya, tidak lagi cinta saat pertama kali kami melakukan itu hampir setahun yang lalu.

“Sya.” Dewangga memanggil dengan napasnya yang masih terdengar begitu ngos-ngosan.

Aku menoleh, menatap tanpa bersuara.

“Lagi, ya.” Ia meminta. Namun, aku tahu jika permintaan itu adalah sebuah perintah yang haram hukumnya jika mendapatkan penolakan.

“Kamu belum puas?” Aku bertanya dengan suara serak, juga bergetar. Sebab, tubuhku sudah tidak sanggup lagi jika terus dipaksa.

Ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali. Lalu, kembali bangkit untuk duduk.

“Aku gak kuat, Yank. Udah kram. Kasih aku waktu buat istirahat.” Aku menolak dengan lembut. Menatap dengan memelas, berharap agar ia tersentuh dan memutuskan untuk berhenti sampai di situ.

Lelaki dengan dagu terbelah itu menarik napas kasar, binar di manik matanya mulai berubah. Pertanda bahwa ia tidak suka dengan jawabanku barusan.

“Kamu bisa istirahat lima belas menit.” Ia memberi waktu.

Kini giliran aku yang menarik napas dengan kasar. Merasa terbebani jika ia meminta untuk dilayani. Sementara awal pernikahan dulu, aku yang terlalu menggebu-gebu.

“Kamu gak suka?” Ia bertanya setelah mendengar helaan napas kasar dariku.

Aku hanya diam, menunduk. Sebab, akan menancing pertengkaran jika pertanyaan itu kujawab. Lalu, ia akan main tangan. Melayangkan pukulan dan tamparan agar aku kembali ingin melayani.

“Kamu bisa nikah lagi kalau kamu mau.” Aku mencoba untuk memberikan peluang pada diriku sendiri. Agar sedikit lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Tidak merasa tersiksa seperti ini.

“Kamu bilang apa barusan?” Ia bertanya seakan tidak mendengar dengan jelas.

Aku terdiam, tidak berani mengulangi kalimat yang sama. Sebab, takut jika ia akan terpancing amarahnya.

Ponsel yang berada di atas nakas berdering. Tidak ada respons dari Dewangga sama sekali. Ia biarkan benda pipih itu berbunyi hingga mati sendiri.

“Kenapa gak diangkat?” Aku bertanya menatap.

Lelaki dengan dada bidang itu hanya membalas tatapanku dengan tajam, seolah aku salah karena telah bertanya.

Aku mengalihkan pandang karena rasa takut mulai menelusup. Tatapanku terfokus pada jendela yang tertutup dengan rapat. Juga tirai yang memblokir semua cahaya menuju kamar mewah ini. Aku hanya bisa menerka kesibukan para manusia di luar sana. Juga hanya bisa menerka kini sudah pukul berapa. Sebab, kami memulai setelah makan siang tadi. Jarang-jarang ia bisa senggang di waktu libur seperti ini.

“Sudah lima belas menit.” Kalimat itu membuat jantungku kembali terpacu dengan begitu cepat.

Aku menoleh, menatap sepasang mata tajam itu yang kini tengah menatap dengan nyalang.

Entah sudah berapa jam kami beradu kekuatan di atas ranjang. Aku sudah ingin menyerah, tapi ia seakan tidak kunjung puas.

Aku hanya diam di tempat saat ia bergerak mendekat. Mengalihkan pandang, berusaha menolak dengan halus saat bibirnya hendak mendarat di bibirku.

Terdengar decakan halus darinya.

“Kau menolak?” Di nada bicara lelaki itu terselip amarah.

“Aku capek, Wa.” Akhirnya aku beranikan diri untuk protes.

Lelaki berhidung bangir itu tertawa tipis. “Wa? Kau pikir aku siapa? Temanmu?” Ia protes sebab kupanggil nama.

Aku terdiam, mulai takut saat wajah tampan itu terlihat memerah. Kali ini sudah jelas jika memerah di wahahnya karena menahan amarah, bukan karena nafsu yang memuncak.

Ia memang tampan. Terlewat tampan. Sejalan dengan namanya, ia bak dewa yang menjelma bagai seorang manusia. Fisiknya sempurna tanpa cela.

“Kau memanggil namaku?!” Nada bicaranya mulai meninggi.

“Aku teman bagimu?”

Aku tetap diam. Mulai gemetar saat hawa panas napasnya menampar lembut wajahku ketika ia berucap tepat di depan wajahku.

Kugigit bibir bawah untuk meredam rasa takut. Kian hari, sikapnya kian bertambah kasar.

“Lihat aku!” Ia mencengkeram erat rahangku, memaksa agar aku menatap kedua bola matanya.

“Kau masih mencintaiku?” Ia bertanya dengan serius.

Aku hanya diam, berusaha untuk tidak membalas tatapannya.

“Jawab, Nasya!” Suaranya kian meninggi.

Aku tidak berani berucap sama sekali. Sebab, rasa takut yang kian menguasai. Segera kupeluk ia agar emosinya mereda.

Pelukanku langsung dibalas olehnya. Ia mengusap lembut punggung polosku dengan tangan kanannya. Sementara tangan yang lain mulai meraba.

Napas Dewangga mulai memburu saat tangannya semakin liar bergerilya. Aku didorong dengan sedikit kasar, lalu ia naiki dengan napas yang semakin terdengar memburu.

Aku hanya bisa pasrah saat mulut manisnya kembali melumat dengan brutal bibirku. Sementara kedua tangannya semakin buas meraba.

Teriakan berupa desahan keluar secara spontan saat ia kembali melakukan penyatuan. Ciuman ia lepaskan, sebab meminta agar aku mengeluarkan bunyian.

Aku mendesis dan mendesah berkali-kali, bertingkah seolah aku menikmati, sementara hanya rasa sakit yang ia beri.

Semakin aku mendesah, semakin gerakannya terpacu dengan cepat.

Pundakku ia gigit saat ia mulai bergerak dengan cepat. Aku merasa perih, tapi berusaha untuk terus bertahan. Sebab, merasa bahwa ia akan mendapatkan pelepasan.

Benar saja, beberapa saat kemudian ia melepas penyatuan, lalu menyemprotkan cairan cinta beberapa kali di atas perutku. Setelahnya ia kembali tumbang.

“Sudah?” Aku bertanya dengan lemah.

Ia hanya mengangguk lembut dengan napas ngos-ngosan. "Thanks, Sayang."

Hanya saja, aku justru ketakutan. Sampai kapan aku akan meladeni hasrat liar suamiku yang selalu menolak memiliki anak ini? Padahal, mertuaku sudah terus menagih kehadiran cucu.....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Selvinah
sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Hasrat Liar Suamiku    2. Bukan Budak Seks

    Sebuah sentuhan halus di pipi membuatku terbangun dari tidur. Lelaki bermanik mata cokelat itu tersenyum saat tatapan kami saling beradu. Aku bangkit untuk duduk, terasa begitu ngilu hampir di seluruh tubuh.“Aku mau berangkat kerja.” Ia berucap dengan begitu lembut.Aku menguap beberapa kali, hanya diam ketika ia pamit.“Kalau butuh apa-apa, minta sama Ruri saja.” Selalu kalimat itu yang ia ucap ketika akan berangkat. Ada banyak pekerja di rumah ini, tapi hanya Ruri yang menjadi kepercayaannya.Aku mengangguk dengan lembut. Mendesis kecil ketika semua tubuh terasa begitu sakit. Terutama bagian selangkangan, dada, dan bahu.“Sakit?” Dewangga bertanya ketika aku mengusap lembut luka terbuka di bahu. Bekas gigitannya yang terasa begitu nyut-nyutan. Aku tidak menjawab, hanya diam karena sudah lelah dengan semua luka yang kudapat darinya setiap kali kami bercinta.Tangan kasar lelaki itu ikut memberikan usapan di bahu. “Aku akan pulang dua atau tiga hari lagi. Ponselmu harus selalu stanby

    Last Updated : 2024-02-07
  • Hasrat Liar Suamiku    3. Foto Mesum

    “Jangan, Sya, nanti Tuan Dewa marah.” Ruri memberikan peringatan agar aku tidak menghadiri acara reuni yang sudah kujanjikan. Namun, rasa memberontak sudah terlalu di puncak kepalaku.“Kalau gak ada yang ngasih tau, dia gak bakalan tau.” Aku membantah. Tidak ingin mengikuti perintahnya, juga melanggar larangan Dewangga agar tidak keluar rumah.“Aku gak mau tanggung jawab ya kalau ada apa-apa.” Ia mengancam, berkata lepas tangan jika seandainya nanti terjadi masalah setelah aku keluar rumah.“Kamu kan punya power di rumah ini, jadi kamu handle yang lainnya biar gak ada yang berani buka suara.” Aku memberikan saran.“Tuan Dewa itu udah percaya banget sama aku, masa aku khianati kepercayaannya.” Ia terlihat berat untuk melakukan.“Ayolah, kita bestie kan?” Aku terus merayu agar diberi akses untuk keluar hari ini.Ruri berdecak kesal, meski ia terlihat enggan untuk mengizinkan, tetap saja ia memberi jalan agar aku bisa keluar. Seluruh pekerja ia panggil untuk berkumpul. Diberinya mereka

    Last Updated : 2024-02-07
  • Hasrat Liar Suamiku    4. Gaya Baru

    “Argth! Lebih cepat, Sayang, lebih cepat!” Dewangga mendesah dengan wajah memerah.Kugigit bibir bawah untuk menikmati aktivitas yang tengah kami lakukan sekarang. Mencari kepuasan dengan tangan masing-masing, sebab ia yang masih berada jauh di sana ingin melampiaskan nafsunya.“Yeah, faster Baby, faster.” Ceracauannya terus terdengar dari dalam ponsel.Tidak bisa dipungkiri jika aku lebih suka seperti ini daripada disentuh secara langsung olehnya. Aku lebih bisa menikmati setiap gerakan jari yang menggesek area terlarang. Meningkatkan adrenalin, membuat darah putih naik ke puncak kepala.Aku hampir mencapai puncak ketika ia lebih dulu melakukan pelepasan. Desahannya terdengar penuh kepuasan.Aku menyusul kemudian, merasa seluruh sendi terlepas karena mencapai orgasme yang sudah lama tidak kurasakan. Aku tumbang, mengatur napas yang ngos-ngosan. Merasa panas dengan tubuh bugil, sementara AC tetap menyala sedari tadi.“Kau puas?” Suamiku itu bertanya dengan loadspeaker ponsel yang meny

    Last Updated : 2024-02-07
  • Hasrat Liar Suamiku    5. Mama Minta Cucu

    Aku tengah asyik menonton DVD bersama Ruri saat salah satu pelayan berkata bahwa ibu mertuaku telah tiba. Hal yang paling tidak aku sukai di dunia ini adalah saat harus berurusan dengannya. Jangankan bertemu secara langsung dengannya, mendengar namanya saja sudah membuatku begitu muak. Ternyata tidak semua orang kaya itu memiliki attitude yang baik. Tidak semua orang yang berpendidikan itu tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain.“Bawa santai saja, kalau dikatain gak usah dimasukin ke hati.” Ruri berkata seolah ia bisa membaca pikiranku.Aku hanya berdehem kecil, bangkit berdiri dan meminta lelaki itu untuk mematikan DVD.Wanita dengan pakaian serba branded itu telah duduk di sofa saat aku turun dari kamar. Wajah angkuhnya langsung menyambut kedatanganku. Kipas putih dengan bulu-bulu angsa itu tidak pernah lepas dari tangannya. Ia mengibas-ngibaskan kipas saat menatapku dari atas hingga bawah. Menatap secara saksama, seolah tengah menilai penampilan menantunya.Aku tidak in

    Last Updated : 2024-02-07
  • Hasrat Liar Suamiku    6. Instruktur Mesum

    “Sya, ada paket.” Ruri berkata seraya menyerahkan sebuah paket yang dibungkus dengan kotak berukuran sedang. Tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar.“Dari siapa?” Aku mengerutkan kening menerima kotak yang ia sodorkan.“Dari Tuan Dewa kayaknya.” Lelaki gemulai itu mengambil posisi tepat di sisi kananku saat aku mulai membuka kotak yang dibungkus dengan plastik dan bubble wrap.Sekarang aku baru ingat dengan ucapannya waktu itu. Tertarik dengan kostum cosplay dan membelinya untuk kukenakan saat ia pulang nanti. Malam nanti ia akan tiba, otomatis barang yang baru kupegang ini harus kukenakan.“Minta dibawa ke loundry, pilih yang kilat. Soalnya Dewa minta aku make ini pas dia pulang nanti.” Aku memberikan perintah pada Ruri.“Apa ini?” Lelaki itu membentangkan gaun mini kostum kucing dengan warna putih hitam. Tanpa lengan, juga panjang hanya sejengkal di bawah pangkal paha. Ada bendo menyerupai telinga kucing, juga ekor yang cukup panjang. Gaun, bendo, dan ekor semuanya senada, ta

    Last Updated : 2024-02-23
  • Hasrat Liar Suamiku    7. Wanita Pilihan Ibu Mertua

    Aku tidak pernah tahu jika Ruri memiliki tenaga sebesar itu. Sering memang ia menunjukkan sisi kelakian saat di hadapan para pekerja lainnya. Namun, jarang sekali ia menunjukkan kekuatan yang ia punya. Aku speechless dibuatnya.“Gimana?” Aku masih menunggu jawaban dari Ruri.“Aman, orang cuma dipukul pelan kok.” Ia mulai lebih santai dari sebelumnya setelah ia tahu kondisi wanita itu.Syukurlah, aku membatin. Sebab takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan.Ruri membawa Viona ke dalam gendongan, kemudian melangkah menuju keluar ruangan. Aku mengekor di belakang. Para pekerja lain yang melihat, bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi.Viona dibaringkan di atas sofa. Kami duduk menunggu di sofa yang lain. Menanti sambil mengamati, barangkali ia hanya pura-pura pingsan. Sebab, aku yakin fisiknya tidak selemah itu. Meskipun bekas hantaman Ruri masih meninggalkan jejak di wajahnya.Terdengar suara ponsel dari atas meja. Aku meraih, berpikir jika itu adalah ponselku. Barangkali De

    Last Updated : 2024-02-23
  • Hasrat Liar Suamiku    8. Fantasi Dewangga Ketika Bercinta

    Aku merasakan ciuman di kening, juga elusan lembut di ubun-ubun. Dengan malas kubuka mata yang terasa berat. Ada Dewangga yang tengah duduk di tepian ranjang. Ia tersenyum saat aku menatap. Ternyata ia telah pulang, pertanda jika hari telah malam. Aku tidak sadar ketika terjatuh dalam dunia mimpi saat menangis tadi siang. Bahkan aku telah melewatkan dua kali jadwal makan.“Kau menangis karena masalah tadi siang? Matamu terlihat bengkak, kau bahkan tidak mengganti pakaianmu.” Lelaki itu memberikan komentar.Aku hanya diam dengan wajah datar, masih kesal padanya karena ia menolak untuk percaya. Aku berbalik setelah menyingkirkan tangannya dari kepala.“Maafkan aku.” Ia naik ke atas ranjang, ikut rebahan dengan posisi tanpa jarak. Tangan kanannya melingkar di atas perutku.Lagi, aku menjauh dengan melepaskan pelukannya. Ia kembali melakukan hal yang sama. Aku kembali menjauh, hal itu berulang hingga beberapa kali.“Jangan buat aku marah, Sya.” Ia memberikan peringatan. Aku tidak ingin me

    Last Updated : 2024-02-23
  • Hasrat Liar Suamiku    9. Lebih Baik Kau Menikahi Pelacur

    “Perih, Yank.” Aku berkomentar ketika Dewangga menggigit dan menarik bagian puting buah dadaku. Kurasakan ia telah membuat lecet di area itu. Namun, lelaki berstatus suamiku itu seolah tidak ingin mendengar keluhan sama sekali. Ia tetap saja melakukan itu. Bahkan mulai memompa dengan kecepatan penuh seraya giginya terus menancap di dadaku.Kuremas kuat-kuat rambut Dewangga, bahkan menjambak dengan sadar. Berharap jambakan itu akan sedikit mengurangi kebrutalannya di saat bercinta. Ternyata salah, semakin aku membalas dengan kasar, semakin ia terlihat begitu menikmati.Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan tubuhku mulai mati rasa. Hal yang kini menjadi hal lumrah ketika kami tengah mengadu kasih di atas peraduan. Dewangga melepas gigitan di dada, ia menatap dengan sorot penuh nafsu ketika kami saling membalas pandang. Sementara pinggangnya terus bergerak. Sesekali maju-mundur, sesekali ia berikan gerakan menggoyang.Segurat senyum terukir di bibir manisnya, detik berikutnya ia memej

    Last Updated : 2024-02-23

Latest chapter

  • Hasrat Liar Suamiku    74. Tamat

    Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d

  • Hasrat Liar Suamiku    73. Lekas Pulang dan Jemput Aku

    “Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend

  • Hasrat Liar Suamiku    72. Aku Ingin Rujuk

    “Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern

  • Hasrat Liar Suamiku    71. Bertengkar Dengan Robin

    Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.

  • Hasrat Liar Suamiku    70. Meminta Restu

    “Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih

  • Hasrat Liar Suamiku    69. Dia Sedang Hamil

    POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s

  • Hasrat Liar Suamiku    68. Keputusan Hakim

    POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu

  • Hasrat Liar Suamiku    67. Adik?

    Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,

  • Hasrat Liar Suamiku    66. Salah

    Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status