“Jangan, Sya, nanti Tuan Dewa marah.”
Ruri memberikan peringatan agar aku tidak menghadiri acara reuni yang sudah kujanjikan. Namun, rasa memberontak sudah terlalu di puncak kepalaku.
“Kalau gak ada yang ngasih tau, dia gak bakalan tau.” Aku membantah. Tidak ingin mengikuti perintahnya, juga melanggar larangan Dewangga agar tidak keluar rumah.“Aku gak mau tanggung jawab ya kalau ada apa-apa.” Ia mengancam, berkata lepas tangan jika seandainya nanti terjadi masalah setelah aku keluar rumah.“Kamu kan punya power di rumah ini, jadi kamu handle yang lainnya biar gak ada yang berani buka suara.” Aku memberikan saran.“Tuan Dewa itu udah percaya banget sama aku, masa aku khianati kepercayaannya.” Ia terlihat berat untuk melakukan.“Ayolah, kita bestie kan?” Aku terus merayu agar diberi akses untuk keluar hari ini.Ruri berdecak kesal, meski ia terlihat enggan untuk mengizinkan, tetap saja ia memberi jalan agar aku bisa keluar. Seluruh pekerja ia panggil untuk berkumpul. Diberinya mereka arahan agar tidak ada yang memberitahu Dewangga jika hari ini aku keluar rumah.Lelaki itu tampak tegas dan penuh wibawa ketika berhadapan dengan para pekerja, sebab ia yang jadi kelapa pekerja di rumah ini. Tidak ada satu orang pun yang tampak berani membantah ucapannya.“Kalau nanti aku dipecat gimana?” Ia kembali ke setelan awal setelah para pekerja kembali ke aktivitasnya masing-masing.Ruri seperti dua orang berbeda. Ia bisa tegas dan manja. Kadang seperti lelaki pada umumnya, yang kekar dan penuh dengan ketegasan. Namun, terkadang kembali ngondek seperti sekarang.“Tenang, ada aku.” Aku meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Sebab, aku akan berpihak kepadanya jika nanti Dewangga tahu masalah ini.“Biar aman, aku temenin ya.” Ia menawarkan diri.“Gak perlu, acaranya khusus buat para cewek kok. Jadi gak ada yang perlu dikhawatirin.”“Tapi tetap saja aku khawatir. Kamu itu tanggung jawabku selama Tuan Dewa gak ada.” Ia bersikeras. Pada akhirnya aku mengalah, mengizinkan ia untuk mengantar ke tempat acara. Duduk di meja yang terpisah. Ia mengawasi dari jauh, tidak ikut gabung karena tidak ingin merusak suasana.Ponsel berdenting, ada satu pesan masuk dari Dewangga sesaat setelah aku tiba di tempat acara.[Kamu di mana?] Pertanyaan yang entah berapa kali sudah ia kirim sejak ia berangkat kerja.[Rumah.] Aku berbohong membalas.[Coba kirim foto.] Ia meminta untuk memastikan.Aku sudah menebak ini akan terjadi, itulah sebabnya aku mengambil beberapa potret sebelum berangkat, agar Dewangga yakin aku ada di rumah.Kukirim beberapa foto padanya.[Seperti biasa, kamu selalu cantik.] Ia memberikan pujian.Aku hanya menarik napas sebagai respons. Sebab, setiap pujian yang keluar dari mulutnya tidak lagi mampu memberikan getaran pada dada. Hambar. Itu yang kurasakan sekarang. Pernikahan yang belum genap setahun, telah hilang rasa nikmatnya. Apalagi ia enggan untuk memiliki anak. Membuatku semakin tersiksa dalam belenggu pernikahan kami.“Kenapa, Sya?” Erin bertanya dengan tatapan begitu serius.Aku mendongak, lalu memasang wajah senyum. “Gak papa.”“Giselle sudah hamil berapa bulan?” Teman yang lain mulai membuka obrolan.“Kayaknya bulan depan bakalan lahiran, makanya gak diizinin suaminya buat keluar sendirian. Takut kenapa-napa.” Teman yang lain ikut menimbrung.“Kamu gak ada niat buat hamil?” Elsa menoleh padaku.Aku jadi gelagapan harus menjawab apa. Sebab setiap kali berhubungan, Dewangga selalu keluar di luar, ia tidak pernah melakukan pelepasan di dalam.“Kata Dewa mau menikmati masa-masa pengantin baru dulu.” Aku menjawab dengan sungkan. Memasang wajah senyum dengan terpaksa.Reuni kali ini terasa begitu berbeda, tidak ada kenyamanan sama sekali. Mungkin karena terlalu lama mendekam di rumah, jarang berinteraksi dengan orang-orang membuatku kehilangan jiwa sosial. Apalagi sejak tadi yang dibahas hanyalah masalah rumah tangga yang menurutku tidak akan pernah ada habisnya.Ponsel yang berada di atas meja berdering, Dewangga ingin melakukan panggilan video. Kudiamkan benda pipih itu hingga ia berhenti berbunyi.[Aku lagi istirahat makan siang, angkat. Sebentar lagi aku harus kembali bekerja.] Dewangga kembali mengirim pesan.[Bentar, Yank. Aku mau pup.] Aku membalas.[Gak papa, kita ngobrol sambil kamu pup. Waktuku tinggal sebentar.] Pesan balasan kembali masuk.Entah ini sebuah anugerah atau hukuman. Memiliki suami yang over protektif, selalu memikirkanku di mana pun ia berada, juga tidak ingin istrinya melakukan apa-apa. Ia hanya ingin dilayani di ranjang, itu sudah cukup baginya. Selain itu, biarkan para pekerja yang bekerja.Ponsel kembali berdering, membuatku semakin tidak bisa menikmati perkumpulan kali ini.“Suami kamu nelpon itu, angkat!” Elsa berucap setelah ia melirik nama yang tertera di layar.“Biarin aja.” Aku menjawab dengan cuek.[Yank.][Kamu pup tidak bawa hp?]Ponsel akhirnya berhenti berbunyi sampai di sana. Namun, menit berikutnya Ruri datang menyusul dengan handphone yang melekat di telinganya.“Pulang.” Ia memberikan bahasa isyarat agar kami segera pulang.“Aku balik duluan ya. Masih ada urusan soalnya.” Aku bangkit berdiri, lekas beranjak pergi tanpa menunggu basa-basi salam perpisahan dari mereka.“Kamu lagi di mana sih?” Dewangga langsung bertanya saat ponsel milik Ruri berpindah ke tanganku.“Kan udah aku bilang, aku itu ada di rumah.”“Kok kedengarannya rame?” Ia terdengar curiga.“Perasaanmu aja kali.” Aku berkilah.“Aku mau VC sebenarnya, tapi sudah tidak ada waktu. Jam istirahat sudah habis.”“Kamu kerja aja yang bener, nanti malam kalau mau VC kan masih bisa. Jangan rusak jam kerja kamu cuma buat mikirin aku.”“Kirimin aku foto miss v kamu sekarang, biar aku semangat kerjanya.” Ia meminta.Aku tersentak mendengar permintaannya. Sebab, kami tengah berada di mobil sekarang, dengan posisi Ruri yang tengah menyetir di sampingku. Tentu saja aku akan merasa sangat risih jika harus mengambil foto mesum tepat di depan matanya.“Aku tunggu sekarang.” Ia berpesan sebelum akhirnya ia memutus sambungan.“Kenapa? Minta foto yang enggak-enggak?” Ruri seakan telah hapal kebiasaan bosnya itu. Selalu benar akan tebakannya.“Padahal baru tadi malam kami VCS.” Aku berucap dengan kesal.“Kasih saja, daripada dia jajan di luar, mending dia kecanduan kamu.” Lelaki itu berkomentar.Ruri ada benarnya juga, lebih baik Dewangga kecanduan akan diriku ketimbang ia kecanduan jajan di luar.Belum sempat aku mengirim fotoku padanya, ia telah mengirim foto alat vitalnya duluan.[Aku selalu terangsang kalau mikirin kamu.] Ia mengirim potret senjatanya yang tengah menegang dengan cairan kental di bagian ujung. Air maninya terbuang sia-sia. Harusnya kami akan segera menjadi orang tua jika ia keluar di dalam, sekali saja.Kupelorotkan celana dalam, lalu mengangkang dan memotret area selangkangan, kemudian mengirim foto padanya.[Punya kamu selalu menggoda.] Ia selalu saja memberikan pujian untuk hal yang menurutkan sangat menjijikkan. Namun, tetap saja kulakukan.[Coba kamu colok pakai jari tengah.]Permintaannya mulai terdengar gila.[Sakit, sisa waktu itu masih terasa nyut-nyutan.][Yasudah, biar aku berfantasi sendiri. Kamu jaga kesehatan. Love you.][Love you too.]“Kamu terangsang gak sih kalau aku kayak gini di deket kamu?” Aku kembali menaikkan celana dalam setelah selesai berbalas pesan dengan Dewangga.Ruri menghela napas dalam. “Aku lebih terangsang kalau liat Tuan Dewa gak pakai baju.” Ia menjawab dengan tegas, membuatku merasa nyaman untuk melakukan hal vulgar ketika berada di dekatnya. Sebab, ia seorang wanita bagiku.“Argth! Lebih cepat, Sayang, lebih cepat!” Dewangga mendesah dengan wajah memerah.Kugigit bibir bawah untuk menikmati aktivitas yang tengah kami lakukan sekarang. Mencari kepuasan dengan tangan masing-masing, sebab ia yang masih berada jauh di sana ingin melampiaskan nafsunya.“Yeah, faster Baby, faster.” Ceracauannya terus terdengar dari dalam ponsel.Tidak bisa dipungkiri jika aku lebih suka seperti ini daripada disentuh secara langsung olehnya. Aku lebih bisa menikmati setiap gerakan jari yang menggesek area terlarang. Meningkatkan adrenalin, membuat darah putih naik ke puncak kepala.Aku hampir mencapai puncak ketika ia lebih dulu melakukan pelepasan. Desahannya terdengar penuh kepuasan.Aku menyusul kemudian, merasa seluruh sendi terlepas karena mencapai orgasme yang sudah lama tidak kurasakan. Aku tumbang, mengatur napas yang ngos-ngosan. Merasa panas dengan tubuh bugil, sementara AC tetap menyala sedari tadi.“Kau puas?” Suamiku itu bertanya dengan loadspeaker ponsel yang meny
Aku tengah asyik menonton DVD bersama Ruri saat salah satu pelayan berkata bahwa ibu mertuaku telah tiba. Hal yang paling tidak aku sukai di dunia ini adalah saat harus berurusan dengannya. Jangankan bertemu secara langsung dengannya, mendengar namanya saja sudah membuatku begitu muak. Ternyata tidak semua orang kaya itu memiliki attitude yang baik. Tidak semua orang yang berpendidikan itu tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain.“Bawa santai saja, kalau dikatain gak usah dimasukin ke hati.” Ruri berkata seolah ia bisa membaca pikiranku.Aku hanya berdehem kecil, bangkit berdiri dan meminta lelaki itu untuk mematikan DVD.Wanita dengan pakaian serba branded itu telah duduk di sofa saat aku turun dari kamar. Wajah angkuhnya langsung menyambut kedatanganku. Kipas putih dengan bulu-bulu angsa itu tidak pernah lepas dari tangannya. Ia mengibas-ngibaskan kipas saat menatapku dari atas hingga bawah. Menatap secara saksama, seolah tengah menilai penampilan menantunya.Aku tidak in
“Sya, ada paket.” Ruri berkata seraya menyerahkan sebuah paket yang dibungkus dengan kotak berukuran sedang. Tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar.“Dari siapa?” Aku mengerutkan kening menerima kotak yang ia sodorkan.“Dari Tuan Dewa kayaknya.” Lelaki gemulai itu mengambil posisi tepat di sisi kananku saat aku mulai membuka kotak yang dibungkus dengan plastik dan bubble wrap.Sekarang aku baru ingat dengan ucapannya waktu itu. Tertarik dengan kostum cosplay dan membelinya untuk kukenakan saat ia pulang nanti. Malam nanti ia akan tiba, otomatis barang yang baru kupegang ini harus kukenakan.“Minta dibawa ke loundry, pilih yang kilat. Soalnya Dewa minta aku make ini pas dia pulang nanti.” Aku memberikan perintah pada Ruri.“Apa ini?” Lelaki itu membentangkan gaun mini kostum kucing dengan warna putih hitam. Tanpa lengan, juga panjang hanya sejengkal di bawah pangkal paha. Ada bendo menyerupai telinga kucing, juga ekor yang cukup panjang. Gaun, bendo, dan ekor semuanya senada, ta
Aku tidak pernah tahu jika Ruri memiliki tenaga sebesar itu. Sering memang ia menunjukkan sisi kelakian saat di hadapan para pekerja lainnya. Namun, jarang sekali ia menunjukkan kekuatan yang ia punya. Aku speechless dibuatnya.“Gimana?” Aku masih menunggu jawaban dari Ruri.“Aman, orang cuma dipukul pelan kok.” Ia mulai lebih santai dari sebelumnya setelah ia tahu kondisi wanita itu.Syukurlah, aku membatin. Sebab takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan.Ruri membawa Viona ke dalam gendongan, kemudian melangkah menuju keluar ruangan. Aku mengekor di belakang. Para pekerja lain yang melihat, bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi.Viona dibaringkan di atas sofa. Kami duduk menunggu di sofa yang lain. Menanti sambil mengamati, barangkali ia hanya pura-pura pingsan. Sebab, aku yakin fisiknya tidak selemah itu. Meskipun bekas hantaman Ruri masih meninggalkan jejak di wajahnya.Terdengar suara ponsel dari atas meja. Aku meraih, berpikir jika itu adalah ponselku. Barangkali De
Aku merasakan ciuman di kening, juga elusan lembut di ubun-ubun. Dengan malas kubuka mata yang terasa berat. Ada Dewangga yang tengah duduk di tepian ranjang. Ia tersenyum saat aku menatap. Ternyata ia telah pulang, pertanda jika hari telah malam. Aku tidak sadar ketika terjatuh dalam dunia mimpi saat menangis tadi siang. Bahkan aku telah melewatkan dua kali jadwal makan.“Kau menangis karena masalah tadi siang? Matamu terlihat bengkak, kau bahkan tidak mengganti pakaianmu.” Lelaki itu memberikan komentar.Aku hanya diam dengan wajah datar, masih kesal padanya karena ia menolak untuk percaya. Aku berbalik setelah menyingkirkan tangannya dari kepala.“Maafkan aku.” Ia naik ke atas ranjang, ikut rebahan dengan posisi tanpa jarak. Tangan kanannya melingkar di atas perutku.Lagi, aku menjauh dengan melepaskan pelukannya. Ia kembali melakukan hal yang sama. Aku kembali menjauh, hal itu berulang hingga beberapa kali.“Jangan buat aku marah, Sya.” Ia memberikan peringatan. Aku tidak ingin me
“Perih, Yank.” Aku berkomentar ketika Dewangga menggigit dan menarik bagian puting buah dadaku. Kurasakan ia telah membuat lecet di area itu. Namun, lelaki berstatus suamiku itu seolah tidak ingin mendengar keluhan sama sekali. Ia tetap saja melakukan itu. Bahkan mulai memompa dengan kecepatan penuh seraya giginya terus menancap di dadaku.Kuremas kuat-kuat rambut Dewangga, bahkan menjambak dengan sadar. Berharap jambakan itu akan sedikit mengurangi kebrutalannya di saat bercinta. Ternyata salah, semakin aku membalas dengan kasar, semakin ia terlihat begitu menikmati.Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan tubuhku mulai mati rasa. Hal yang kini menjadi hal lumrah ketika kami tengah mengadu kasih di atas peraduan. Dewangga melepas gigitan di dada, ia menatap dengan sorot penuh nafsu ketika kami saling membalas pandang. Sementara pinggangnya terus bergerak. Sesekali maju-mundur, sesekali ia berikan gerakan menggoyang.Segurat senyum terukir di bibir manisnya, detik berikutnya ia memej
Aku beranjak menuju lemari untuk memilih baju dengan asal, yang terpenting bisa menutupi seluruh badan. Sementara Dewangga masih terbaring dengan lelah di lantai. Kedua matanya tengah terpejam, mungkin ia telah tertidur karena kelelahan.Sesaat setelah aku berpakaian, terdengar ketukan di pintu kamar dengan suara Ruri yang memanggil dengan pelan. Aku segera beranjak untuk membukakan.“Ada apa?” Ia bertanya dengan mata yang masih tampak mengantuk. Suaranya juga terdengar serak, seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya.“Bawa aku ke rumah sakit sekarang, cari dokter obgyn terbaik.” Aku memberikan perintah.“Loh, kamu hamil?” Suaranya terdengar setengah berbisik seraya melongok menatap ke dalam. Menatap Dewangga yang tengah terbaring lelah di lantai kamar dengan tubuh polos tanpa pakaian.Aku menggeleng dengan pelan.“Dia semakin brutal dan aneh, aku takut.” Aku berucap dengan suara sedikit bergetar. Sebab aku benar-benar merasa takut sekarang.“Aku gak bisa bawa kamu keluar kalau
“Sya.” Dewangga memanggil dengan suara parau. Kami baru saja kembali dari luar. Ia mengajak untuk keliling kota Jakarta sehabis kami pulang dari rumah sakit tadi pagi. Aku merasa lelah dan tidak semangat untuk melakukan apa pun.“Nasya!” Ia kembali memanggil, sebab aku hanya diam setelah panggilan pertama.Aku berbalik, menatap lelaki yang tengah menatapku dengan tajam. Sepasang mata itu tampak nyalang, seolah aku adalah mangsa yang siap untuk ia terkam.“Kenapa?” Aku bertanya dengan kening berkerut, sebab ia hanya diam setelah aku menatap untuk waktu yang lama.Tidak ada jawaban, Dewangga naik ke atas ranjang. Ia merangkak agar mampu menggapaiku yang tengah duduk di tepian ranjang sisi kanan.“Kau mau apa?” Aku langsung menatap dengan tajam saat kedua tangannya memegang bahuku, sementara napasnya mulai terdengar memburu. Naik turun dengan ritme yang tidak teratur.Aku menolak, menyingkirkan tangannya dari kedua bahuku. Lalu bangkit berdiri seraya beranjak menjauh dari ranjang. Sebab,
Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d
“Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend
“Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern
Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.
“Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih
POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s
POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu
Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,
Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala