Pagi itu, meja kerja Lea dihiasi dengan sesuatu yang tidak biasa. Sebuah buket bunga mawar merah yang besar, disertai dengan kotak hadiah mewah berwarna hitam mengilap. Annika yang melihat itu langsung memperhatikannya, membanjiri Lea dengan tatapan penasaran dan senyum menggoda.“Wow, kamu begitu beruntung mendapatkan hadiah seperti ini,” ujar Annika sambil bersandar di meja Lea dengan ekspresi penuh minat.Lea menatap buket dan kotak hadiah itu dengan dahi berkerut. Tidak ada catatan nama pengirim, hanya kartu kosong yang diselipkan di antara kelopak mawar.‘Siapa yang mengirimkan ini?’Sejenak pikirannya melayang pada satu nama, tetapi ia segera menepisnya. Tidak mungkin Kayden. Pria itu bukan tipe yang akan melakukan hal seperti ini.“Aku tidak tahu,” jawab Lea akhirnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul di dadanya.Jonas yang baru saja menyaksikan kejadian itu segera melangkah ke dalam ruangan Kayden sambil membawa secangkir kopi di tangannya. “Sir, saya baru saja mel
Lea mendesah pelan sebelum melangkah keluar dari ruangan Kayden dengan langkah cepat. Setibanya di meja kerjanya, ia langsung meraih buket mawar merah besar dan kotak hadiah dengan gerakan tegas. Tanpa ragu, ia kembali ke ruangan Kayden dan meletakkan keduanya di atas meja hingga menimbulkan suara gesekan yang keras.Tatapan Lea tampak tajam menatap Kayden. “Aku tidak ingin berdebat lagi,” ujarnya dengan suara serak. “Hadiah ini milikmu sekarang. Lakukan apa pun yang kamu inginkan dengannya.”Lea tidak ingin membuang tenaga dan waktunya untuk beradu argumen dengan Kayden, terutama karena ia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah menang.Seharusnya Kayden merasa senang, tapi ia justru tampak lebih marah. “Aku menyuruhmu membuangnya, Lea Rose. Bukan memberikannya padaku,” katanya dengan suara tajam.Lea menegakkan bahunya, menatap Kayden dengan ekspresi serius. “Dan aku sudah mengatakannya dengan jelas. Aku tidak bisa membuangnya … tidak, aku tidak tega membuangnya. Jika itu yang kamu ing
Keesokan harinya, saat mobil Kayden memasuki halaman kantor, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada Lea yang tengah berbincang dengan seorang pria. Bibirnya yang ranum melengkung indah. Dan yang lebih mengusik, tangannya terangkat mengusap pucuk kepala pria itu dengan gerakan akrab.Ada percikan emosi yang aneh di dada Kayden saat melihatnya. Namun, ia memilih diam.Begitu mobil berhenti, Kayden turun dengan ekspresi ketidaksenangan yang terasa jelas. Jonas yang juga sempat menyaksikan pemandangan tadi, bisa menebak alasan perubahan sikap bosnya itu. Tetapi ia berpura-pura tidak tahu.Kayden melangkah masuk ke dalam lift dengan langkah tegap. Ia menekan tombol lantai tujuan, membiarkan pintu tertutup dan lift mulai bergerak naik.Namun belum lama lift berjalan, ia berhenti di salah satu lantai. Saat pintu terbuka, sosok Lea berdiri di hadapannya—begitu cantik dan menawan—hingga Kayden, meski tak menunjukkan ekspresi apa pun, merasakan sesuatu bergolak dalam dirinya.Lea tampak ragu s
Setelah kejadian di lift pagi itu, obsesi dan sikap posesif Kayden terhadap Lea semakin nyata. Ia membuktikan ucapannya—bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi wanita itu selain di sisinya.Saat ini, Lea baru saja menjadi pelampiasan amarah Noah setelah pria itu bertengkar dengan Sophia. Bibirnya berdarah, sementara pipinya tampak begitu merah akibat tamparan keras yang mendarat tanpa belas kasihan. Noah bahkan mencengkeram rambutnya, lalu membenturkan kepalanya ke dinding kamar dengan cukup kuat.Lea menangis tersedu-sedu sambil merasakan kepalanya yang berdenyut. Sedari tadi ia meronta memohon pada Noah, namun tak ada satu pun yang datang untuk menghentikan pria itu. Semua orang memilih tutup mata dan telinga.“Kapan penderitaan ini berakhir …?” gumam Lea lirih saat Noah pergi.Di lantai bawah, Kayden yang baru saja pulang tak sengaja berpapasan dengan Noah di ambang pintu. Pria itu tampak marah, napasnya berat, dan bau alkohol menyengat dari tubuhnya.Kayden hendak naik k
Lea tiba-tiba terserang demam sementara kepalanya terus berdenyut hebat. Malam telah melewati tengahnya, namun ia tak kunjung terlelap. Tubuhnya terasa remuk dan nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya seperti dihantam sesuatu yang tak kasat mata. Namun yang lebih menyiksa adalah luka di hatinya—tak terlihat, tetapi menggores jauh lebih dalam.Ia menggigit bibir, menahan isakan yang ingin pecah. Pandangannya mengabur, bukan hanya karena suhu tubuhnya yang meninggi, tetapi juga karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya.Suara pintu berderit pelan dan langkah kaki terdengar mendekat. Lea menegang, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.Dalam remang kamar, ia melihat sosok tinggi berdiri di ambang pintu. Kayden.Pria itu tidak segera mendekat, hanya berdiri sambil menatapnya dalam diam. Mata birunya menelusuri wajah pucat Lea, lalu akhirnya melangkah mendekat.“Kamu terlihat menyedihkan,” gumamnya, suara rendahnya terdengar samar dalam keheningan malam.Lea hanya diam. Kelopak
Lea beruntung karena hari ini adalah akhir pekan. Setidaknya, lebam di wajahnya akan sedikit memudar sebelum ia harus kembali bekerja pada hari Senin.Hari ini, ia memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. Meski hidupnya semakin sulit karena kesalahan ibunya, Lea tetap datang.Bukan untuk mengenang, tetapi agar ibunya bisa ‘melihat’ hasil dari perbuatannya semasa hidup. Bagaimana putri satu-satunya harus menanggung dosa yang bukan miliknya hingga hidupnya hancur.“Apa kabar, Bu? Aku datang lagi,” ujar Lea pelan saat berdiri di depan pusara ibunya.Tidak ada emosi yang terpancar di wajahnya. Hanya tatapan kosong yang terarah pada nama yang terukir di batu nisan.“Kamu pasti terkejut melihat wajahku sekarang,” gumamnya lirih. “Tapi kali ini bukan Astrid atau Emma yang melakukannya … melainkan suamiku sendiri.”Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum miring. “Ironis, ya? Kamu meninggalkanku begitu saja dan membuatku menanggung semuanya sendirian
Lea masih ingin membantah, tetapi Jonas sudah mengarahkan mobil menuju pusat kota. Ia hanya bisa menghela napas pelan dan menerima hal itu begitu saja.Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah restoran mewah dengan eksterior elegan yang tampak eksklusif. Lea melirik papan nama di depan bangunan itu dan segera menyadari bahwa ini bukan sembarang restoran. Tempat ini termasuk dalam daftar fine dining terbaik di kota, terkenal dengan pelayanan private lounge bagi tamu VIP.Lea menoleh ke Kayden dengan ragu. “Kenapa harus di tempat semewah ini?” bisiknya.Kayden tidak langsung menjawab. Ia hanya membuka pintu dan turun dengan santai.Lea mendesah pelan saat Jonas membukakan pintu untuknya. Jujur saja, ia sedikit ragu untuk keluar, merasa tempat ini terlalu berkelas untuknya yang bahkan belum sempat berdandan. Namun, tatapan tajam Kayden yang menunggunya di luar membuatnya tak punya pilihan selain melangkah keluar.Begitu masuk ke dalam restoran, aroma kopi premium
Selesai sarapan, Kayden langsung mengajak Lea pulang. Namun tidak seperti sebelumnya, kali ini Lea bersikeras untuk turun jauh dari kediaman Easton dan memilih berjalan kaki. Ia tidak ingin menambah masalah sebab ia sudah terlalu lelah.Angin dingin menusuk kulitnya, tetapi Lea terus melangkah dengan kepala tertunduk, berharap bisa masuk ke dalam rumah tanpa menarik perhatian siapa pun. Namun, harapannya pupus begitu ia membuka pintu dan mendapati sosok Robert Easton duduk di ruang tamu.‘Demi Tuhan! Kenapa ayah mertua duduk di sini?’ Lea mengerang dalam hati.Robert segera menutup koran yang sedang dibacanya dan menatap Lea dengan ekspresi tajam. Matanya langsung tertuju pada wajah menantunya itu. Lebih tepatnya pada lebam yang menghiasi kulit pucatnya.“Lea,” panggilnya dengan suara penuh wibawa. “Apa yang terjadi dengan wajahmu?”Lea seketika menegang. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, tetapi be
Salju tipis masih turun saat Lea melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara kecil itu. Ia merapatkan mantel dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan gumpalan emosi yang menyesakkan dadanya. Kota ini terasa asing, jauh dari hiruk-pikuk yang biasa ia hadapi.Seorang pramugari yang baru saja turun dari pesawat yang sama memberinya senyum singkat. “Hati-hati di luar, Nona. Cuacanya sedang tidak bersahabat.”Lea hanya mengangguk kecil. “Terima kasih.”Ia melangkah ke area pengambilan bagasi, menunggu koper kecilnya muncul di conveyor belt. Sambil menunggu, ia mengeluarkan ponsel dari saku mantel dan segera menghubungi Astrid.“Aku sudah sampai,” ucapnya begitu panggilan tersambung.“Bagus,” suara Astrid terdengar lega. “Mobilnya ada di tempat parkir khusus dekat pintu keluar. Kuncinya bisa kamu ambil dari penjaga parkir.”Lea menatap sekitar, memperhatikan suasana bandara yang jauh lebih sepi dibandingkan dengan bandara besar di kota sebelumnya. Tak banyak orang yang berlal
Setelah melalui keseruan permainan truth or dare, Kayden tiba-tiba mengajak Lea untuk pulang. Sejak tadi, ia bukannya tidak menyadari gelagat Jonas yang tampak gelisah. Untuk itu, ia mengajak wanitanya pulang lebih awal dan memberikan waktu bagi Jonas untuk berduaan dengan Annika. “Hati-hati di jalan, Lea,” ucap Annika setelah bercipika-cipiki. “Terima kasih, Sir,” lanjutnya, menatap Kayden dengan sopan. Lea mengangguk seraya tersenyum manis. “Terima kasih, Anni,” sahutnya, sementara Kayden hanya bergumam sebagai jawaban. Kayden melingkarkan tangannya di pinggang Lea ketika mereka berjalan menuju lift. Begitu memasuki ruang sempit itu, Lea berkata, “Padahal sedang seru-serunya, tapi kamu malah mengajakku pulang dan bilang ada sesuatu yang mendesak. Memangnya hal apa?” Kayden tersenyum tipis. “Tidakkah kamu melihat gelagat Jonas yang terlihat gelisah, Little Rose?” Lea mengangguk, ia pun menyadari hal itu. “Lalu, apa hubungannya dengan urusan mendesak yang kamu bilang?” tanyanya b
Lea menegang. Pandangannya melesat ke arah Annika dan Jonas yang kini menatapnya dengan ekspresi berbeda—terkejut, penasaran, dan sedikit tidak percaya.Lea menggigit bibir bawahnya. Menolak berarti mempermalukan diri sendiri di depan semua orang. Namun, menerimanya? Itu sama saja dengan memberi Kayden kemenangan mutlak.Annika menahan napas. Di sampingnya, Jonas menggenggam gelas anggurnya lebih erat.Lea perlahan mengangkat dagunya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Dengan suara hampir bergetar, ia berkata, “Kamu yakin ingin aku melakukannya di depan mereka?”Senyum Kayden melebar. “Bukankah itu bagian dari permainannya?”Lea menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga membuatnya mual. Tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya.Maka, dengan semua keberanian yang tersisa, ia mendekat dengan perlahan. Tangannya bertumpu pada meja untuk menstabilkan dirinya.Lea menghirup napas dalam, lalu dengan gerakan cepat, ia mengecup pipi Kayden. Hanya seki
Dua hari kemudian.Lea bersiap untuk pergi ke kediaman Annika guna memenuhi undangan wanita itu. Dengan pakaian rapi yang dilapisi mantel serta riasan sederhana, ia tampak cantik alami. Sebagai sentuhan akhir, Lea menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya.“Sempurna,” gumamnya seraya tersenyum puas. Sekali lagi, ia memandangi pantulan dirinya di depan cermin sebelum akhirnya beranjak pergi.Saat Lea melangkah keluar dan membuka pintu, Kayden sudah berdiri di sana dengan senyum hangat menyambutnya. Tanpa ragu, Lea langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan Kayden, meresapi kehangatan pria itu sejenak sebelum mendorong tubuhnya perlahan. Tatapannya mengunci pada mata Kayden sementara tangannya masih melingkar erat di leher pria itu.“Kamu sangat tampan malam ini, Tuan Muda Easton,” gumamnya penuh kagum.Kayden tetap mempertahankan senyum tipis di bibirnya sebelum mengecup lembut bibir Lea. Ciumannya lalu turun perlahan ke leher, membuat Lea tersentak halus.“Kamu sangat wangi, Li
Lea berjalan cepat menuju kamar mandi, berusaha mengabaikan jantungnya yang masih berdetak kencang setelah semua godaan Kayden di meja makan. Ia hanya ingin menenangkan diri, membiarkan air hangat membasuh kepalanya yang penuh dengan suara pria itu.Namun, begitu ia menutup pintu dan berbalik, tubuhnya langsung membeku.Kayden berdiri di ambang pintu dengan satu tangan bertumpu santai di kusen.“K-Kayden?!” Lea hendak meraih gagang pintu, berniat mendorong pria itu keluar. “Keluar! Aku mau mandi!”Alih-alih menurut, Kayden justru melangkah masuk dengan santai lalu menutup pintu di belakangnya dengan bunyi klik halus yang membuat tubuh Lea mengeras seketika.“K-Kenapa kamu ikut masuk?!” Ia mundur selangkah, matanya membulat waspada.Kayden tidak menjawab, hanya melucuti kancing piyamanya dan melepaskannya dengan gerakan sengaja.Lea semakin panik. “Jangan bercanda! Aku benar-benar mau mandi, Kayden!”“Ya, aku tahu,” sahut pria itu ringan. “Aku hanya menemanimu.”Lea menatapnya tak perc
Lea ragu untuk memanggil pria itu seperti yang diinginkannya. Namun, Kayden jelas bersungguh-sungguh tidak akan melepaskannya sampai kata itu keluar dari bibirnya. Meyakinkan diri, Lea akhirnya melakukannya.“Sayang, lepaskan aku,” ucapnya dengan suara rendah.Kayden tersenyum penuh kemenangan sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dari pinggang Lea. Dengan santai, ia menarik kursi di sebelah wanita itu dan duduk.Lea buru-buru memosisikan diri di kursinya, namun pipinya terasa panas. Jantungnya masih berdegup cepat, dan detik berikutnya, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.‘Rasanya ingin menghilang saja!’ teriaknya dalam hati.“Hey, ada apa? Apa kamu malu?” bisik Kayden dengan nada menggoda. Ia meraih pergelangan tangan Lea, menariknya perlahan agar wanita itu menurunkan tangannya.Lea menggigit bibirnya, perasaan gelisah dan malu berkecamuk dalam dirinya.‘Sumpah demi semesta! Aku tidak sanggup menatapnya setelah ini!’ batin Lea berteriak.Kayden terkekeh pelan melihat
Lea bahkan belum sempat bernapas lega ketika Kayden tiba-tiba menutup jarak di antara mereka.Lea membeku saat Kayden mendekat, napas pria itu menghangatkan kulitnya sebelum akhirnya bibirnya menyentuh miliknya. Lembut, namun penuh tuntutan. Seolah ingin menegaskan kepemilikannya dengan cara yang tak terbantahkan.Jari-jari Lea mencengkeram lengan Kayden, berniat mendorongnya, tetapi kekuatan dalam dirinya menguap begitu saja. Alih-alih melawan, tubuhnya justru melemas dalam dekapan pria itu.Kayden menarik wajahnya sedikit, lalu menatap Lea dengan hangat. “Masih meragukanku?” bisiknya.Lea menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. “Kayden, aku—”“Jangan katakan hal yang akan kamu sesali.” Kayden menempelkan dahinya ke dahi Lea, napasnya berhembus hangat di antara mereka. “Aku mencintaimu, Lea Rose. Sejak awal.”Mata Lea membesar. “Apa?” tanyanya terkejut.Kayden tersenyum samar, tetapi ada ketegasan dalam sorot matanya. “Sejak pertama kali melihatmu, aku tahu aku menginginkanmu. Ak
Malam harinya, saat Lea baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang, suara dering pada ponselnya menarik perhatiannya. Dengan malas, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya langsung berdebar saat melihat nama Annika terpampang di layar. Wanita itu pasti ingin meminta penjelasan soal kejadian di Home & Haven tadi siang. Dengan penuh pertimbangan, Lea akhirnya menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu.“Lea, ayo jelaskan apa yang terjadi antara kamu dengan CEO kita?” tanya Annika antusias, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.Lea menggigit bibirnya, sedikit ragu, tetapi pada akhirnya ia terpaksa mengakui hubungan spesialnya dengan Kayden. Di seberang telepon, Annika langsung berteriak histeris sebelum tertawa.“Ini gila! Aku sama sekali tidak menduga kalau kamu akan berpacaran dengan CEO kita! Kayden Easton itu … wow, Lea! Dia tampan, kharismatik, dan … ah, aku iri padamu!”Lea mengembuskan napas panjang. “Tapi, aku ingin kamu merahasiakan soal ini, An
“Tapi, aku kemari untuk menemani Annika memilih perabotan,” tolak Lea, berusaha menahan diri.Untuk apa lagi menghindar? Keadaannya sudah terlanjur seperti ini. Ia bisa menjelaskan semuanya nanti pada Annika.Kayden tidak bereaksi langsung, tetapi tatapannya semakin dalam menusuk. Tekanan yang ia berikan begitu kuat hingga Annika yang berdiri di samping Lea merasakan tubuhnya ikut menegang.Dengan senyum kecil yang terpaksa, Annika meraih tangan Lea dan berkata, “Aku baik-baik saja, Lea. Aku bisa memilih sendiri perabotannya.”Lalu dengan gerakan perlahan, ia mendekat dan berhenti tepat di belakang Lea.“Pergilah. Aku tidak ingin dimarahi kalau kamu menolak. Kamu bisa lihat sendiri bagaimana ekspresi CEO kita.” Suaranya merendah saat berbisik di telinga Lea. “Untuk masalah tadi, kamu bisa menjelaskannya padaku nanti.”Lea menghela napas. Lalu, ia akhirnya mengangguk pelan.Kayden menyeringai kecil, jelas puas dengan keputusan Lea. “Bagus,” gumamnya sebelum melangkah lebih dulu.Lea ha