Tubuh Lea masih membeku sementara kata-kata menyakitkan yang berasal dari ruang kerja Robert terus bergema di telinganya. Ia ingin segera pergi dari tempat itu, namun entah mengapa seperti ada sesuatu yang menjerat kakinya dan menahannya tetap di sana.“Ini semua salah Ayah! Kalau saja Ayah tidak memaksaku menikah dengan wanita sialan itu, sekarang aku sudah—”Ucapan Noah terhenti, disusul suara gedebuk keras yang menggema dari dalam ruangan itu, membuat Lea dan semua orang yang berdiri di depan pintu lantas tersentak.“Aku tidak peduli apakah kamu mencintai atau bahkan membenci istrimu itu. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, Noah.” Suara Robert terdengar tajam dan berwibawa. “Jangan pernah memukulnya, apalagi sampai babak belur!”Lea menutup mata dan mengepalkan jari-jarinya. Sekuat tenaga berusaha menahan sesuatu yang menggumpal di dadanya. Seharusnya ia merasa lega karena ada yang membelanya, tetapi yang ia rasakan justru hanyalah getir yang perlahan merayapi hatinya.‘Tidak, dia
Lea tidak tahu apa yang mendorongnya untuk bergerak maju, lalu menekan bibirnya ke bibir Kayden dengan lembut. Ia juga tidak tahu apakah ia benar-benar menginginkan ini atau hanya butuh sesuatu untuk membuatnya merasa ada.Namun, ketika Kayden tidak menolak dan justru memperdalam ciuman itu, ia memilih untuk tidak berpikir terlalu jauh.Lea membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman itu, merasakan bagaimana Kayden melumat bibirnya dengan penuh intensitas—tidak terburu-buru, tetapi cukup dalam untuk membuat napasnya bergetar. Jemari pria itu bergerak, merayap ke tengkuknya, menahannya agar tidak mundur.Tapi Kayden—Pria itu merasakan ada sesuatu yang salah. Ciuman ini tidak terasa seperti miliknya.Tidak seperti kepasrahan yang biasa ia renggut dari Lea. Tidak seperti bentuk klaim yang selalu ia tekankan padanya. Ini berbeda.Lea tidak menciumnya karena menginginkannya. Wanita itu hanya ingin melupakan sesuatu.Perasaan itu lantas menghantam Kayden lebih keras dari yang ia kira. Sebuah
Lea menggeliat pelan di bawah selimut hangat yang membungkus tubuhnya. Dahinya sedikit berkerut saat cahaya matahari senja menyusup dari celah gorden, lalu menyentuh kelopak matanya.Lea membuka matanya dengan perlahan. Kesadarannya mulai pulih, tetapi butuh beberapa detik baginya untuk benar-benar menyadari keadaan sekitarnya. Saat pikirannya akhirnya jernih, matanya langsung membelalak sempurna.Lea langsung terduduk sementara jantungnya berpacu lebih cepat seiring dengan kepanikan yang menyergapnya.“Demi Tuhan! Kenapa aku ketiduran di sini?” desisnya tak percaya.Tanpa membuang waktu, ia menyibak selimut dan bergegas turun dari tempat tidur. Ingatannya berusaha merangkai kejadian terakhir sebelum ia tertidur di sini. Terakhir yang ia ingat, Kayden menyuruhnya tidur, dan ….Lea buru-buru melangkah menuju pintu, ingin segera keluar sebelum seseorang memergokinya—meski itu nyaris mustahil, mengingat kamar Kayden adalah satu-satunya tempat yang tak bisa diakses sembarangan. Namun, lan
Meski nafsu makannya sempat hilang setelah kejadian di halaman belakang, kini perutnya mulai terasa kosong, memaksanya menyerah pada rasa lapar yang tak lagi bisa diabaikan.“Aku tidak mungkin pergi ke dapur lagi setelah apa yang terjadi,” gumam Lea sambil meringis, kedua tangannya tanpa sadar mengusap perutnya yang terus berbunyi.Setelah mempertimbangkan sejenak, ia memutuskan untuk makan di luar. Tanpa banyak pikir, Lea segera meraih mantel sederhananya dan melangkah keluar.Perjalanan dengan taksi membawanya ke pusat kota, tempat hiruk-pikuk kehidupan malam yang masih terasa hangat. Begitu turun, ia berjalan perlahan di trotoar dan membiarkan udara malam yang sejuk sedikit meredakan pikirannya yang masih kacau setelah insiden di pesta keluarga.Tujuannya hanya satu, restoran cepat saji yang selalu menjadi tempat pelariannya saat ia ingin menyendiri.Namun, baru saja ia hendak memasuki rumah makan tersebut, suara seseorang dari kejauhan membuat langkahnya terhenti.“Lea?”Suara itu
Caleb mengusap sudut bibirnya yang berdarah, tatapannya dipenuhi amarah. Sementara itu, Kayden masih berdiri dengan rahang mengeras, sebisa mungkin menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan berikutnya.Dengan napas sedikit tersengal, Lea menoleh ke Caleb dan berkata, “Aku akan menjelaskan semuanya padamu nanti. Aku minta maaf atas keributan ini, dan terima kasih untuk makan malamnya.”Tanpa membuang waktu, Lea berbalik dan mengikuti Kayden menuju mobilnya. Emosi berkecamuk dalam dirinya. Marah, kesal, tapi juga sedikit waspada melihat Kayden yang masih dipenuhi amarah.Begitu masuk ke dalam mobil, Jonas segera melajukan kendaraan tanpa sepatah kata pun.Keheningan yang mencekam memenuhi kabin.Tak tahan lagi, Lea akhirnya membuka suara. “Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba memukulnya tanpa alasan?” Nada suaranya terdengar kesal.Kayden masih diam. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi jemarinya mengepal di atas pahanya.Lalu, tanpa menoleh, ia berkata dengan nada rendah yang menusuk
Satu minggu kemudian ....Suara gemuruh mesin jet pribadi menggema di landasan, tetapi di dalam kabin, suasana terasa senyap. Lea duduk di kursinya sambil menatap layar kecil di hadapannya, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih belum sepenuhnya memahami kenapa Kayden membawanya dalam perjalanan ini.Coba pikirkan. Meskipun ia memang sekretaris Kayden, perjalanan ini sebenarnya tidak sepenuhnya membutuhkan kehadirannya. Sesaat, Lea bertanya-tanya, mungkinkah ada alasan lain di balik keputusan pria itu membawanya?Ia ingin mengutarakan pemikirannya, tetapi enggan mengambil risiko. Kayden pasti akan membantah dan memelintir ucapannya tanpa ampun.Lea melirik Kayden yang duduk di seberangnya dengan setelan hitam sempurna. Jemarinya yang panjang itu mengetuk-ngetuk layar tablet yang menampilkan laporan bisnis. Dan mata birunya tampak fokus dengan ekspresinya tanpa cela seperti biasa.‘Aku akui, dia memang tampan,’ Lea membatin. ‘Pasti banyak wanita yang rela mengantre untuk bi
Lea menatap pantulan dirinya di cermin, merasa sedikit asing dengan wanita yang berdiri di hadapannya. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekukannya tanpa terlihat berlebihan. Rambutnya digulung rapi dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh lembut di sisi wajahnya. Ia terlihat pantas untuk acara formal yang akan mereka hadiri, tetapi tetap saja, rasa canggung tak bisa ia hindari.Dengan napas pelan, Lea segera berbalik, lalu mengambil clutch kecil di meja rias sebelum keluar dari kamar. Begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Kayden yang sudah menunggunya di ruang tamu penthouse.Pria itu berdiri dengan tenang, mengenakan setelan hitam yang tampak dibuat khusus untuknya. Dasinya berwarna senada dengan gaun Lea, entah itu kebetulan atau memang sengaja. Ketika Kayden mengangkat kepala dan menatap Lea, mata birunya mengamati wanita itu dengan cara yang membuat Lea ingin mengalihkan pandangan.Namun, ia bertahan.Kayden tidak mengatakan apa-apa s
Tidak ada lagi percakapan setelah momen itu—hanya keheningan yang membingungkan sekaligus mengejutkan yang dirasakan Lea. Baik ia maupun Kayden tenggelam dalam pikiran masing-masing, membiarkan udara di antara mereka dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan.Bahkan ketika mereka sudah berada di dalam mobil menuju Chateau d'Azur, keheningan tetap membalut keduanya. Tak ada satu pun dari mereka yang mencoba memecah suasana. Hingga tanpa terasa, mobil berhenti di depan pintu masuk hotel.Kayden turun lebih dulu, diikuti Lea yang melangkah sedikit ragu di belakangnya.Mereka tetap diam saat memasuki lift. Suara dentingan lembut saat lift bergerak terasa lebih nyaring di telinga Lea, menyatu dengan detak jantungnya yang masih berantakan.Begitu pula saat pintu penthouse terbuka dan Kayden menutupnya kembali dengan gerakan perlahan.Saat pintu penthouse tertutup di belakang mereka, keheningan yang membebani sepanjang malam akhirnya pecah. Kayden tidak berkata apa-apa saat ia berbalik. Pria it
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng