Lea menoleh pelan sementara jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sosok yang berdiri di belakangnya itu bukan Noah, bukan juga Sophia. Sosok itu lebih tinggi dengan tatapan yang tajam memandangi Lea, sosok itu tidak lain adalah Kayden.Lea mengembuskan napas pelan sambil mengusap dada. “Astaga, kamu benar-benar mengejutkanku,” gumamnya, lalu melangkah mendekat. “Kenapa kamu ada di sini, Kakak Ipar? Seharusnya kamu beristirahat, bukan malah berkeliaran.”Kayden tak langsung menjawab. Tatapannya begitu dalam mengunci pada Lea dan sulit ditebak. Keheningan di antara mereka semakin menebal sebelum akhirnya pria itu berbicara.“Kenapa pulang terburu-buru?” tanyanya dengan suara rendah dan serak.Lea mengerjap sebentar. Jujur saja ia tak menyangka pertanyaan itu yang keluar dari mulut Kayden. “Noah memintaku pulang karena ada yang ingin dia bicarakan,” jawabnya jujur. Namun sedetik kemudian, pikirannya beralih ke Kayden.“Tapi itu tidak penting,” lanjutnya dengan sorot mata mengeras. “Y
Lea menegang sementara napasnya tersendat. “Tidak, aku hanya bicara sendiri,” kilahnya cepat sambil berusaha menjaga nada suaranya agar tetap stabil.Noah mempersempit jarak di antara mereka dan matanya mengunci pada ekspresi Lea yang gelisah. “Bicara sendiri?” ulangnya pelan, pria itu tampak tidak percaya dengan pernyataan Lea barusan.Lea mengangguk cepat. “Aku terkejut saat mendengar langkahmu mendekat. Itu saja.”Noah diam sesaat, lalu pandangannya beralih ke sekitar ruangan seolah mencari sesuatu. Lea bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia sama sekali tak bisa melepaskan pandangannya dari sosok Noah yang berdiri tak jauh darinya.‘Jangan sampai dia menemukan Kayden.’ Lea berdoa dalam hati.Tubuh Lea semakin menegang saat Noah berjalan melewatinya menuju meja kecil di sudut ruangan. Rasa cemas dan takut kini telah menguasai Lea sepenuhnya. Meja kecil itu tepat berada di samping lemari di mana Kayden bersembunyi.Tanpa sadar, Lea menggigit kuku jarinya sementara
Ciuman itu tidak sekadar menyentuh, tetapi panas dan juga dalam. Kayden seolah menegaskan kepemilikannya atas Lea. Satu tangannya melingkar di pinggang wanita itu, lalu menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada ruang yang tersisa di antara mereka.Lea terkejut dengan ciuman tak terduga dari Kayden. Dan seharusnya ia mendorong tubuh pria itu dan menolak, tetapi tubuhnya justru membeku di tempat. Lea terperangkap dalam sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.Kayden mendesaknya lebih jauh, bibirnya semakin dalam menjelajah hingga napas Lea tersengal. Saat Lea mulai merasa kehilangan kendali, tiba-tiba Kayden menarik diri.Lea terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Dadanya naik turun dengan cepat sementara kepalanya terasa kosong.Kayden menatapnya dengan ekspresi yang tetap tenang, seolah ciuman tadi bukan apa-apa. Namun, matanya berkilat penuh intensitas."Jangan takut,” gumam Kayden pelan. “Aku akan memastikan kamu tetap di sisiku, entah kamu mau atau tidak.”Lea hanya bis
Begitu mereka tiba di villa, Lea mendapati Kayden melangkah masuk dengan langkah sedikit terhuyung. Wajahnya tampak pucat. Meski ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan, Lea tahu pria itu berusaha menahan rasa sakit yang datang dari tangan kanannya yang patah.Lea mengikuti langkah Kayden dengan perasaan cemas yang semakin mendalam. Pria itu tampak lebih lelah dari sebelumnya dan sesekali meringis ketika tangannya bergerak sedikit lebih cepat dari yang seharusnya. Setiap ekspresi kesakitan itu semakin menggerogoti hati Lea, membuatnya merasa terhimpit dalam rasa bersalah yang terus menerus membanjiri pikirannya.Lea tahu Kayden terluka karena kejadian sebelumnya. Ia tak ingin bertanggung jawab, tapi perasaan itu terus mendorongnya untuk bertindak.“Kakak Ipar ….” Lea memanggil pria itu dengan suara pelan.Kayden melirik sekilas ke belakang. “Apa?” jawabnya dengan suara serak.Lea melangkah lebih dekat, matanya tertuju pada tangan Kayden yang terbungkus perban. “Apakah rasanya san
Malam harinya, Lea memutuskan untuk tetap tinggal di villa Kayden. Selain ingin merawat pria itu, ada sesuatu yang membuatnya enggan kembali ke villa Noah dan menghabiskan malam sendirian di sana. Meski Kayden sempat menolak, tapi Lea bersikeras.Saat ini ia tengah duduk di sudut kamar, tenggelam dalam buku lawas bergenre romansa yang selalu ia baca di waktu senggang. Lembar demi lembar bergulir tanpa ia sadari, hingga suara di ranjang menarik perhatiannya.Di sana, Kayden tengah berusaha turun. Lea buru-buru menutup bukunya dan meletakkannya di meja, lalu bergegas menghampiri kakak iparnya itu.“Biar kubantu,” ujarnya, jemarinya sudah menopang lengan Kayden.Kayden mendengus, kemudian melirik Lea dengan tatapan sinis. “Aku bukan anak kecil, Lea Rose. Aku bisa berjalan sendiri.”Lea hanya tersenyum. “Aku tahu, tapi aku ingin membantu.”Kayden lantas berdecak. “Yang patah itu tangan kananku, bukan kakiku. Aku bisa berjalan,” tegasnya lagi.Lea tetap di tempatnya dan menatap Kayden deng
Malam berikutnya, Kayden dan Lea duduk berdua di meja makan kecil di halaman belakang villa. Angin malam yang sejuk berembus lembut, membawa aroma bunga dari taman yang terletak tak jauh dari sana. Di atas meja, lilin-lilin kecil berkelap-kelip, memberikan cahaya lembut yang memantulkan bayang-bayang halus di wajah mereka.Di kejauhan, lampu-lampu villa bersinar redup. Namun di atas mereka, langit dipenuhi taburan bintang yang bersinar cerah. Bulan purnama menggantung rendah, memberikan sentuhan hangat pada suasana yang sudah begitu magis.Lea menyandarkan punggungnya di kursi, matanya melirik ke langit yang luas. “Uhm … ini terasa seperti kita sedang berbulan madu, ya?” ucapnya pelan, hampir tak percaya dengan suasana yang begitu sempurna.Kayden meliriknya sejenak, kemudian menyunggingkan senyum tipis. “Kamu terlalu banyak berpikir, Lea Rose. Ini hanya makan malam,” sahutnya, namun ada sedikit kelembutan dalam nada suaranya yang biasanya datar.Lea mengangkat gelasnya, kemudian memb
Kayden akhirnya membawa Lea ke kamar tamu yang terletak tepat di samping kamarnya. Dengan hati-hati, ia membaringkan wanita itu di atas ranjang, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Setelah memastikan Lea tertidur, Kayden melangkah keluar tanpa sepatah kata pun.Begitu memasuki kamarnya sendiri, ia memutuskan untuk duduk di tepi ranjang. Malam ini terasa lebih panjang dari biasanya. Pikirannya sedikit kacau, tapi ia memilih untuk tidak memikirkannya lebih jauh.Namun sebelum ia benar-benar bisa beristirahat, suara ketukan keras menggema di pintunya.Tok! Tok! Tok!“Kayden Easton!”Kayden membuka matanya, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit. Ketukan itu semakin keras, diiringi suara Lea yang memanggil namanya dengan nada tidak sabar. Dengan ekspresi datar, ia melangkah menuju pintu dan membukanya.Namun begitu pintu terbuka, Lea langsung masuk tanpa menunggu izin. Wanita itu berjalan dengan langkah sedikit sempoyongan sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di ku
Pagi itu, sinar matahari yang menembus tirai tipis membangunkan Lea. Kepalanya masih terasa berat akibat alkohol semalam. Namun sebelum kesadarannya sepenuhnya terkumpul, sesuatu yang asing membuatnya terjaga seketika.Ia bukan berada di kamar tamu. Dan matanya membelalak saat melihat siapa yang berbaring di sampingnya. Kayden.Jantung Lea berdetak cepat dan rasa panik langsung menyelimuti dirinya. Tanpa pikir panjang, Lea segera berguling ke sisi ranjang hingga jatuh ke lantai dengan suara gedebuk keras.“Ouch ….” Lea meringis pelan karena rasa sakit di bokongnya.Kayden yang terbangun karena suara itu langsung menoleh ke sisi ranjang. Dengan ekspresi malas, ia menatap Lea yang kini terduduk di lantai sambil meringis kesakitan. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan nada datar.Lea buru-buru membetulkan posisi duduknya. Napasnya sedikit tersengal karena kaget. “Apa yang terjadi? Kenapa kita tidur bersama?” tanyanya panik.Kayden menghela napas, lalu mengusap rambutnya yang sedikit
Seluruh wajah Lea basah akan keringat saat mobil berhenti di sebuah tempat sepi yang bahkan tidak dikenalnya. Gelap, sunyi, dan jauh dari keramaian. Ia bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang saat sopir itu menoleh ke arahnya dengan seringai licik.“Turun,” perintahnya dengan nada dingin sembari mengacungkan pisaunya di dekat leher Lea.Lea mengangguk pelan, berpura-pura menurut. Sementara di bawah sana, tangannya merogoh tas dengan gemetar dan berhasil menemukan botol parfum kaca yang tersembunyi di dalamnya. Saat pria itu bergerak lebih dekat, Lea segera mengayunkan botol itu sekuat tenaga hingga mengenai wajahnya dengan keras!“ARGH!” Sopir itu menjerit.Tanpa membuang waktu, Lea mendorong pintu mobil dengan keras dan langsung berlari keluar.Kakinya hampir terpeleset di atas salju, tapi ia tidak peduli. Ia hanya bisa fokus untuk berlari, menjauh sejauh mungkin dari pria itu.Dalam ketakutan dan kepanikan, Lea melihat sebuah mobil melaju ke arahnya. Tanpa berpikir pan
Entah mengapa, Lea tiba-tiba panik, seperti ia baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Niatnya untuk berbalik arah langsung buyar saat sebuah suara mengudara di belakangnya. Lea terdiam di tempat.“Nyonya Lea Rose.”Suara itu berasal dari sopir pribadi Kaelyn. Lea menelan ludah dengan susah payah sebelum akhirnya berbalik perlahan. Senyum masam terbit di bibir ranumnya saat ia berusaha menyembunyikan kegelisahan yang merayapi dadanya.“Uhm ... Halo, Tuan Simmons. Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujarnya dengan suara getir.Tuan Simmons melangkah mendekat, dahinya sedikit berkerut saat memperhatikan Lea yang tampak gelisah. Namun sebelum sempat mengutarakan pikirannya, dering ponsel dari dalam sakunya mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat, ia merogoh saku celananya dan melihat nama yang tertera di layar.Kaelyn.Ekspresi Tuan Simmons berubah serius saat ia mengangkat panggilan itu. “Ya, Nyonya,” jawabnya dengan nada hormat.Lea berdiri kaku di tempatn
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu.
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali