Ciuman itu tidak sekadar menyentuh, tetapi panas dan juga dalam. Kayden seolah menegaskan kepemilikannya atas Lea. Satu tangannya melingkar di pinggang wanita itu, lalu menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada ruang yang tersisa di antara mereka.Lea terkejut dengan ciuman tak terduga dari Kayden. Dan seharusnya ia mendorong tubuh pria itu dan menolak, tetapi tubuhnya justru membeku di tempat. Lea terperangkap dalam sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.Kayden mendesaknya lebih jauh, bibirnya semakin dalam menjelajah hingga napas Lea tersengal. Saat Lea mulai merasa kehilangan kendali, tiba-tiba Kayden menarik diri.Lea terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Dadanya naik turun dengan cepat sementara kepalanya terasa kosong.Kayden menatapnya dengan ekspresi yang tetap tenang, seolah ciuman tadi bukan apa-apa. Namun, matanya berkilat penuh intensitas."Jangan takut,” gumam Kayden pelan. “Aku akan memastikan kamu tetap di sisiku, entah kamu mau atau tidak.”Lea hanya bis
Begitu mereka tiba di villa, Lea mendapati Kayden melangkah masuk dengan langkah sedikit terhuyung. Wajahnya tampak pucat. Meski ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan, Lea tahu pria itu berusaha menahan rasa sakit yang datang dari tangan kanannya yang patah.Lea mengikuti langkah Kayden dengan perasaan cemas yang semakin mendalam. Pria itu tampak lebih lelah dari sebelumnya dan sesekali meringis ketika tangannya bergerak sedikit lebih cepat dari yang seharusnya. Setiap ekspresi kesakitan itu semakin menggerogoti hati Lea, membuatnya merasa terhimpit dalam rasa bersalah yang terus menerus membanjiri pikirannya.Lea tahu Kayden terluka karena kejadian sebelumnya. Ia tak ingin bertanggung jawab, tapi perasaan itu terus mendorongnya untuk bertindak.“Kakak Ipar ….” Lea memanggil pria itu dengan suara pelan.Kayden melirik sekilas ke belakang. “Apa?” jawabnya dengan suara serak.Lea melangkah lebih dekat, matanya tertuju pada tangan Kayden yang terbungkus perban. “Apakah rasanya san
Malam harinya, Lea memutuskan untuk tetap tinggal di villa Kayden. Selain ingin merawat pria itu, ada sesuatu yang membuatnya enggan kembali ke villa Noah dan menghabiskan malam sendirian di sana. Meski Kayden sempat menolak, tapi Lea bersikeras.Saat ini ia tengah duduk di sudut kamar, tenggelam dalam buku lawas bergenre romansa yang selalu ia baca di waktu senggang. Lembar demi lembar bergulir tanpa ia sadari, hingga suara di ranjang menarik perhatiannya.Di sana, Kayden tengah berusaha turun. Lea buru-buru menutup bukunya dan meletakkannya di meja, lalu bergegas menghampiri kakak iparnya itu.“Biar kubantu,” ujarnya, jemarinya sudah menopang lengan Kayden.Kayden mendengus, kemudian melirik Lea dengan tatapan sinis. “Aku bukan anak kecil, Lea Rose. Aku bisa berjalan sendiri.”Lea hanya tersenyum. “Aku tahu, tapi aku ingin membantu.”Kayden lantas berdecak. “Yang patah itu tangan kananku, bukan kakiku. Aku bisa berjalan,” tegasnya lagi.Lea tetap di tempatnya dan menatap Kayden deng
Malam berikutnya, Kayden dan Lea duduk berdua di meja makan kecil di halaman belakang villa. Angin malam yang sejuk berembus lembut, membawa aroma bunga dari taman yang terletak tak jauh dari sana. Di atas meja, lilin-lilin kecil berkelap-kelip, memberikan cahaya lembut yang memantulkan bayang-bayang halus di wajah mereka.Di kejauhan, lampu-lampu villa bersinar redup. Namun di atas mereka, langit dipenuhi taburan bintang yang bersinar cerah. Bulan purnama menggantung rendah, memberikan sentuhan hangat pada suasana yang sudah begitu magis.Lea menyandarkan punggungnya di kursi, matanya melirik ke langit yang luas. “Uhm … ini terasa seperti kita sedang berbulan madu, ya?” ucapnya pelan, hampir tak percaya dengan suasana yang begitu sempurna.Kayden meliriknya sejenak, kemudian menyunggingkan senyum tipis. “Kamu terlalu banyak berpikir, Lea Rose. Ini hanya makan malam,” sahutnya, namun ada sedikit kelembutan dalam nada suaranya yang biasanya datar.Lea mengangkat gelasnya, kemudian memb
Kayden akhirnya membawa Lea ke kamar tamu yang terletak tepat di samping kamarnya. Dengan hati-hati, ia membaringkan wanita itu di atas ranjang, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Setelah memastikan Lea tertidur, Kayden melangkah keluar tanpa sepatah kata pun.Begitu memasuki kamarnya sendiri, ia memutuskan untuk duduk di tepi ranjang. Malam ini terasa lebih panjang dari biasanya. Pikirannya sedikit kacau, tapi ia memilih untuk tidak memikirkannya lebih jauh.Namun sebelum ia benar-benar bisa beristirahat, suara ketukan keras menggema di pintunya.Tok! Tok! Tok!“Kayden Easton!”Kayden membuka matanya, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit. Ketukan itu semakin keras, diiringi suara Lea yang memanggil namanya dengan nada tidak sabar. Dengan ekspresi datar, ia melangkah menuju pintu dan membukanya.Namun begitu pintu terbuka, Lea langsung masuk tanpa menunggu izin. Wanita itu berjalan dengan langkah sedikit sempoyongan sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di ku
Pagi itu, sinar matahari yang menembus tirai tipis membangunkan Lea. Kepalanya masih terasa berat akibat alkohol semalam. Namun sebelum kesadarannya sepenuhnya terkumpul, sesuatu yang asing membuatnya terjaga seketika.Ia bukan berada di kamar tamu. Dan matanya membelalak saat melihat siapa yang berbaring di sampingnya. Kayden.Jantung Lea berdetak cepat dan rasa panik langsung menyelimuti dirinya. Tanpa pikir panjang, Lea segera berguling ke sisi ranjang hingga jatuh ke lantai dengan suara gedebuk keras.“Ouch ….” Lea meringis pelan karena rasa sakit di bokongnya.Kayden yang terbangun karena suara itu langsung menoleh ke sisi ranjang. Dengan ekspresi malas, ia menatap Lea yang kini terduduk di lantai sambil meringis kesakitan. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan nada datar.Lea buru-buru membetulkan posisi duduknya. Napasnya sedikit tersengal karena kaget. “Apa yang terjadi? Kenapa kita tidur bersama?” tanyanya panik.Kayden menghela napas, lalu mengusap rambutnya yang sedikit
Beberapa hari kemudian ….Seperti yang sudah disepakati, Lea tiba di Bandara New York setelah penerbangannya dari Seychelles. Matanya menyapu keramaian, hingga pandangannya tertuju pada sosok pria yang duduk di kursi tunggu bersama seorang wanita dan tampak terlihat mesra. Itu adalah Noah dan Sophia.Lea mematung sejenak, seolah dunia di sekelilingnya tiba-tiba melambat. Ia merasa seperti penonton dalam drama yang tidak ada kaitannya dengan dirinya. Semuanya begitu nyata dan ia seperti berada di luar cerita mereka.‘Kenapa aku harus ada di sini?’ pikirnya dalam hati.Lea menghela napas pelan, kemudian berjalan pelan menghampiri mereka berdua. Sophia tersenyum manis saat melihat Lea mendekat.‘Kenapa dia tersenyum?’ gumam Lea dalam hati saat mata mereka bertemu. Namun, ekspresi Sophia segera berubah menjadi dingin begitu mereka saling berhadapan.Sophia menatap Lea dengan penuh cemooh sebelum tanpa ragu berkata pada Noah. “Aku tidak ingin semobil dengan istrimu, Noah.” Suaranya sengaja
Lea terpaku mendengar kata-kata itu, lalu buru-buru membungkam mulutnya rapat-rapat.“Bagus, seperti inilah yang aku inginkan. Gadis pintar,” bisik Kayden puas saat Lea lebih terkendali.Lea mencoba menjaga ketenangannya. “Aku tidak tahu apa tujuanmu melakukan ini. Tapi, bisakah kamu melepaskanku sekarang?” Suaranya berubah lebih lembut. “Aku tidak ingin memberontak. Karena kalau aku melawan, tanganmu yang terluka bisa semakin parah.”Lea merasa sudah cukup menyebabkan kekacauan hingga melukai pria itu. Dan ia benar-benar tidak ingin ada kekacauan lain akibat ulahnya lagi.Mendengar itu, Kayden tersenyum tipis. Tubuhnya tetap menekan punggung Lea dan lengan kirinya mengunci pinggang wanita itu dengan kuat.“Begitu peduli, hm?” gumamnya di dekat telinga Lea. “Atau ini hanya cara lain untuk membuatku lengah?”Lea meneguk saliva dengan berat. Ia benar-benar tidak bermaksud seperti itu, tapi berada dalam dekapan Kayden seperti ini membuatnya sadar akan satu hal—apa pun yang ia katakan bisa
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng