YURA masih terlihat limbung meskipun dia sangat yakin jika kesadarannya sudah mengumpul dengan sempurna. Perempuan itu baru saja mendarat sempurna di Bandara Ngurah Rai, Bali. Dia lantas menarik kopernya, saat bersamaan dengan ponselnya yang berdering.
“Halo?”
“Lama amat sih lo! Keburu garing gue nungguin di sini!”
Yura mengerutkan keningnya. “Nungguin? Lo jemput gue?”
“Ya menurut ngana aja? Siapa lagi kalau bukan gue yang jemput lo? Nggak mungkin si Om lo, kan?”
“Berisik lo ah! Bukannya lo bilang sibuk? Gue barusan keluar dari pintu kedatangan, nih.” Yura celingukan untuk menemukan keberadaan Leon. “Lo di mana?”
“Gue lagi ngadem di Despresso Coffee. Buruan susul ke sini!”
“Gitu bilang garing nungguin! Gigi lo yang garing!”
Leon tergelak di seberang sana. Lalu tanpa mengatakan apa-apa Yura mengakhiri panggilan tersebut.
Cuaca Bali siang itu terasa terik padahal waktu masih menunjuk angka sepuluh pagi waktu Bali. Yura lantas mengayunkan langkahnya menuju salah satu kedai kopi yang ada di bandara untuk menemui Leon yang tengah menunggunya.
Begitu tiba di Despresso Coffee, Yura mengedarkan matanya ke sekitar. Perempuan itu mengulas senyuman saat tatapannya bertemu dengan Leon yang saat ini tengah melambaikan tangan ke arahnya.
“Mana kopi gue!” Yura lantas menarik kursi yang ada di hadapan Leon, lalu meraih americano mint kesukaannya yang ternyata sudah dibelikan Leon. “Katanya lo kencan? Nggak jadi?”
“Kencan jam segini bikin muka gue gosong, Baby. Sorean dikit, dong. Nggak guna gue skinkeran kalau muka gue gosong, kan?”
Yura memutar matanya. Tidak heran dengan tingkah Leon. Bahkan dibandingkan dengan dirinya yang jarang sekali merawat diri, Leon lebih rajin melakukan perawatan.
“El, gue tadi—” Belum Yura menyelesaikan ucapannya, sebuah pesan dari seseorang muncul di layarnya. Perempuan itu lantas mengerutkan keningnya, heran.
“Siapa tuh, ‘Calon Suami Masa Depan’?” celetuk Leon saat menyadari bukan hanya Yura saja yang penasaran dengan seseorang yang baru saja mengirim pesan padanya.
“Nggak tahu. Gue sejak kapan sealay ini, sih?” Yura meraih ponselnya, lalu membuka pesan dari orang dengan nama kontak asing itu.
[Calon Suami Masa Depan: Udah landing? Kasih kabar kalau udah sampai, ya. Gue lupa tadi mau tanya lo nginep di mana.]
“Sialan!” desis perempuan itu kesal.
“Siapa, sih?” Leon yang ikut penasaran, lantas meraih ponsel Yura, kemudian membaca pesan yang baru saja dikirimkan orang itu di sana. “Ini siapa, Ra? Bukan Om lo, kan?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Krisna.”
Leon seketika membelalak. “OMG! Serius ini Krisna? Sejak kapan nama kontaknya lo bikin alay gini?”
Yura menghela napas, tak langsung menjawab pertanyaan Leon. “Gue nggak sengaja ketemu dia di bandara tadi, El.”
“Emang ya kalau jodoh, pasti ada aja kesempatan ketemunya.”
“Ngaco!”
“Ngapain aja sama dia?”
“Cuma ngobrol doang. Dan ya, dia sadar kalau gue menghindarinya.”
Leon seketika melebarkan pendengarannya. “Terus? Lo jawab apa?”
“Gue nggak mungkin bilang ke dia kalau gue nggak sengaja lihat dia ciuman sama ceweknya, kan?”
“Emang dia sama ceweknya?”
“Ya menurut lo?” sahut Yura dengan wajah galak. “Mau dia sama ceweknya or whatever she is, gue nggak peduli, El. Gue bukan siapa-siapanya dia.”
“Tapi dia yang ngambil perawan lo, kalau lo lupa,” ujar Leon dengan entengnya.
Yura seketika membelalak, lalu melemparkan tempat tissue ke arah Leon yang tampak senang mencibirnya. “Bahas aja terus, El! Gue udah bilang sama lo, ya! Yang terjadi di Lombok itu murni kekhilafan gue doang. Nggak ada yang membekas di hati gue dan—”
“Kalau momen itu nggak membekas di hati lo, lo nggak mungkin seheboh ini jelasin ke gue, Maemunah! Percuma lo bohong sama gue. Mau sekeras apa lo mengelaknya, gue yakin lo sempat menaruh harap sama si Pilot Ganteng ini.”
Dan Yura kalah telak. Membohongi Leon dengan berbagai alasan yang masuk akal sekalipun, hanya akan berakhir sia-sia.
“Sok tahu! Udah ah, El. Mending daripada lo ngajak debat nggak jelas gini, kita balik ke hotel. Gue udah gerah, nih! Pengen berendam air dingin gue. Enak kayaknya.”
“Tapi gerahnya bukan karena cuaca Bali, kan?” cibir Leon masih belum menyerah.
“El, gue sambit nih lama-lama!”
Leon tergelak. Keduanya memutuskan untuk bergegas meninggalkan Despresso Coffee detik itu juga.
“Sebelum balik hotel, lo mau jadi bikin tato nggak, Ra? Kebetulan temen gue lagi standby, nih.”
“Mau dong, El! Tapi beneran nggak sakit, kan?” Leon menggeleng di sela langkahnya. “Enaknya di sebelah mana, ya?”
“Di atas puting atau di bagian perut bagian bawah.”
“LEON!”
“Gue serius, Ra.” Leon tergelak. “Tato di bagian itu tuh, bakalan bikin keseksian lo meningkat seratus persen. Apalagi body lo lumayan gini. Grepeable gitu, lah.” Pria gemulai itu lantas merangkul bahu Yura, lalu kembali melanjutkan ucapannya. “Dan gampang bikin horny!”
Sementara Yura sudah kehilangan kata-kata.
Tepat saat waktu sudah menunjuk angka satu siang, mobil yang dikendarai mereka berbelok di salah satu studio tato yang ada di kawasan Seminyak.
Leon dan Yura lantas turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam studio tersebut, bersamaan dengan seorang pria dengan tubuhnya yang penuh tato menoleh, lalu menerbitkan senyumannya.
“Hai, Baby!” Pria dengan tubuhnya yang penuh tato itu berjalan menghampiri mereka, dan detik selanjutnya, Yura membelalak. Pria bertato itu mencium bibir Leon dengan mesra.
“Temen gue mau bikin tato, Ndiz. Kenalin dia sahabat gue.”
“Gue Andiz.”
“Yura.” Yura lantas menyambut uluran tangan Andiz.
“Well, Cantik. Lo mau tato apa?”
“Gue belum tahu sih pengen tato apa. Tapi gue kepikiran pengen bikin tato bunga dandelion di punggung gue.”
“Waw! Not bad, gue ada beberapa referensi, nih. Lo bisa lihat-lihat di sini.”
Andiz lantas mengangsurkan sebuah album kepada Yura, membiarkan perempuan itu melihat-lihat album tato yang bisa digunakan sebagai referensi.
Setelah memutuskan mengambil beberapa referensi di sana, Yura dibawa menuju ruangan pembuatan tato.
Yura merebahkan tubuhnya di sana, dan Andiz mulai menunjukkan kemampuannya dalam pembuatan tatonya.
“Nggak ada yang lebih bagus lagi selain bikin tato bunga mawar sama kupu-kupu? Lo pikir lo ini taman bunga?”
Yura terkekeh. “Tadinya gue kepikiran pengen tato ikan koi, El. Lucu banget nggak, sih mereka kayak lagi berenang di badan gue?”
“Wah, sinting juga lo lama-lama!” Dan Yura sontak tergelak.
Leon memutuskan untuk menunggu di sofa selagi Andiz masih menyelesaikan tato Yura. Hening sesaat, sesekali Yura meringis kesakitan saat jarum-jarum itu menusuk permukaan kulitnya.
Ponsel Yura yang bergetar, sejenak mengalihkan perhatian perempuan itu. Tangannya lantas meraih ponsel yang tadinya diletakkan nakas, lalu dia menghela napas.
“Hm?”
“Lagi apa? Kenapa W******p gue nggak dibalas, sih?”
Yura memutar matanya, lalu mendesah pelan. “Gue sibuk, Kris. Ada apa, sih?”
“Sibuk ngapain sampai-sampai buat balas W******p gue aja nggak sempat?”
Yura menggigit bibirnya. “Gue lagi ditato, mana sempat gue ngebales W******p lo sementara gue nahan sakit di sini, hm?”
“Tato?”
“Iya!”
“Mau lihat dong, Ra.”
“Enak aja! Udah ah, Kris. Gue tutup, ya. Gue sibuk. Bye!”
Lalu tanpa menunggu tanggapan Krisna dari seberang sana, Yura sudah lebih dulu mengakhiri panggilan tersebut.
“Fixed! Doi ngebet banget sama lo, Ra!”
Yura menoleh ke arah Leon yang tampak santai di sana. “Nggak usah ngaco deh, El.”
“Feeling gue sih doi ada rasa sama lo. Mau sampai kapan sih lo bersikap denial gini?”
“Gue nggak denial!” ujar Yura tak terima. Gue cuma nggak mau tertipu untuk kedua kalinya. Yura menghela napas. “Lihat nanti, deh. Gue bahkan nggak berminat untuk menjalin hubungan sama seseorang dalam waktu dekat ini.”
“Bukan karena lo belum bisa move on dari Om lo, kan?”
“Meskipun gue belum bisa move on, gue nggak mau memulai hubungan sama dia, El. Dia udah bikin gue patah hati begitu hebatnya, dan—”
“Kalau begitu nggak ada salahnya lo buka hati buat Krisna,” potong Leon dengan cepat.
Sementara Yura tidak menjawab. Sialnya, Krisna bahkan tak henti-hentinya mengusik pikirannya sejak tadi.
***
Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.
“Thanks, Joey. Cuma lo doang yang bisa ngertiin posisi gue. Gue nggak tahu mesti gimana lagi kalau nggak ada lo.”“Anytime, Kris. Salam buat nyokap sama bokap lo, ya?”Setelah berbincang dengan Joey, Krisna memutuskan untuk meninggalkan bandara dan bergegas pulang ke rumah.Taksi yang dikendarainya berhenti tepat di depan pekarangan rumah orang tuanya. Jantung Krisna mendadak berdebar kencang.Setelah mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi, Krisna lantas turun dari mobil tersebut, lalu melangkah melewati pagar depan rumah.Dua tahun setelah kepergiannya, dan selama itu pula Krisna tidak menjejakkan kakinya di rumah ini. Meskipun sesekali pria itu datang ke Jakarta, tapi rumah ini adalah rumah yang selalu dihindarinya. Senyum kecil terbit di wajah pria itu. Rupanya tak banyak yang berubah di sana.Seorang perempuan paruh baya yang tadinya sibuk di taman, mengalihkan pandangannya begitu Krisna melangkah mendekat. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Senyum ibunya ma
“Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini, Ra. Aku—”“Aku mau datang ke sini karena Leon yang memaksaku. Andai saja bukan karena Leon, aku nggak mungkin ada di sini,” ujar Yura dengan sinis.“Apa aku harus berterima kasih sama Leon karena udah mau membujuk kamu untuk datang ke sini?”Yura memutar matanya sembari memalingkan wajahnya. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi ucapan Abhimana.Bagaimana bisa Abhimana terlihat begitu tenang setelah apa yang selama ini terjadi dengan mereka? Lalu di mana Leon? Bahkan sahabatnya itu justru menghilang begitu saja disaat Yura tengah terjebak di dalam situasi memuakkan ini.“Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ra. Ada banyak hal mengecewakan yang telah aku lakukan terhadap kamu. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja?”Yura terhenyak selama beberapa saat. Dari sekian kalimat yang ingin didengarnya dari Abhimana, kalimat permohonan dari Abhimana itu adalah kalimat yang tidak ingin didengarnya.“Kesempatan apa?” Sekuat t
KRISNA tidak ingat bagaimana bisa mereka terjebak di tempat ini. Bagaimana ciuman yang semula terhenti, lalu dimulai lagi, dan kini berubah menjadi candu dan menggebu-gebu.“Apa gue kurang menarik?” Yura bergumam lirih, matanya terlihat sayu seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.“Lo mabuk, Ra.”Yura menggeleng cepat. “No, jawab gue, Kris. Apa gue kurang cantik?”Krisna menyelipkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Yura. Bohong jika Krisna mengatakan bahwa Yura tidak cantik. “You look so damn beautiful.”“Really?”“Hm-mm. Lo cantik, Ra.”Seolah merasa dejavu, Krisna masih mengingat betul bagaimana kejadian ini pernah terjadi. Hanya tempatnya saja yang berbeda, tapi situasi ini hampir mirip dengan kejadian waktu itu.“Kiss me, please,” gumam Yura dengan sedikit memohon.“Lo mabuk, Ra. Lo tidur, ya?”Alih-alih mendengar perkataan Krisna, Yura justru semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu hingga kini keduanya tak lagi berjarak.“Lo bilang gue cantik, tapi lo nggak mau
YURA ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Bagaimana bisa dia melakukan kesalahan sefatal ini, padahal jelas-jelas dampaknya tidak baik pada hati dan pikirannya?Perempuan itu lantas menarik selimutnya hingga sebatas dada. Langit masih terlihat gelap, matahari bahkan belum tampak dari balik tirai jendela. Tapi Yura sepagi ini sudah berteriak hingga membangunkan Krisna yang juga dalam kondisi sama-sama polos. “Astaga, Ra. Aku masih ada dua jam lagi buat tidur sebelum nanti terbang. Bisa nggak, sih, nggak usah pakai teriak segala?”Yura menggigit bibirnya dengan wajahnya yang tertunduk. “Kris…”“Hm?” sahut Krisna dengan wajahnya yang sedikit mengantuk.“Kita lupakan yang terjadi semalam, okay? Gue dalam keadaan mabuk dan anggap saja nggak pernah terjadi apa-apa di antara—”“Kalau aku nggak mau?”Yura termangu selama beberapa saat. Alih-alih menggunakan gue-lo sebagai sapaan seperti biasanya, Krisna sudah menggantinya dengan sebutan aku-kamu dalam percakapannya.“Kris, gue—”“Kamu menye
SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.“Pagi, Bi Siti.”“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”“Alhamdulil
“Mau, kan, nemenin aku ke acara keluarga?”Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Yura memutuskan untuk menjawab. Di antara semua sikap yang pernah ditunjukkan Krisna, baru kali ini Yura melihat mata kelam Krisna memancar ke arahnya.Pria itu mendesah frustasi, wajahnya tertunduk seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya, tapi tidak berhasil diungkapkan olehnya. “Aku pernah gagal bertunangan dengan seseorang. Semuanya sudah siap, tapi aku pernah mengacaukan segalanya dan membuat mereka kecewa,” aku Krisna. “Dan aku nggak mau bikin mereka kecewa untuk kedua kalinya, Ra.”“Lo nggak mungkin ngenalin gue sebagai cewek lo atau calon istri lo, kan?” tembak Yura tidak menyetujui ide Krisna.“Kalau itu bisa membantu, kenapa nggak?”Yura memutar matanya sembari berdecak. “Lo nggak mungkin bohong sama mereka kan, Kris? Bukannya mereka akan jauh lebih kecewa kalau lo bohong sama mereka?”“Kalau begitu nggak usah bohong sama mereka.”Sementara Yura hanya mendecak.“Niat awalnya kan memang pengen
“Ra, ada tamu di bawah, tuh.”Suara ketukan dari luar kamarnya, sejenak mengalihkan perhatian Yura yang sejak tadi sibuk menatap dirinya di depan layar kaca. Wulan—Mama Yura, tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap.“Siapa, Ma?”“Nak Krisna.” Wulan lantas melangkah mendekati Yura, lalu duduk di tepian ranjang tidurnya dengan matanya yang tak lepas dari menatap putri semata wayangnya.“Biar aja nunggu sebentar, Ma. Aku bentar lagi selesai, kok.”“Mama udah lama banget nggak ketemu sama dia. Mama pikir… kamu udah nggak sama dia lagi.”“Aku sama Krisna memang cuma temenan doang, Ma. Mama ngarepin apa, sih?”Wulan tersenyum. “Apa kamu nggak pengen nikah juga, Ra? Mau sampai kapan kamu sendiri terus, hm? Bahkan Sasi udah punya anak, kan?”“Aku nggak sendiri, kok. Kan ada Mama di sini yang bakalan nemenin aku,” jawab Yura tanpa memalingkan wajahnya dari depan kaca.“Mama serius, Ra. Mama nggak tenang kalau kamu masih sendiri begini. Emang kamu nggak tertarik sa
Dengan diselimuti rasa gugupnya, Krisna mengayunkan langkahnya melewati pintu depan rumah itu. Tangannya yang kini tengah menggenggam tangan Yura, membawa perempuan itu masuk lebih dalam hingga langkah mereka terhenti tepat di samping taman.Samar sekali Krisna mendengar suara seseorang yang tengah berbicara di sana. Matanya lurus ke depan, sementara Yura yang kini berdiri di sampingnya, bisa merasakan genggaman tangan Krisna semakin erat.“Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh keluarga besar saya yang sudah menyiapkan acara pertunangan ini.” Sayup-sayup suara Steven terdengar. “Dan di hadapan semua orang yang ada di sini…”Jeda sesaat, tatapan Steven kini teralihkan pada sosok perempuan yang tengah berdiri di sampingnya. “Rembulan Nawang Maninggar, will you marry me?”“Terima! Terima! Terima!” Suara gemuruh semua orang membuat suasana berubah menjadi riuh. “Will you spend the rest of your life with me?”Lalu anggukan samar dari perempuan itu mengubah suasana yan
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja