“Lo bisa nggak sih, nggak usah bawel? Gue udah di bandara, El. Nggak akan ada drama ketinggalan pesawat lagi, kok!” ujar Yura berkilah.
“Nggak ada salahnya gue ngingetin, kan? Terakhir kali liputan kemarin, gue kena amukan Wira kalau lo lupa!”
Yura mendecak pelan. Jika diingat-ingat kejadian waktu itu, kesalahan memang ada pada Yura. Saat itu Yura memang tengah sibuk menekuri laptopnya dengan mengenakan earphone, sampai-sampai dia tidak mendengar suara operator bandara yang memberitahukan penerbangannya. Alhasil perempuan itu ketinggalan pesawat.
“Bahas terooooos! Gue kan udah ganti rugi, El. Kenapa mesti dibahas lagi, sih!” Yura bersungut-sungut. Saat itu suasana hatinya memang sedang tidak baik.
“Gue nanti malam mau kencan, Ra. Lo sendirian gue tinggal nggak apa-apa kan, ya?”
“Emang biasanya juga gimana? Nanti gue coba cari cowok ganteng deh pas di sana.”
Leon mendecak pelan. “Sok-sokan lo! Kayak udah move on aja dari si Om. Eh btw, Ra, kenapa lo nggak berangkat bareng sama Om lo aja, sih?”
“Ogah! Kalau bukan ini karena lo yang maksa, gue nggak bakalan mau datang, ya! Lo tau kalau jantung gue nggak bakalan aman sama dia, kan?”
“Masih cinta lo sama dia? Bukannya malah bagus, kan? Dia udah putus sama si Nenek Lampir. Lo sama dia juga nggak ada ikatan darah, kan? Kali aja gitu, mau lanjutin kisah yang belum kalian mulai.”
Yura menghela napas pendek. Dia bahkan tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. “Atau hati lo udah kebagi sama si Babang Pilot?”
“Nggak usah ngaco deh, El. Gue bahkan nggak ada hubungan apapun sama dia.”
“Tapi dia cukup membekas di hati lo, kan? Awas aja lo di sini mabuk, terus tiba-tiba ngomongin dia lagi!”
“Buka aja semua aib gue, El! Sialan!” sengal Yura, dan hal itu membuat Leon tertawa puas di seberang sana.
“Lo pakai gengsi segala, sih. Kurang apa, coba? Udah ganteng, pilot, body goals banget, sayangnya aja dia nggak homo. Coba homo, gue embat, deh!”
“Dia udah punya cewek, El. Gue nggak mau jadi perusak rumah tangga orang!”
“Masa, sih? Setelah apa yang terjadi sama kalian, gitu? Ya menurut ngana aja dia nggak tertarik sama lo?”
“Udah deh, El. Kenapa malah jadi bahas dia, sih? Sana gih kalau lo mau jalan, gue mau kelarin artikel gue dulu sebelum boarding, nih.”
“Iya, iya, bawel!”
Usai mengakhiri panggilannya, Yura lantas menyimpan ponselnya. Dia kembali meneguk kopinya yang sudah tidak panas lagi. Bersamaan dengan suara teguran seseorang, seketika mengalihkan perhatiannya.
Yura terpaku selama beberapa saat, menatap pria jangkung dengan seragam pilot kebanggaannya. Pria itu tersenyum ke arahnya.
“Perasaan baru tadi gue lihat lo bangun tidur, tapi kenapa sekarang lo udah di sini?”
“Hah?” Yura mengerjap.
Krisna terkekeh. “Gue lihat dari medsos lo!”
Bukan suatu kebetulan Yura dan Leon membicarakan pria itu, dan tiba-tiba saja dia muncul begitu saja, kan?
“Ngapain lo di sini?”
“Dengan penampilan gue yang sekarang ini, menurut lo gue di sini ngapain?” Krisna lantas duduk di hadapan Yura, menyesap kopinya dengan perlahan.
Yura memutar matanya sembari berdecak. “Ya kali aja lo habis pulang dari sawah!” sungut perempuan itu dengan wajahnya yang berpaling ke arah jendela.
Enam bulan telah berlalu semenjak Yura memutuskan untuk menjauh dari Krisna. Bukan tanpa alasan, hanya saja Yura tidak ingin terlalu banyak berharap pada perasaan yang tidak jelas. Terlebih saat dia juga masih belum yakin pada hatinya sendiri.
“Lo masih saja menggemaskan, ya?” Krisna memiringkan wajahnya, senyum lebar terbit di wajah pria itu. “Setelah lo ngindarin gue, lo sekarang mau kabur lagi?”
Yura mendengus pelan, tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan Krisna. “Apaan sih? Ngindarin lo? Lo nggak sepenting itu, by the way,” ujarnya berkilah.
“Tapi kenapa gue mikirnya justru sebaliknya, ya? Udah gitu, lo nggak pernah balas W******p gue. Gue jadi kepikiran pernah bikin salah apa sama lo,” kelakar Krisna tak terima.
Yura tak langsung menjawab. Otaknya terus berpikir untuk mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan pria itu.
“Come on, Kris. Gue udah bilang, kan, kalau lo nggak sepenting itu.” Yura menggigit bibirnya sembari memalingkan wajah. “Gue… cuma sibuk dan pengen fokus sama kerjaan gue. That's it.”
“Oh ya?” Krisna menyesap americano-nya. “Kalau gitu, jangan abaikan gue lagi.” Pria itu lantas meraih ponsel milik Yura yang ada di atas meja. Lalu, “Apa password-nya?”
“Mau ngapain lo?” sengal Yura dengan galak.
“Gue cuma pengen memastikan aja kalau nomor gue nggak lo blokir.”
“Astaga! Siniin hp gue, nggak!” Yura berusaha merebut ponselnya dari Krisna, tapi Krisna berhasil mencegahnya. “Gue nggak se-childish itu kali, Kris!”
“Kalau lo nggak se-childish itu, lo harusnya kasih tau gue password-nya.”
“Lo nggak paham yang namanya privacy?” sembur Yura tak mau kalah.
“Nggak kalau buat cewek yang udah bikin gue kelabakan mikirin dia!”
Yura sontak membelalak. “Ya terus salah gue kalau lo mikirin gue?”
“Iya!”
“Lebay!”
“Ya gimana nggak lebay, kalau lo aja muter-muter di pikiran gue mulu.”
Yura mendecak pelan, akhirnya memilih untuk menyerah. Perempuan itu lantas membuka password ponselnya, membiarkan pria itu melakukan apapun yang ingin dia lakukan setelah ini.
‘Manusia Buaya’
“Manusia buaya?”
Yura menipiskan bibirnya untuk tidak meledakkan tawa, mengabaikan tatapan Krisna yang kini tengah menunggu penjelasan darinya.
Alih-alih menjelaskannya, Yura lantas bersuara. “Kenapa? Lo nggak terima?”
“Wah, lo selalu penuh kejutan, ya?”
“Salah?”
Krisna menggelengkan kepalanya, tidak terima dengan apa yang baru saja dikatakan Yura. Pria itu lantas mengganti nama kontaknya dengan nama lain, sebelum kemudian dia mengembalikan ponselnya kepada Yura.
“Nugas rute ke mana lo? Tahu banget gue di sini?” tanya Yura basa-basi.
“Dari Bali. Kebetulan gue ada janji ketemu sama Joey di sini, dan tadi gue lihat lo. Jadi ya gue samperin.”
“Oh.” Yura membulatkan bibirnya sembari manggut-manggut, lalu kembali fokus ke layar.
“Lo sendiri mau ke mana?”
“Ada acara kantor, yang kebetulan diadakan di Bali. Bentar lagi boarding, sih.”
“Sendirian doang? Nggak ada crew lain?”
Yura mengangguk. “Iya. Yang lainnya udah berangkat duluan. Tinggal gue yang belakangan.”
“Berapa lama di Bali?”
“Tiga harian, maybe?” Yura mengedikkan bahu. “Gue nggak tertarik sebenarnya. Cuma karena Leon maksa gue, gue nggak punya pilihan lain.”
“Bisa lah kita ketemu di sana nanti? Itupun kalau lo nggak ngehindarin gue lagi. Kebetulan besok pagi gue masih ada jadwal terbang ke Bali,” ujar Krisna dengan santai.
“Lo nggak berubah, ya? Masih aja tukang modus!”
Sementara Krisna hanya terkekeh. Pria itu lantas menyesap kopinya, “gue kangen sama lo, Ra,” ujarnya tiba-tiba.
“Gue nggak.”
“Masa, sih?” Krisna tersenyum tipis, dan hal itu sejenak mengalihkan perhatian Yura.
Damn, he's so damn hot. Terkutuklah isi kepala lo, Ra!
“Sayang banget. Padahal dulu kita udah pernah ngelakuin banyak hal. Jangan bilang lo udah ada cowok baru, ya?”
“Ngomong apaan sih lo, Kris? Nggak usah bahas yang udah-udah, deh. Gue—” Yura mengerjapkan matanya, berusaha untuk menemukan kalimat yang tepat untuk menanggapi perkataan Krisna. “—gue bahkan udah lupa sama kejadian waktu itu.”
Beruntung suara operator bandara saat itu sudah lebih dulu mengalihkan perhatian mereka. Yura dengan cepat membereskan barang-barangnya, termasuk laptop, buku catatan, dan ponselnya. Lalu dia bangkit berdiri.
“Gue cabut dulu,” ujar Yura dengan cepat.
Namun baru saja perempuan itu hendak bangkit dari duduknya, Krisna sudah lebih dulu mencegahnya.
“Di Bali nanti bisa, kan kita ketemu lagi?”
Yura menggeleng ragu. “Gue nggak tahu, Kris. Lihat nanti, ya?”
“Well, kalau lo nggak mau, gue masih punya banyak cara,” ujar Krisna sembari menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
“Dasar tukang modus!”
Lalu tanpa menunggu Krisna mengatakan apa-apa lagi, Yura melangkah begitu saja meninggalkan Krisna yang masih termenung di tempatnya.
Yura menghela napas panjang dengan satu tangannya yang menekan dadanya kuat-kuat. Dia tidak yakin jika jantungnya akan baik-baik saja ketika harus berhadapan dengan Krisna. Pria itu terlalu berbahaya, dan Yura tidak ingin terjebak untuk kesekian kalinya.
“Stay calm, Ra. Lo cuma nggak sengaja ketemu sama dia, okay? Nggak usah baper!”
Memilih untuk mengenyahkan pikirannya tentang pertemuan tak sengajanya dengan Krisna, Yura bergegas masuk ke pesawat. Berharap setelah dia terbang nanti, Krisna juga akan lenyap dari pikirannya.
***
Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.
YURA masih terlihat limbung meskipun dia sangat yakin jika kesadarannya sudah mengumpul dengan sempurna. Perempuan itu baru saja mendarat sempurna di Bandara Ngurah Rai, Bali. Dia lantas menarik kopernya, saat bersamaan dengan ponselnya yang berdering.“Halo?”“Lama amat sih lo! Keburu garing gue nungguin di sini!”Yura mengerutkan keningnya. “Nungguin? Lo jemput gue?”“Ya menurut ngana aja? Siapa lagi kalau bukan gue yang jemput lo? Nggak mungkin si Om lo, kan?”“Berisik lo ah! Bukannya lo bilang sibuk? Gue barusan keluar dari pintu kedatangan, nih.” Yura celingukan untuk menemukan keberadaan Leon. “Lo di mana?”“Gue lagi ngadem di Despresso Coffee. Buruan susul ke sini!”“Gitu bilang garing nungguin! Gigi lo yang garing!”Leon tergelak di seberang sana. Lalu tanpa mengatakan apa-apa Yura mengakhiri panggilan tersebut.Cuaca Bali siang itu terasa terik padahal waktu masih menunjuk angka sepuluh pagi waktu Bali. Yura lantas mengayunkan langkahnya menuju salah satu kedai kopi yang ada
“Thanks, Joey. Cuma lo doang yang bisa ngertiin posisi gue. Gue nggak tahu mesti gimana lagi kalau nggak ada lo.”“Anytime, Kris. Salam buat nyokap sama bokap lo, ya?”Setelah berbincang dengan Joey, Krisna memutuskan untuk meninggalkan bandara dan bergegas pulang ke rumah.Taksi yang dikendarainya berhenti tepat di depan pekarangan rumah orang tuanya. Jantung Krisna mendadak berdebar kencang.Setelah mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi, Krisna lantas turun dari mobil tersebut, lalu melangkah melewati pagar depan rumah.Dua tahun setelah kepergiannya, dan selama itu pula Krisna tidak menjejakkan kakinya di rumah ini. Meskipun sesekali pria itu datang ke Jakarta, tapi rumah ini adalah rumah yang selalu dihindarinya. Senyum kecil terbit di wajah pria itu. Rupanya tak banyak yang berubah di sana.Seorang perempuan paruh baya yang tadinya sibuk di taman, mengalihkan pandangannya begitu Krisna melangkah mendekat. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Senyum ibunya ma
“Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini, Ra. Aku—”“Aku mau datang ke sini karena Leon yang memaksaku. Andai saja bukan karena Leon, aku nggak mungkin ada di sini,” ujar Yura dengan sinis.“Apa aku harus berterima kasih sama Leon karena udah mau membujuk kamu untuk datang ke sini?”Yura memutar matanya sembari memalingkan wajahnya. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi ucapan Abhimana.Bagaimana bisa Abhimana terlihat begitu tenang setelah apa yang selama ini terjadi dengan mereka? Lalu di mana Leon? Bahkan sahabatnya itu justru menghilang begitu saja disaat Yura tengah terjebak di dalam situasi memuakkan ini.“Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ra. Ada banyak hal mengecewakan yang telah aku lakukan terhadap kamu. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja?”Yura terhenyak selama beberapa saat. Dari sekian kalimat yang ingin didengarnya dari Abhimana, kalimat permohonan dari Abhimana itu adalah kalimat yang tidak ingin didengarnya.“Kesempatan apa?” Sekuat t
KRISNA tidak ingat bagaimana bisa mereka terjebak di tempat ini. Bagaimana ciuman yang semula terhenti, lalu dimulai lagi, dan kini berubah menjadi candu dan menggebu-gebu.“Apa gue kurang menarik?” Yura bergumam lirih, matanya terlihat sayu seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.“Lo mabuk, Ra.”Yura menggeleng cepat. “No, jawab gue, Kris. Apa gue kurang cantik?”Krisna menyelipkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Yura. Bohong jika Krisna mengatakan bahwa Yura tidak cantik. “You look so damn beautiful.”“Really?”“Hm-mm. Lo cantik, Ra.”Seolah merasa dejavu, Krisna masih mengingat betul bagaimana kejadian ini pernah terjadi. Hanya tempatnya saja yang berbeda, tapi situasi ini hampir mirip dengan kejadian waktu itu.“Kiss me, please,” gumam Yura dengan sedikit memohon.“Lo mabuk, Ra. Lo tidur, ya?”Alih-alih mendengar perkataan Krisna, Yura justru semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu hingga kini keduanya tak lagi berjarak.“Lo bilang gue cantik, tapi lo nggak mau
YURA ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Bagaimana bisa dia melakukan kesalahan sefatal ini, padahal jelas-jelas dampaknya tidak baik pada hati dan pikirannya?Perempuan itu lantas menarik selimutnya hingga sebatas dada. Langit masih terlihat gelap, matahari bahkan belum tampak dari balik tirai jendela. Tapi Yura sepagi ini sudah berteriak hingga membangunkan Krisna yang juga dalam kondisi sama-sama polos. “Astaga, Ra. Aku masih ada dua jam lagi buat tidur sebelum nanti terbang. Bisa nggak, sih, nggak usah pakai teriak segala?”Yura menggigit bibirnya dengan wajahnya yang tertunduk. “Kris…”“Hm?” sahut Krisna dengan wajahnya yang sedikit mengantuk.“Kita lupakan yang terjadi semalam, okay? Gue dalam keadaan mabuk dan anggap saja nggak pernah terjadi apa-apa di antara—”“Kalau aku nggak mau?”Yura termangu selama beberapa saat. Alih-alih menggunakan gue-lo sebagai sapaan seperti biasanya, Krisna sudah menggantinya dengan sebutan aku-kamu dalam percakapannya.“Kris, gue—”“Kamu menye
SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.“Pagi, Bi Siti.”“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”“Alhamdulil
“Mau, kan, nemenin aku ke acara keluarga?”Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Yura memutuskan untuk menjawab. Di antara semua sikap yang pernah ditunjukkan Krisna, baru kali ini Yura melihat mata kelam Krisna memancar ke arahnya.Pria itu mendesah frustasi, wajahnya tertunduk seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya, tapi tidak berhasil diungkapkan olehnya. “Aku pernah gagal bertunangan dengan seseorang. Semuanya sudah siap, tapi aku pernah mengacaukan segalanya dan membuat mereka kecewa,” aku Krisna. “Dan aku nggak mau bikin mereka kecewa untuk kedua kalinya, Ra.”“Lo nggak mungkin ngenalin gue sebagai cewek lo atau calon istri lo, kan?” tembak Yura tidak menyetujui ide Krisna.“Kalau itu bisa membantu, kenapa nggak?”Yura memutar matanya sembari berdecak. “Lo nggak mungkin bohong sama mereka kan, Kris? Bukannya mereka akan jauh lebih kecewa kalau lo bohong sama mereka?”“Kalau begitu nggak usah bohong sama mereka.”Sementara Yura hanya mendecak.“Niat awalnya kan memang pengen
“Ra, ada tamu di bawah, tuh.”Suara ketukan dari luar kamarnya, sejenak mengalihkan perhatian Yura yang sejak tadi sibuk menatap dirinya di depan layar kaca. Wulan—Mama Yura, tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap.“Siapa, Ma?”“Nak Krisna.” Wulan lantas melangkah mendekati Yura, lalu duduk di tepian ranjang tidurnya dengan matanya yang tak lepas dari menatap putri semata wayangnya.“Biar aja nunggu sebentar, Ma. Aku bentar lagi selesai, kok.”“Mama udah lama banget nggak ketemu sama dia. Mama pikir… kamu udah nggak sama dia lagi.”“Aku sama Krisna memang cuma temenan doang, Ma. Mama ngarepin apa, sih?”Wulan tersenyum. “Apa kamu nggak pengen nikah juga, Ra? Mau sampai kapan kamu sendiri terus, hm? Bahkan Sasi udah punya anak, kan?”“Aku nggak sendiri, kok. Kan ada Mama di sini yang bakalan nemenin aku,” jawab Yura tanpa memalingkan wajahnya dari depan kaca.“Mama serius, Ra. Mama nggak tenang kalau kamu masih sendiri begini. Emang kamu nggak tertarik sa
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja