“I want to break up.”
“Kamu ngomong apa, sih?” tanya Krisna dengan ekspresi datar. “Bercanda kamu nggak lucu.”
Awan menghela napas. “Aku nggak bercanda, Kris. Aku serius.”
“Why?” desak Krisna, seolah tidak sabar untuk mendengar penjelasan dari kekasihnya.
“Nothing. Aku cuma ngerasa selama ini menjalin hubungan sama kamu, hanya membuatku merasa takut setiap hari. Bukannya aku bahagia, tapi aku justru tersiksa karenanya.”
Krisna memaksa kelopak matanya agar terbuka dengan cepat, napasnya terengah-engah. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya seiring dengan dadanya terasa sesak.
Mimpi itu lagi. Padahal Krisna tahu dua tahun telah berlalu.
Dengan susah payah Krisna mengubah posisinya menjadi duduk. Napasnya masih saja tak beraturan, bayang-bayang mantan kekasihnya lagi-lagi mengusik ketenangan hidupnya.
Pria itu lantas meraup wajahnya dengan gusar. Lalu melirik jam yang ada di atas nakas. Penerbangan pertamanya menuju Jakarta masih dua jam lagi. Tapi entah mengapa Krisna merasa jika keputusannya untuk mengambil rute ke Jakarta kali ini adalah kesalahan besar.
Haruskah Krisna menarik kembali keputusannya?
Dengan langkah gontai, pria itu turun dari tempat tidurnya. Krisna lantas bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Usai melangsungkan ritual mandinya selama lima belas menit, Krisna keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang masih basah. Pria itu lantas meraih seragam kebanggaannya dari dalam koper, lalu mengenakannya dengan cepat.
Pria itu menghela napas panjang. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Krisna mulai bersiap-siap untuk meninggalkan hotel bersamaan dengan pesan dari orang yang menjemputnya muncul di layar.
Langkah Krisna terayun dengan penuh percaya diri melewati lobi. Lalu pria itu menerbitkan senyumannya.
“Good morning, Capt.” Pria berseragam rapi itu lantas membukakan pintu mobilnya untuk Krisna. “How are you?”
“Good morning, Mike. I'm good. Thank you.” Krisna menepuk bahu Mike, lalu pria itu bergegas masuk ke dalam mobil.
Tak lama setelahnya, mobil mulai melaju meninggalkan hotel untuk menuju ke bandara.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, tatapannya terlempar ke samping jendela dengan kacamata hitam yang membingkai di wajah. Cuaca Bali pagi itu terlihat begitu cerah, langit biru bahkan tampak begitu indah dan megah.
Waktu sudah menunjuk angka enam pagi saat Krisna tiba di Bandara Ngurah Rai. Pria itu melangkah penuh percaya diri dengan satu tangannya yang menarik koper. Bersamaan dengan suara sapaan seseorang yang menghentikan langkahnya.
“Welcome home?”
Krisna menolehkan wajah ke arah sumber suara, sebelum kemudian pria itu menurunkan kacamata hitamnya sedikit, dan mendapati Bima—co-pilot sekaligus sahabatnya itu, berjalan menghampirinya.
“Long time no see,” ujar Krisna sembari memeluk sahabatnya, entah sudah berapa lama mereka tidak lagi ditugaskan dalam satu penerbangan. Rasanya sudah lama sekali.
“Gue pengen dengar kabar lo baik,” ujar Bima saat itu.
“Lo nggak lihat sebaik dan setampan apa penampilan gue?” kelakar Krisna jumawa.
“Lo habis nidurin cewek bule atau cewek lokal? Gue nggak tahu kalau lo sekarang jadi tukang narsis,” cibir Bima heran.
Sementara Krisna tergelak. “Coffee?”
“Sure. Pertemuan kita ini harus dirayakan, bukan?” ujar Bima dengan entengnya.
“Brengsek!”
Bima tergelak. Keduanya memutuskan untuk melangkah menuju Despresso Coffee yang ada di dekat pintu kedatangan.
“Gue yang traktir, Capt. Kopi lo masih sama kayak biasanya, kan? Americano, no sugar?”
“Yup.”
Selagi Bima berjalan mengambil barisan antrian, Krisna melangkah menuju salah satu meja kosong yang ada di sudut kafe. Tangannya lantas merogoh saku celananya, meraih ponsel yang tersimpan di sana.
Saat Krisna baru saja meletakkan ponselnya. Sebuah notifikasi muncul di layarnya.
‘yurainism is just posting a photo.’
Dan detik itu juga senyum Krisna mengembang dengan sempurna.
“Siapa tuh?”
Suara celetukan Bima yang tiba-tiba muncul di belakang Krisna, membuat pria itu lantas menoleh. “Oh, ini…”
“Cewek lo?”
“Bukan.”
“Temen tidur?”
“Bukan.”
“Friends with benefits?”
“Gue nggak tahu kalau setelah sekian lama kita nggak ketemu, lo jadi tukang kepo.”
Mendengar ucapan sahabatnya itu, Bima sontak tergelak. Pria itu lantas mengangsurkan secangkir americano panas ke arah Krisna.
“Saking kangennya gue sama lo, Capt.” Bima mengerling jahil. “Lo nggak pernah melakukan hal ini sebelumnya, bahkan bukan medsos addict. Jadi wajar kalau gue kepo, kan?”
“Kenalan gue. Cewek Jakarta.”
Bima hanya membulatkan bibirnya sembari menyesap kopi miliknya. “Cantik.”
“Iya. Dan menarik.” Krisna menyesap kopinya. “Tadinya gue cuma iseng, Bim. Tapi semakin ke sini, postingan dia selalu bikin gue ketawa. Entah kenapa gue selalu terhibur karenanya.”
Seperti foto yang baru saja diunggahnya pagi ini. Perempuan itu mengunggah sebuah foto disertai caption di bawahnya.
[pengen dibangunin sama pacar juga. E tapi pacar aja gak punya!]
Krisna hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sungguh perempuan itu menggemaskan sekali.
“Gebet aja udah,” ujar Bima memberikan saran.
“Anaknya udah lama ngehindarin gue.”
Bima lantas mengerutkan keningnya. “Ngehindar? Kenapa emangnya?”
“Gue… pernah melakukan kesalahan sama dia waktu di Lombok dulu.”
Seolah tahu maksud dari ‘kesalahan’ yang dikatakan Krisna, Bima manggut-manggut. “Tumben lo ngerasa bersalah gini? Biasa juga gonta-ganti kayak ban serep, kan?”
“Yang ini beda, Bim. Gue beberapa kali terlibat beberapa hal sama dia. Bahkan gue pernah donorin darah gue buat dia. Yah, meskipun tadinya gue nganggap dia kayak cewek lainnya, tapi ternyata dia beda.”
“Jangan bilang lo jatuh cinta sama dia?” tembak Bima cepat.
Sementara Krisna hanya menggeleng ragu. Bagaimana bisa Krisna jatuh cinta dengan perempuan itu, sementara dia masih sibuk memikirkan mantan kekasihnya?
“Lo masih belum bisa move on dari Awan?” ujar Bima sesaat setelah menangkap keraguan dari balik mata Krisna.
Mendengar nama mantannya disebut, Krisna menatap ke arah Bima selama beberapa detik, lalu mengembuskan napas perlahan.
“Gue masih sesekali mimpiin dia,” aku Krisna dengan jujur.
“Dua tahun berlalu, Kris. Mungkin bisa jadi dia udah bahagia di sana.” Bima menyesap kopinya hingga tandas, lalu melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya. “Dan seharusnya, keputusan lo kembali ke Jakarta, bisa jadi awal kehidupan lo yang baru.”
“I wish.”
Keduanya memutuskan untuk meninggalkan kedai kopi tersebut saat mereka sudah memasuki waktu briefing dengan awak kabin lainnya.
Keduanya melangkah melewati pintu kedatangan, dan bergegas menuju ruangan khusus untuk crew dan bersiap untuk bertugas hari ini.
Penerbangan dari Bali menuju Jakarta, membutuhkan waktu kurang lebih dua jam kurang sepuluh menit. Dan penerbangan kali ini dipimpin oleh Krisna sebagai pilot, sementara Bima sebagai co-pilot di sampingnya.
“Saya Captain Pradipa Krisna Wijanarka dan seluruh awak kabin yang bertugas, mengucapkan terima kasih karena sudah memilih penerbangan bersama Diva Air. Sampai jumpa di perjalanan lainnya, senang terbang bersama Anda.”
Setelah memastikan tugasnya hari ini selesai, Krisna dan Bima mengayunkan langkahnya turun dari pesawat.
“Mau balik ke mana, Capt?” tanya Bima, tahu bahwa selain ada rumah orang tuanya, Krisna juga memiliki unit apartemen di bilangan Jakarta.
“Gue kangen rumah. Udah sekian lama dan gue nggak pengen semakin bikin nyokap gue khawatir.”
“Bukankah memang sudah semestinya begitu? Nyokap lo pasti senang kalau tau lo pulang.” Sementara Krisna hanya tersenyum. “By the way, Kris…”
“Hm? Ada apa, Bim?” tanya Krisna dengan keningnya yang mengerut.
Jeda sesaat Bima tampak ragu. “Gue dekat sama Arunika sekarang.” Bima menatap Krisna lekat. “Lo tau kalau dulu Arunika suka sama lo, kan? Gue bukannya mau—”
“Terus kenapa lo bilang sama gue?”
Bima mengedikkan bahu. “Ya mungkin aja lo perlu tahu. Gue nggak bermaksud mengambil dia dari lo, tapi—”
“Arunika bukan siapa-siapa gue, Bim. Gue juga nggak ada perasaan apa-apa sama dia. Gue dekat sama dia ya, karena sebatas sahabat doang. Jadi lo nggak usah khawatir, lo nggak perlu sebegininya sama gue.”
“Entahlah. Gue ngerasa lo perlu tahu soal ini. But, thank you, Kris.”
“Santai, Bim.” Krisna menepuk bahu Bima, “take care. Gue mau ketemu sama Joey dulu sebelum pulang.”
Usai berpisah dengan Bima, langkah Krisna terayun pelan menuju salah satu kedai kopi yang ada di dekat pintu kedatangan. Tangannya lantas merogoh saku celananya, meraih ponselnya untuk menghubungi Joey—Flight Operations Officer (FOO) maskapai Diva Air.
“Joey, gue udah landing. Lo di mana?”
“Gue masih ada kerjaan bentar, Kris. Lo nunggu bentaran nggak apa-apa, dong? Urgent nih kerjaan gue.”
“Jadi begini sambutan selamat datang lo buat gue?”
Sementara Joey tergelak. “Sorry, sorry. Habisan nih, ada aja yang mesti gue handle. Nggak lama, kok.”
“Gue di Despresso Coffee sekarang. Gue tunggu di sini, ya.”
“Lima belas menit, okay? Gue bakalan nyusulin lo ke sana.”
“Oke.”
Usai mengakhiri panggilannya, Krisna melangkah menuju barisan antrian untuk memesan segelas kopi dingin. Cuaca Jakarta hari itu terlihat sangat cerah dan panas menyengat.
Setelah mendapatkan kopinya, Krisna berjalan menuju salah satu meja kosong yang ada di kedai kopi tersebut.
Namun baru saja pria itu hendak duduk, keberadaan seseorang yang tak jauh darinya, sudah lebih dulu menarik perhatian Krisna.
Krisna lantas melangkah menghampirinya dengan senyumnya yang terbit di wajah.
Pucuk dicinta ulam tiba. “Perasaan baru tadi gue lihat lo bangun tidur, tapi kenapa sekarang lo udah di sini?”
Krisna lantas duduk di hadapan perempuan itu, menatap lurus ke arahnya dengan senyuman yang sulit untuk diartikan.
***
“Lo bisa nggak sih, nggak usah bawel? Gue udah di bandara, El. Nggak akan ada drama ketinggalan pesawat lagi, kok!” ujar Yura berkilah.“Nggak ada salahnya gue ngingetin, kan? Terakhir kali liputan kemarin, gue kena amukan Wira kalau lo lupa!”Yura mendecak pelan. Jika diingat-ingat kejadian waktu itu, kesalahan memang ada pada Yura. Saat itu Yura memang tengah sibuk menekuri laptopnya dengan mengenakan earphone, sampai-sampai dia tidak mendengar suara operator bandara yang memberitahukan penerbangannya. Alhasil perempuan itu ketinggalan pesawat.“Bahas terooooos! Gue kan udah ganti rugi, El. Kenapa mesti dibahas lagi, sih!” Yura bersungut-sungut. Saat itu suasana hatinya memang sedang tidak baik.“Gue nanti malam mau kencan, Ra. Lo sendirian gue tinggal nggak apa-apa kan, ya?”“Emang biasanya juga gimana? Nanti gue coba cari cowok ganteng deh pas di sana.”Leon mendecak pelan. “Sok-sokan lo! Kayak udah move on aja dari si Om. Eh btw, Ra, kenapa lo nggak berangkat bareng sama Om lo aj
YURA masih terlihat limbung meskipun dia sangat yakin jika kesadarannya sudah mengumpul dengan sempurna. Perempuan itu baru saja mendarat sempurna di Bandara Ngurah Rai, Bali. Dia lantas menarik kopernya, saat bersamaan dengan ponselnya yang berdering.“Halo?”“Lama amat sih lo! Keburu garing gue nungguin di sini!”Yura mengerutkan keningnya. “Nungguin? Lo jemput gue?”“Ya menurut ngana aja? Siapa lagi kalau bukan gue yang jemput lo? Nggak mungkin si Om lo, kan?”“Berisik lo ah! Bukannya lo bilang sibuk? Gue barusan keluar dari pintu kedatangan, nih.” Yura celingukan untuk menemukan keberadaan Leon. “Lo di mana?”“Gue lagi ngadem di Despresso Coffee. Buruan susul ke sini!”“Gitu bilang garing nungguin! Gigi lo yang garing!”Leon tergelak di seberang sana. Lalu tanpa mengatakan apa-apa Yura mengakhiri panggilan tersebut.Cuaca Bali siang itu terasa terik padahal waktu masih menunjuk angka sepuluh pagi waktu Bali. Yura lantas mengayunkan langkahnya menuju salah satu kedai kopi yang ada
“Thanks, Joey. Cuma lo doang yang bisa ngertiin posisi gue. Gue nggak tahu mesti gimana lagi kalau nggak ada lo.”“Anytime, Kris. Salam buat nyokap sama bokap lo, ya?”Setelah berbincang dengan Joey, Krisna memutuskan untuk meninggalkan bandara dan bergegas pulang ke rumah.Taksi yang dikendarainya berhenti tepat di depan pekarangan rumah orang tuanya. Jantung Krisna mendadak berdebar kencang.Setelah mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi, Krisna lantas turun dari mobil tersebut, lalu melangkah melewati pagar depan rumah.Dua tahun setelah kepergiannya, dan selama itu pula Krisna tidak menjejakkan kakinya di rumah ini. Meskipun sesekali pria itu datang ke Jakarta, tapi rumah ini adalah rumah yang selalu dihindarinya. Senyum kecil terbit di wajah pria itu. Rupanya tak banyak yang berubah di sana.Seorang perempuan paruh baya yang tadinya sibuk di taman, mengalihkan pandangannya begitu Krisna melangkah mendekat. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Senyum ibunya ma
“Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini, Ra. Aku—”“Aku mau datang ke sini karena Leon yang memaksaku. Andai saja bukan karena Leon, aku nggak mungkin ada di sini,” ujar Yura dengan sinis.“Apa aku harus berterima kasih sama Leon karena udah mau membujuk kamu untuk datang ke sini?”Yura memutar matanya sembari memalingkan wajahnya. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi ucapan Abhimana.Bagaimana bisa Abhimana terlihat begitu tenang setelah apa yang selama ini terjadi dengan mereka? Lalu di mana Leon? Bahkan sahabatnya itu justru menghilang begitu saja disaat Yura tengah terjebak di dalam situasi memuakkan ini.“Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ra. Ada banyak hal mengecewakan yang telah aku lakukan terhadap kamu. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja?”Yura terhenyak selama beberapa saat. Dari sekian kalimat yang ingin didengarnya dari Abhimana, kalimat permohonan dari Abhimana itu adalah kalimat yang tidak ingin didengarnya.“Kesempatan apa?” Sekuat t
KRISNA tidak ingat bagaimana bisa mereka terjebak di tempat ini. Bagaimana ciuman yang semula terhenti, lalu dimulai lagi, dan kini berubah menjadi candu dan menggebu-gebu.“Apa gue kurang menarik?” Yura bergumam lirih, matanya terlihat sayu seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.“Lo mabuk, Ra.”Yura menggeleng cepat. “No, jawab gue, Kris. Apa gue kurang cantik?”Krisna menyelipkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Yura. Bohong jika Krisna mengatakan bahwa Yura tidak cantik. “You look so damn beautiful.”“Really?”“Hm-mm. Lo cantik, Ra.”Seolah merasa dejavu, Krisna masih mengingat betul bagaimana kejadian ini pernah terjadi. Hanya tempatnya saja yang berbeda, tapi situasi ini hampir mirip dengan kejadian waktu itu.“Kiss me, please,” gumam Yura dengan sedikit memohon.“Lo mabuk, Ra. Lo tidur, ya?”Alih-alih mendengar perkataan Krisna, Yura justru semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu hingga kini keduanya tak lagi berjarak.“Lo bilang gue cantik, tapi lo nggak mau
YURA ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Bagaimana bisa dia melakukan kesalahan sefatal ini, padahal jelas-jelas dampaknya tidak baik pada hati dan pikirannya?Perempuan itu lantas menarik selimutnya hingga sebatas dada. Langit masih terlihat gelap, matahari bahkan belum tampak dari balik tirai jendela. Tapi Yura sepagi ini sudah berteriak hingga membangunkan Krisna yang juga dalam kondisi sama-sama polos. “Astaga, Ra. Aku masih ada dua jam lagi buat tidur sebelum nanti terbang. Bisa nggak, sih, nggak usah pakai teriak segala?”Yura menggigit bibirnya dengan wajahnya yang tertunduk. “Kris…”“Hm?” sahut Krisna dengan wajahnya yang sedikit mengantuk.“Kita lupakan yang terjadi semalam, okay? Gue dalam keadaan mabuk dan anggap saja nggak pernah terjadi apa-apa di antara—”“Kalau aku nggak mau?”Yura termangu selama beberapa saat. Alih-alih menggunakan gue-lo sebagai sapaan seperti biasanya, Krisna sudah menggantinya dengan sebutan aku-kamu dalam percakapannya.“Kris, gue—”“Kamu menye
SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.“Pagi, Bi Siti.”“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”“Alhamdulil
“Mau, kan, nemenin aku ke acara keluarga?”Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Yura memutuskan untuk menjawab. Di antara semua sikap yang pernah ditunjukkan Krisna, baru kali ini Yura melihat mata kelam Krisna memancar ke arahnya.Pria itu mendesah frustasi, wajahnya tertunduk seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya, tapi tidak berhasil diungkapkan olehnya. “Aku pernah gagal bertunangan dengan seseorang. Semuanya sudah siap, tapi aku pernah mengacaukan segalanya dan membuat mereka kecewa,” aku Krisna. “Dan aku nggak mau bikin mereka kecewa untuk kedua kalinya, Ra.”“Lo nggak mungkin ngenalin gue sebagai cewek lo atau calon istri lo, kan?” tembak Yura tidak menyetujui ide Krisna.“Kalau itu bisa membantu, kenapa nggak?”Yura memutar matanya sembari berdecak. “Lo nggak mungkin bohong sama mereka kan, Kris? Bukannya mereka akan jauh lebih kecewa kalau lo bohong sama mereka?”“Kalau begitu nggak usah bohong sama mereka.”Sementara Yura hanya mendecak.“Niat awalnya kan memang pengen
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja