YURA ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Bagaimana bisa dia melakukan kesalahan sefatal ini, padahal jelas-jelas dampaknya tidak baik pada hati dan pikirannya?
Perempuan itu lantas menarik selimutnya hingga sebatas dada. Langit masih terlihat gelap, matahari bahkan belum tampak dari balik tirai jendela. Tapi Yura sepagi ini sudah berteriak hingga membangunkan Krisna yang juga dalam kondisi sama-sama polos.“Astaga, Ra. Aku masih ada dua jam lagi buat tidur sebelum nanti terbang. Bisa nggak, sih, nggak usah pakai teriak segala?”Yura menggigit bibirnya dengan wajahnya yang tertunduk.“Kris…”“Hm?” sahut Krisna dengan wajahnya yang sedikit mengantuk.“Kita lupakan yang terjadi semalam, okay? Gue dalam keadaan mabuk dan anggap saja nggak pernah terjadi apa-apa di antara—”“Kalau aku nggak mau?”Yura termangu selama beberapa saat. Alih-alih menggunakan gue-lo sebagai sapaan seperti biasanya, Krisna sudah menggantinya dengan sebutan aku-kamu dalam percakapannya.“Kris, gue—”“Kamu menyesal?” tembak Krisna dengan cepat.Yura tidak menjawab. Bagaimana dia menjelaskan perasaannya saat ini, mengingat bahwa dia sendiri masih dibingungkan sama perasaannya sendiri.“Nggak gitu. Tapi Kris—”“Aku tahu kalau kamu menyesal.” Krisna tersenyum getir “Tapi aku sama sekali nggak menyesal, Ra. Aku juga nggak keberatan kalau kamu memanfaatkan aku. Kamu boleh menggunakan aku sebagai tempat pelampiasan kamu. Setidaknya sampai kamu tahu ke mana hatimu akan berlabuh.”Yura seketika membelalak. “Jangan gila, Kris. Gue nggak mungkin memanfaatkan lo. Situasi semalam memang gue yang salah, dan gue sadar betul kalau gue yang memulainya. Jadi lo nggak usah ngerasa bersalah.”Dan setelah ini Yura berjanji tidak akan menyentuh minuman terkutuk itu.“Aku jadi penasaran, apa yang bikin kamu tiba-tiba menghindar dari aku?” ujar Krisna lirih.“Nggak ada, Kris. Gue memang sibuk dan—”“Karena kamu memang belum siap memulai segalanya, kan? Atau kamu tahu kalau Abhimana masih bisa kamu dapatkan cintanya?” tembak Krisna dengan cepat.Yura menggigit bibirnya bagian dalam, tidak menemukan jawaban tuduhan yang dilontarkan Krisna.Ada rasa bersalah yang kini menggelegak di hatinya saat melihat perkataan Krisna terlihat benar adanya. Terus terang Yura sempat goyah.“Aku tertarik sama kamu, Ra. Kamu tahu kalau aku juga punya masa lalu dan aku pernah terluka.” Bahkan dia sekarang akan menikah dengan sepupunya sendiri. “Tidak ada salahnya kalau kita saling menyembuhkan satu sama lain, kan?”Lagi, Yura memilih untuk diam.“Aku mungkin nggak seistimewa dia, yang sebegitu hebatnya mengambil hati yang kamu punya. Tapi setelah apa yang pernah kita lalui sama-sama, apa aku sama sekali tidak membekas di hati kamu?”Yura kalah telak. “Gue nggak tahu, Kris.”“Oke, aku tahu kamu butuh waktu. Tapi kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa kasih tahu aku. At least, dia harus membayar apa yang pernah dia lakukan sama kamu.”Tanpa menunggu Yura menanggapi ucapannya, Krisna lantas turun dari tempat tidurnya. Pria itu lantas melangkah keluar dari kamar dan langsung menghilang dari balik pintu kamar mandi.Sementara Yura diliputi kebingungan yang luar biasa.Waktu sudah menunjuk angka enam pagi saat Krisna akan meninggalkan hotel. Yura bahkan tidak sempat membersihkan dirinya lantaran situasi mereka yang tidak nyaman.“Jangan menghindar dari aku lagi ya, Ra. Kamu nggak pengen aku kenapa-napa pas terbang nanti gara-gara mikirin kamu, kan?” ancam Krisna terselubung.“Ancamannya nggak main-main, ya! Bisa nggak bercandanya nggak usah bawa-bawa nyawa segala!”“Bercanda, Ra. Nanti aku telpon kalau udah sampai bandara, okay?”Yura hanya menganggukkan kepalanya saat mobil jemputan Krisna sudah tiba dan bersiap untuk meninggalkan hotel. Pria itu lantas menghilang dari balik pintu mobil, dan meninggalkan Yura yang masih berdiri di depan lobi dengan perasaannya yang berkecamuk.Baru setelahnya, Yura memberhentikan taksi yang lewat di depannya. Dan detik itu juga Yura kembali ke hotel tempatnya menginap. Leon pasti mengkhawatirkannya.“OMG! Ra, lo habis dari mana, sih? Gue hampir telepon polisi nyariin lo tau, nggak?! Lo nggak habis diculik sama om-om? Atau habis dari mana?” Leon mencecarnya dengan berbagai pertanyaan begitu Yura tiba di hotel.“Hp gue mati, El. Sorry!”“Sorry? Minimal lo bilang dari mana semalam!” desak Leon cepat.Yura menghela napas. Kepalanya kini terasa pening, terlebih saat bayang-bayang apa yang telah dilakukannya semalam bersama Krisna kembali terngiang di kepalanya.“El, coba cubit gue. Gue nggak lagi mimpi, kan?” Leon menuruti permintaan Yura, lalu, “aw! Sakit, El!”“Lo kenapa sih, Ra? Lo semalam ngilang ke mana?”Yura tak langsung menjawab. Perempuan itu lantas berhambur memeluk Leon dengan wajahnya yang terlihat putus asa.“Gue semalam pergi sama Krisna, El. Dan… gue melakukan kesalahan sama dia. Lagi.”“OMG! Lo bilang nggak suka, tapi kenapa jadi ketagihan gitu, sih?” cibir Leon sekenanya.Yura lantas menarik diri lalu memukul dada Leon dengan pelan “Gue serius ya, El! Pokoknya, gue…” Perempuan itu mendesah panjang, “astaga, El. Gue kayaknya harus jauh-jauh dari dia, deh.”“Kenapa harus jauh-jauh kalau lo aja suka?”Yura menggigit bibirnya bagian dalam. “Nggak gitu. Tapi by the way, gue belum mandi, El. Lo nggak mencium aroma sisa-sisa orgasme dari badan gue, kan?”“Sini coba, gue mau nyium aroma spermanya Abang Pilot!”Yura mendelik ke arah Leon. “Mesum!”“Lo yang mancing gue! Mandi besar, gih! Muka lecek gitu kayak habis keenakan lo!”“Tapi sumpah, El, gue nggak bermaksud sama sekali. Ini juga bagian dari salah lo juga, ya!” ujar Yura tak terima.“Kok gue? Gue bahkan nggak lo kasih tau ke mana lo pergi, ya!”“Iya, dong! Coba kalau lo nggak main ngilang gitu aja, gue nggak mungkin pergi sama Krisna semalam!” sahut Yura tak terima.“Tapi kan lumayan dapat pelepasan, Ra.”Yura lantas menggandeng tangan Leon, dan mengajak sahabatnya itu menuju ke kamarnya. Yura bisa merasakan sekujur tubuhnya lelah luar biasa, apakah semalam dia seperti jalang yang butuh pelepasan?“Gue lebih suka lo sama Krisna katimbang Abhimana, by the way,” ujar Leon tiba-tiba.“Kenapa tiba-tiba lo ngomong begitu?”Leon mengedikkan bahu dengan entengnya. “Lebih macho dan gentle dia aja, sih. Katimbang Om lo yang gaje itu. Kenapa lo nggak mau nyoba sama dia aja?”Yura tak langsung menjawab, dia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. “Sebenarnya dia menawarkan diri untuk dimanfaatkan sih, El.”“Dimanfaatkan gimana?”“Dia menawarkan diri secara sukarela untuk gue manfaatin sebagai alat balas dendam gue ke Om Abhimana.”“Terus?”“Ya nggak terus-terus. Gue nggak sejahat itu kali sampai-sampai memanfaatkan dia, El. Kalau gue justru baper gimana?”“Ya malah bagus, kan? Udah saatnya lo move on dan buka lembaran baru, Ra. Dan gue amat sangat yakin, kalau dia adalah jodoh masa depan lo!”“Lo dukun sampai-sampai bisa melihat masa depan gue?”Leon mendecak pelan sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Yura. “Sana buruan mandi, gih! Bau sperma tau, nggak! Lagian jorok amat lo habis kuda-kudaan nggak bersih-bersih dulu?”“Berisik lo, ya!”“Bodo amat!”Yura kemudian melangkah menuju kamar mandi, berniat untuk membersihkan diri sementara Leon menunggunya di kamar.Perempuan itu berdiri termangu di depan kaca wastafel. Matanya seketika membelalak saat mendapati ada banyak jejak kemerahan di sekujur tubuhnya.“Damn! Lo vampir apa gimana sih, Kris? Wait, jangan-jangan semalam dia nyesap darah gue makanya pagi-pagi gue pening gini?”Saat perempuan itu sibuk meneliti sebanyak apa bekas kemerahan di tubuhnya, ponselnya yang berdering sejenak mengalihkan perhatian Yura.Melihat nama ‘Calon Suami Masa Depan’ muncul di layarnya, sejenak membuat Yura ragu untuk menjawabnya.“Apa?”“Hai. Aku pikir kamu nggak bakalan angkat telepon dari aku, Ra.”“Kenapa?” tanya Yura dengan nada malas.“Cuma mau mastiin aja, sih, kamu udah sampai di hotel, kan? Maaf ya, nggak bisa nganterin kamu tadi.”“Nggak apa-apa, Kris. Gue udah dewasa dan nggak secupu itu, kok.”“Sekarang lagi apa?”“Lagi mau mandi. Udah ah, kan?”“Masih sakit, nggak?” tanya Krisna tiba-tiba.“Apanya?”“Itu… karena semalam.”Yura seketika membelalak. Menyesal karena sudah mengangkat panggilan dari pria gila itu.“KRISNA!” Dan suara kekehan Krisna terdengar di seberang sana.“Dan ngomong-ngomong, Kris. Lo vampir atau genderuwo, sih? Lo ninggalin jejak di badan gue banyak banget tau, nggak!” sungut Yura kesal luar biasa.Lagi-lagi Krisna tergelak. “Sebanyak itu aku menginginkan kamu, Ra.”“Nggak usah lebay, deh! Nyebelin! Gue tutup, nih.”“Ra…”“Apa lagi, sih?” salak Yura galak.“Makasih udah mau angkat telepon dari aku. Bentar lagi aku briefing, nanti kalau udah sampai Jakarta aku telpon lagi, ya?”“Hm-mm.”“Dadah, Calon Istri Masa Depan.”***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.“Pagi, Bi Siti.”“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”“Alhamdulil
“Mau, kan, nemenin aku ke acara keluarga?”Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Yura memutuskan untuk menjawab. Di antara semua sikap yang pernah ditunjukkan Krisna, baru kali ini Yura melihat mata kelam Krisna memancar ke arahnya.Pria itu mendesah frustasi, wajahnya tertunduk seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya, tapi tidak berhasil diungkapkan olehnya. “Aku pernah gagal bertunangan dengan seseorang. Semuanya sudah siap, tapi aku pernah mengacaukan segalanya dan membuat mereka kecewa,” aku Krisna. “Dan aku nggak mau bikin mereka kecewa untuk kedua kalinya, Ra.”“Lo nggak mungkin ngenalin gue sebagai cewek lo atau calon istri lo, kan?” tembak Yura tidak menyetujui ide Krisna.“Kalau itu bisa membantu, kenapa nggak?”Yura memutar matanya sembari berdecak. “Lo nggak mungkin bohong sama mereka kan, Kris? Bukannya mereka akan jauh lebih kecewa kalau lo bohong sama mereka?”“Kalau begitu nggak usah bohong sama mereka.”Sementara Yura hanya mendecak.“Niat awalnya kan memang pengen
“Ra, ada tamu di bawah, tuh.”Suara ketukan dari luar kamarnya, sejenak mengalihkan perhatian Yura yang sejak tadi sibuk menatap dirinya di depan layar kaca. Wulan—Mama Yura, tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap.“Siapa, Ma?”“Nak Krisna.” Wulan lantas melangkah mendekati Yura, lalu duduk di tepian ranjang tidurnya dengan matanya yang tak lepas dari menatap putri semata wayangnya.“Biar aja nunggu sebentar, Ma. Aku bentar lagi selesai, kok.”“Mama udah lama banget nggak ketemu sama dia. Mama pikir… kamu udah nggak sama dia lagi.”“Aku sama Krisna memang cuma temenan doang, Ma. Mama ngarepin apa, sih?”Wulan tersenyum. “Apa kamu nggak pengen nikah juga, Ra? Mau sampai kapan kamu sendiri terus, hm? Bahkan Sasi udah punya anak, kan?”“Aku nggak sendiri, kok. Kan ada Mama di sini yang bakalan nemenin aku,” jawab Yura tanpa memalingkan wajahnya dari depan kaca.“Mama serius, Ra. Mama nggak tenang kalau kamu masih sendiri begini. Emang kamu nggak tertarik sa
Dengan diselimuti rasa gugupnya, Krisna mengayunkan langkahnya melewati pintu depan rumah itu. Tangannya yang kini tengah menggenggam tangan Yura, membawa perempuan itu masuk lebih dalam hingga langkah mereka terhenti tepat di samping taman.Samar sekali Krisna mendengar suara seseorang yang tengah berbicara di sana. Matanya lurus ke depan, sementara Yura yang kini berdiri di sampingnya, bisa merasakan genggaman tangan Krisna semakin erat.“Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh keluarga besar saya yang sudah menyiapkan acara pertunangan ini.” Sayup-sayup suara Steven terdengar. “Dan di hadapan semua orang yang ada di sini…”Jeda sesaat, tatapan Steven kini teralihkan pada sosok perempuan yang tengah berdiri di sampingnya. “Rembulan Nawang Maninggar, will you marry me?”“Terima! Terima! Terima!” Suara gemuruh semua orang membuat suasana berubah menjadi riuh. “Will you spend the rest of your life with me?”Lalu anggukan samar dari perempuan itu mengubah suasana yan
“Abang!”Suara panggilan seorang perempuan sontak membuat Krisna dan Yura menoleh bersamaan. Disha yang baru saja menyadari keberadaan mereka, lantas menghampirinya usai berbincang dengan beberapa kerabatnya.“Sha, kenalin, ini Yura.”Disha menerbitkan senyuman lebar. “Hai, Kak Yura. Aku Disha. Adiknya Abang yang paling cantik sedunia. Akhirnya, bisa kenal sama pacarnya Abang, ya.”Yura balas menjabat tangan Disha. “Aku Yura. Senang bisa ketemu sama kamu, Sha.”“Setelah sekian lama Abang nggak pulang-pulang, sekalinya dia pulang yang dibawa justru kabar bahagia.” Disha tiba-tiba berhambur memeluk Yura. “Makasih ya, Kak Yura.”Masih dalam kebingungannya, Yura memutuskan untuk menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Dia membalas pelukan Disha, yang anehnya, dia bisa merasakan betapa hangatnya keluarga Krisna.“Kak Yura udah makan?”“Belum, Sha.”“Bang, Kak Yura masa nggak diambilin makan, sih? Ambilin dong, Bang.”Krisna terkekeh. “Ya udah, yuk, kita ambil makannya barengan!”“Yuk, Ka
“Lo pasti udah gila, Ra!” Yura menjeduk-jedukkan kepalanya di atas meja. Menyadari kebodohan yang baru saja dilakukannya.Perempuan itu tidak yakin betul alasannya mengapa tiba-tiba dia mengajak Krisna menikah. Yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia membantu Krisna untuk tidak terlihat menyedihkan di depan mantan kekasihnya. Tapi kenyataannya, dia justru terjebak dengan ucapannya sendiri.Segala penerimaan dan kebahagiaan yang memancar di tengah keluarga Krisna semalam menjadi satu-satunya alasan Yura. Terlepas dari tindakannya yang berhasil membuat hati Awan memanas, Yura menyukai bagaimana Maura dan Davin tertawa bahagia menyambut keberadaannya. Pun begitu dengan Disha, Freya, dan keluarga lainnya. “Ra, lo gila, ya!” Suara teguran Leon sontak membuat perempuan itu menoleh dengan wajahnya yang ditekuk. Leon baru saja keluar dari ruangan Wira setelah dipanggil oleh atasannya.Yura menegakkan posisi duduknya, lalu menggeser kursinya agar bergerak ke samping kubikel sahabatnya
YURA mengayunkan langkah memasuki kediaman rumahnya saat waktu sudah menunjuk angka enam petang. Badannya terasa lelah luar biasa, meskipun dia tidak ada tugas liputan di luar kantor, kenyataan bahwa ada banyak laporan yang harus dikerjakannya membuat perempuan itu kelelahan.“Ra…”Perempuan itu berjengit kaget saat suara seseorang memanggil namanya. Yura lantas menoleh, dan mendapati Abhimana berdiri di depan teras rumahnya.“Sejak kapan Om berdiri di sana?”“Dari tadi. Kamu lagi mikirin apa, sih?”“Nggak ada.” Yura kemudian mengayunkan langkahnya melewati Abhimana begitu saja. Namun langkahnya kembali terhenti begitu pria itu kembali bersuara.“Tadi siang makan siang sama siapa, Ra?” tanya Abhimana kemudian.Yura menoleh, tampak ragu menjawab pertanyaan dari pria itu. “Sama mamanya Krisna.”Abhimana manggut-manggut, agak terkejut mendengar jawaban Yura. “Susah sejauh mana kamu mengenal dia?”Yura mengembuskan napas lelah, lalu menatap ke arah Abhimana. “Aku sama Krisna sudah mau mel
“Ra, mau ke mana? Nggak mau makan dulu?”Suara vokal Wulan terdengar saat Yura baru saja menuruni anak tangga. Perempuan itu melangkah mendekati Wulan, lalu melirik sekilas ke arah Abhimana yang kini menatap ke arahnya.Perempuan itu mengulas senyum, lalu menggeleng. “Aku mau pergi, Ma.”“Mau ke mana?” Wulan lantas bangkit dari duduknya, mengabaikan Abhimana yang hanya diam sembari menikmati makanannya.“Aku mau keluar sama Krisna, Ma. Krisna udah ada di depan.”“Lho, kenapa nggak diajak masuk?” Wulan lantas melongokkan kepalanya ke arah depan, meskipun tidak terlihat dari tempatnya, rupanya Wulan tidak menyerah.Sang ibu lantas berjalan menuju ke depan mendahului Yura. Dan benar saja, Krisna berdiri di depan teras rumahnya, sementara mobilnya diparkirkan di depan pagar rumahnya.“Nak Krisna…”Krisna yang tadinya sibuk dengan ponselnya, lantas menoleh. Pria itu menerbitkan senyumannya, berjalan menghampiri Wulan untuk mencium punggung tangan perempuan paruh baya itu.“Apa kabar, Tante
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja