"Alana, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Tapi, tunggu aku kembali saja!" ucap Leo di seberang sana."Om? Ada apa?" Alana penasaran.Pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Leo. Namun, semakin dia mendesak, semakin Leo tidak mau memberitahunya. Tidak ada cara lain, tidak mungkin dia menyusul Leo ke luar kota hanya untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya. "Alana, jangan berpikir keras soal ini! Hanya masalah waktu saja," ucap Leo menenangkan Alana."Tapi, Om?""Sayang, kamu percaya padaku, kan?" Suara Leo terdengar lembut menenangkan."Aku percaya padamu, Bear," jawab Alana."Kalau begitu, tunggu aku kembali! Kita akan bicarakan semuanya," ucap Leo."Semuanya? Maksudnya?" Alana semakin bingung, semakin penasaran, semakin tidak mengerti. Leo membuatnya semakin tidak tenang, tapi tidak mau memberinya jawaban. Bahkan untuk sekedar memberi klu saja, dia tidak melakukannya."Sayang, nanti aku telepon kamu lagi. Aku ada urusan penting," ucap Leo mengakhiri obrolan me
"Hei! Jangan main-main!" seru Alana dengan nada yang sangat kesal. Dia merasa sangat marah dan tidak terima saat seseorang menghubunginya tanpa memberikan sapaan atau pengenalan diri. Dalam keadaan emosi yang memuncak, Alana memegang ponselnya dengan erat di depan wajah dan menegaskan peringatan pada oknum tersebut.Setelah berakhirnya panggilan telepon tersebut, Alana melempar ponselnya ke tempat tidur dan menahan napas dalam-dalam sembari berkacak pinggang. Dia merasa sangat tersinggung dan kesal karena merasa dipermainkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Meskipun begitu, Alana berusaha mengontrol emosinya dan mengatur pola napasnya agar bisa tenang kembali.Alana kemudian berbicara kepada dirinya sendiri dengan suara pelan, "Kamu pikir aku bisa kamu permainkan!"Meskipun masih merasakan kemarahan dalam hatinya, dia mencoba untuk menenangkan diri dan tidak membiarkan emosi negatif menguasai dirinya sepenuhnya.Belum juga kemarahannya benar-benar hilang, kembali ponselnya be
"Aku rasa mereka bukan orang bodoh, Leo. Mereka pasti sudah mencari dan mengumpulkan dari berbagai sumber, bahkan menggunakan segala cara untuk memastikan kalau anak itu adalah Alana," jawab Damian.Leo mengarahkan mata melihat Damian. Sorot matanya lekat. Dia pun memikirkan dan merenungkan apa yang Damian katakan dan menyetujui perkataan itu."Ambisi mereka sangat besar," ujarnya menyimpulkan."Ya." Damian pun setuju.Untuk sesaat keduanya terdiam. Meski tidak ada pergerakan, tidak ada perbincangan dan keduanya tampak tenang. Namun, sesungguhnya dalam kepala mereka, mesin pemikir sedang bekerja dengan keras untuk memecahkan masalah ini."Bagaimana dengan pengacara itu? Apa kita masih bisa mempercayainya?" Seketika Damian teringat pada pengacara keluarga Charles Wijaya Jingga, ayah Alana.Leo kembali terdiam dengan pandangan lekat pada Damian. Pertanyaan Damian tidak pernah dia pikirkan. Namun, setelah ini dia pasti akan memikirkan dan menjadikan pengacara itu sebagai salah satu targe
"Bear, akhirnya kamu pulang."Saat Leo datang, Alana langsung menyambutnya dengan pelukan erat. Dalam hatinya merasa lega karena Leo telah kembali, sehingga dia tidak merasa sendirian."Iya, Sayang."Leo membalas pelukan Alana dengan kehangatan dan peluk kerinduan. Yang dirasakan Alana, Leo juga merasakannya. Hanya saja, perasaan lega Leo lebih daripada rasa syukur karena melihat Alana baik-baik saja tanpa kurang satu apa pun.Setelah beberapa saat saling mengobati rasa rindu, Leo merenggangkan pelukannya. Mengalihkan kedua tangan untuk mendekap wajah cantik Alana dengan sentuhan lembut. Satu kecupan pun diberikan pada kening Alana sebagai ungkapan rasa cinta dan kasih sayangnya."Apa kamu merindukan aku?" tanyanya dengan suara lembut sembari membelai rambut halus Alana."Emm." Alana mengangguk manja. "Aku sangat merindukanmu, Bear," jawabnya dengan wajah berseri dan manja.Cup.Satu kecupan mendarat pada bibir kenyal Alana."Aku juga sangat merindukanmu," balas Leo merasakan hal yang
"Halo!" sapa Alana dengan suara sedikit serak khas orang baru bangun tidur karena hari memang masih sangat pagi saat ponselnya berdering.Tidak ada jawaban, hanya ada suara hujan dan guntur."Halo! Siapa ini?" tanyanya lagi.Mata Alana kembali terpejam setelah melihat sekilas siapa yang menelponnya pagi-pagi buta. Bahkan di saat cuaca mendukung untuk tetap bersembunyi mencari kehangatan di balik selimut tebal, di saat hujan deras mengguyur bumi disertai guntur dan kilat, seseorang yang tidak dikenal melakukan panggilan ke dalam ponselnya.Sekali lagi sapaan dan pertanyaannya tidak mendapat balasan. Karena cuaca saat ini hujan, ditambah dengan suhu pendingin ruangan, Alana merasa kedinginan. Dia pun mengabaikan orang yang menghubunginya dan tidak mau ambil pusing. Karena tidak juga mendapat respon baik, Alana menutup ponselnya dan kembali tidur.Dia memilih mencari kehangatan ekstra dengan merapatkan diri pada Leo dan memeluknya, daropada harus meladeni orang iseng. Pelukan ini disamb
"Kamu yakin mereka membuat janji di sini?" Sembari bertanya, Damian mengedarkan pandangnya ke sekitar memperhatikan setiap pengunjung di sekitar mereka. Meski sedang mencari seseorang yang mereka anggap mencurigakan, tapi Damian melakukan dengan sewajarnya saja, sehingga tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk mencurigai mereka."Dari yang dia katakan, dia akan menunggunya di tempat ini," jawab Leo.Leo juga melakukan hal yang sama. Mengedarkan pandang mencari seseorang yang mungkin bisa dicurigai sebagai orang yang meminta Alana datang menemuinya.Beberapa hari lalu, seseorang menghubungi Alana dan memintanya datang ke sebuah restauran. Katanya, ada hal penting yang ingin disampaikan tentang masa lalunya dan tentang siapa Alana sebenarnya. Si penelpon tidak tau kalau orang yang diajaknya bicara bukan Alana, melainkan Leo."Apa dia juga mengatakan di meja mana Alana harus menunggu?" "Tidak. Dia hanya meminta Alana datang ke restauran ini di hari Kamis, pukul sepuluh," jawab L
"Nona!" Wanita yang tadi trolinya menabrak troli Alana mengejar Alana saat dia hendak pergi setelah membayar belanjaannya di kasir."Nona, sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau aku traktir kamu minum kopi atau lemon tea siang ini?" tanya wanita itu setelah mencapai tempat Alana berdiri. "Tidak lama, hanya sebentar saja. Karena, kalau aku tidak melakukan ini, maka aku akan terus merasa bersalah padamu."Alana memfokuskan pandangannya pada wanita tersebut dengan tatapan yang tajam dan terus-menerus. Meskipun tidak merasa marah, ia tengah memikirkan dengan serius tawaran yang diberikan oleh wanita itu. Alana bertanya-tanya mengapa wanita itu begitu bernafsu untuk mengajaknya minum, padahal sebelumnya Alana sudah menolak saat diajak makan.Ketidaknyamanan mulai dirasakan oleh Alana, sehingga ia menghela napas panjang dan berusaha mempertahankan kesabarannya. Sebelum memberikan jawaban atas tawaran dari wanita tersebut, Alana melihat sekeliling terlebih dahulu untuk memastikan situasi
"Om, kamu sudah pulang?"Tubuh Alana sedikit melonjak, tiba-tiba Leo mendekap dan memeluknya dari belakang. Lamunannya seketika buyar. Rasa dingin yang tadi menusuk kulitnya karena angin malam, kini telah terhalang oleh kehangatan tubuh Leo yang melekat pada punggungnya."Em. Baru saja pulang," jawab Leo dengan suara sangat lembut.Memeluk tubuh ramping Alana membuat pikiran dan hatinya menjadi tenang dan nyaman. Terlebih saat mencium aroma segar tubuh kecil istrinya, Leo semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam ceruk leher jenjang Alana menikmati setiap inci keharuman yang melekat pada kulit mulus Alana.Mendapat dekapan dan pelukan erat Leo, serta ciuman pada lehernya, Alana merespon dengan menekuk sedikit kepala. Sentuhan lembut bibir Leo pada kulit lehernya serta embusan napas hangatnya, jelas saja membuat darah dalam tubuhnya berdesir. Alana memejamkan mata sesaat menikmati desiran dalam darahnya, lalu kembali menatap langit malam."Kenapa melamun, Sayang?" tanya Leo meletakkan d