Sore itu sepulang dari kantor, Lalita mengajak Arga untuk membeli makanan. Kali ini dia meminta makanan khas daerah Madura yaitu sate ayam."Mas kita beli sate ya." Kata Lalita tersenyum menatap sang suami. "Siap Sayang." Arga tersenyum mendengar permintaan Lalita sore ini.Menurutnya keinginan istrinya saat ini begitu mudah dipenuhi tidak seperti sebelumnya yang dia harus berjuang dulu untuk memenuhinya.Di sebuah restoran, Arga memarkirkan mobilnya namun Lalita enggan turun karena dia ingin makan sate Madura yang dijual abang-abang di pinggir jalan."Sayang kenapa kamu suka sekali makanan yang dijual di pinggir jalan, kamu tahu kan jika makanan itu tidak sehat?" Raut wajah Arga berubah kesal."Mas dari kecil aku selalu makan makanan seperti itu dan kamu lihat kan aku sehat wal Afiat sampai sekarang." Lalita juga berekspresi kesal bahkan sejurus kemudian air matanya siap jatuh.Melihat hal itu, tak ada yang bisa Arga lakukan selain mengangguk, meminta maaf dan menuruti kemauan Lalit
Lalita menggeleng, tentu dia tidak ingin bercerai dari sang suami.Namun karena sudah terlanjur kecewa, Pria tua itu justru membalikan badan dan berjalan menjauh. Mengetahui hal itu Arga berteriak."Kakek!!"Tapi, Kakek tidak mau mendengar. Pria tua dengan pundak yang terlihat merunduk karena kecewa itu berlalu seolah tuli, memasuki kamarnya.Raut sedih mendominasi Lalita dan Arga, hilang sudah emosi yang sedari tadi menggebu, tinggallah rasa sesal diantara keduanya. "Bagaimana ini." Arga terlihat putus asa, mengecewakan sang kakek adalah satu-satunya hal yang tidak ingin dia lakukan namun kini karena menuruti emosi dia malah membuka sendiri hal yang seharusnya disimpan rapat-rapat."Kita pikir lagi Mas." Lalita juga sangat sedih, tentu dia sangat takut dengan apa yang terjadi, selama menjadi cucu menantu di rumah Arga, sekalipun dia tidak pernah melihat kakek sekecewa ini.Di dalam kamar mereka berdua bicara akan langkah selanjutnya, mereka harus bisa meyakinkan sang kakek apabila
Asisten itu segera menurunkan bajunya, dia juga buru-buru memakai jas yang dilepas sebelumnya. "Pak.... " Dengan raut wajah malu dia menunduk. Sementara Damar menunduk malu Kania justru mendongakkan kepala, dia mendekat dan memarahi sahabatnya itu. "Ini semua karena kamu Arga, istri siapa yang ngidam siapa pula yang harus berkorban!" makinya. Kalimat Kania jelas mengundang rasa heran pria itu, "Apa maksud kamu Kania?" Sejurus kemudian dia bertanya. Tangan Kania menunjuk leher Damar yang masih memerah karena gigitan semut malam itu. "Kenapa memangnya?" Seolah tak berdosa, Arga mengabaikan apa yang asistennya alami. Tatapan Kania melesat tajam, wanita itu nampak kesal dengan sahabatnya yang tidak memiliki rasa kemanusiaan itu. "Sekali lagi kamu seenaknya memerintah Damar, lihatlah apa yang aku lakukan." Usai berujar demikian, Kania keluar dari ruangan Damar. Dan kini tinggalah Arga dan Damar yang masih membisu menatap kepergian manager itu. "Bisa kamu jelaskan, kenap
Kania tersenyum, ternyata seorang yang terlihat sangat serius bisa bercanda juga. "Apaan sih." Tangan Kania tergerak meninju pelan lengan Damar. Mendengar suara canda tawa di belakang membuat Arga dan Lalita menoleh, Lalita nampak mengerutkan alisnya sedangkan Arga tak peduli dengan apa yang Damar dan Kania lakukan. Di ruangan mereka kini, klien ternyata sudah menunggu mereka. Langsung saja Damar memulai pembahasan, selepas itu meeting diambil alih oleh sekretaris dan manager. Meeting berjalan dengan lancar, semua karena kepintaran para wanita hebat yang dimiliki Winata Group. 'Lalita dan Kania.' Satu jebolan S2 luar negeri satu lulusan terbaik kampus terkenal. Rencananya Arga ingin merayakan keberhasilan meeting mereka dengan makan malam di sebuah restoran mewah. Karena dia menyukai steak akhirnya pilihannya jatuh ke salah satu restoran daging premium yang merupakan milik seorang salah satu yutuber terkenal di tanah air. "Kalian bisa memesan daging jenis apapun." Ujar Arga. K
Kalimat pertanyaan Arga membuat Damar dan Kania menghentikan aktivitas mereka, keduanya berengan menatap Arga yang sudah menatap mereka. "Kami tidak ada hubungan apa-apa," jawab Damar. Mendengar jawaban Damar, Arga kemudian berkomentar. "Oh...." Di sisi lain entah kenapa Kania terlihat kecewa, apa Damar memang menganggapnya hanya sebatas teman kerja? tapi.... Ciuman itu dan kedekatan mereka apa tidak bearti apa-apa? Wanita itu berjalan menuju sofa tempat dia meletakkan tasnya, dia mengambil ponsel lalu membukanya."Damar, Arga. Aku pulang dulu ya." Tiba-tiba Kania pamit pulang dia beralasan apabila papanya sudah mengirim pesan. Kepulangan Lalita yang mendadak juga membuat Damar kecewa karena rencananya nanti dia akan mengantar teman kerjanya itu pulang. "Kenapa mendadak sekali?" tanya Damar dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. "Maaf tapi Papa sudah mencariku," jawab Kania lalu keluar unit apartemen Damar. Meski kecewa namun Damar berusaha mengontrol ekspresi wajahnya
Wanita itu menunjukkan sederet giginya yang berwarna putih, dengan tatapan yang tidak lepas dari pria yang ada di hadapannya. "Siapa yang menghindar Damar, bukankah sedari dulu kita memang tidak dekat?" Terdengar kejam tapi Kania masih sakit akan ucapan Damar waktu itu. Mendengar pernyataan Kania, raut wajah Damar berubah, apa kedekatan mereka akhir-akhir ini hanya sebuah kedekatan biasa saja? dan dirinya telah salah sangka? "Jadi begitu, maaf Kania aku telah salah mengira." Pria itu segera bangkit dan pamit meninggalkan ruangan Kania. Usai Damar keluar, raut wajah yang sedikit angkuh menjadi memberengut, sekian detik kemudian dia meletakkan kepalanya di meja, jelas terlihat apabila Kania tidak baik-baik saja. "Damar, kenapa kamu nggak peka!" Di sisi lain Damar juga tidak baik-baik saja. Inilah yang disebut kalah sebelum berperang, biasanya dia selalu menyarankan Arga untuk mengungkapkan langsung perasaannya namun kini dia merasa malu apalagi setelah Kania terlihat hanya m
"Kenapa? aku tidak memakai parfum Sayang! apa kamu mual lagi?" Dengan kening mengkerut Arga menatap Lalita yang sudah memasang wajah kesal. "Iya kamu nggak pakai parfum tapi barusan ada yang meluk kan? kurang ya pelukan dari aku hingga gatal cari pelukan wanita lain." Lalita nerocos berusaha mengeluarkan isi hatinya. Deg Pria itu yang ketahuan habis berpelukan dengan Kania segera memucat, siapa sangka Lalita melihat adegannya tadi. "Sayang maafkan aku, tapi kamu salah paham." Arga berusaha memegang tangan Lalita. Dengan cepat Lalita melepas tangan Arga, dan kemudian dia justru menangis. "Kamu paham nggak sih Mas, selama ini aku berusaha menahan rasa cemburu aku, dan menanamkan dalam diriku jika kalian hanya berteman tapi kamu tuh keterlaluan, janji akan menghargai perasaanku tapi apa? masih berduaan kan dengan Kania!!" Emosi ibu hamil muda mencuat, air matanya keluar semakin deras membuat Arga merasa bersalah padahal cerita yang sebenarnya tidak seperti itu. "Tadi Kania a
"Kenapa harus bersama aku Damar, kan banyak petinggi kantor yang lain atau kamu bisa bersama Arga ataupun Lalita." Kania mengungkapkan keengganannya. Meskipun dia merasa enggannamun tatapannya begitu nanar sungguh hal yang sangat kontras. Menurut Kania, Pria di depannya sulit ditebak, padahal dia sudah cukup tenang saat ini tapi tiba-tiba Damar datang membubarkan ketenangannya. "Kamu yang paham Kania." Dengan pelan Damar mengucapkan alasannya. Kania tertawa mendengar alasan Damar, di perusahaan ini banyak yang bisa bila hanya ikut dinas luar saja. "Sudahlah Damar ajak yang lain saja." Pria itu menatap Kania, dia masih ragu untuk keluar seolah ada yang berbisik agar tetap di ruangan Sang manager. "Aku tidak mau Kania." Ujarnya kemudian. "Apa sih Damar mau kamu!" Wanita itu mulai tidak tahan dengan sikap Damar yang makin kesini makin membuatnya bingung. Sejurus kemudian Damar berdiri, "Aku mau kamu." Keduanya saling tatap dan selepas itu Damar keluar ruangan Kania dengan
Buru-buru Amira melepaskan diri, dia segera menunduk, "Maafkan saya Pak." "Tidak apa-apa." Sahut Rangga. Amira segera pamit pergi sementara Rangga terus menatap punggung wanita itu. "Apa dia yang kupaksa malam itu?" Tak ingin terus memikirkan Amira, Rangga kembali ke ruangannya.Di atas mejanya sudah banyak berkas yang menumpuk, padahal ketika dia pergi tadi mejanya sudah kosong. "Apa lagi ini." Gumamnya yang merasa malas mengerjakan berkas-berkas tersebut. Tak selang lama, Gilang datang melapor. Dia menunjukkan salah satu desain yang perusahaan perlukan. "Bagus sekali siapa yang mendesain?" tanya Rangga sambil menelisik desain yang diberikan oleh Gilang. "Amira salah satu pegawai magang." Jawab Gilang. Rangga mengerutkan alisnya, "Apa dia yang tadi menghadap?" Kini tatapannya beralih ke Gilang. Asisten itu mengangguk, dia kembali menunjukkan desain Amira yang lain. CEO tampan nan hangat itu mengukir senyuman, "Dia lagi." Sungguh Rangga tak menyangka, jika seorang
Rangga dillanda kebingungan hingga dia menemukan sebuah catatan kecil yang terjatuh di lantai. Senyum pria itu merekah, "Ternyata." kini dia tahu siapa wanita yang telah dia paksa untuk melayani hasrat biologisnya semalam. Amira Ningrum, seorang gadis muda yang kini magang di kantor Rangga, semalam dia berada di club karena diminta menghadiri pesta teman sekelasnya dulu. Alhasil dia yang ingin pulang terlebih dahulu malah nyasar.. Namun siapa sangka, gadis polos itu justru berakhir di tempat tidur bersama CEOnya sendiri. Semalaman Amira memikirkan hal tragis yang terjadi padanya namun dia juga tidak berani berkomentar atau menceritakan nasib tragisnya kepada sang teman. "Aku perhatikan dari semalam kamu terlihat sedih, ada apa?" tanya Vina yang merupakan teman seperjuangannya. "Apa terjadi sesuatu ketika di club semalam?" Kembali Vina melanjutkan ucapannya. "Tidak apa-apa Vina, aku hanya teringat akan almarhum adik," sahut Amira berbohong. Tak ingin membuat Vina terus bertanya
Pikiran Arga sangat liar sehingga dia mengajak sang istri bercinta diluar ruangan, Lalita yang awalnya menolak kini justru merasa senang. Sungguh ide suaminya kini sangat brilian, bercinta di bawah sinar rembulan yang diiringi suara ombak benar-benar pengalaman bercinta yang amazing. "Ini akan menjadi kenangan yang sangat indah" Arga nampak ngos-ngosan setelah mendapatkan pelepasannya. "Iya Mas ternyata seru ya." Ujar Lalita. Sementara Arga dan Lalita menikmati malam panas mereka diluar ruangan, Rangga duduk sendiri di teras villanya yang mengadap kelaut. Dia meminta Gilang untuk membawakan sebotol minuman beralkohol, dia ingin menikmati malam di pulau dewata sembari menghangatkan tubuh. "Anda yakin ingin minum pak?" Gilang nampak mengerutkan alisnya. "Sedikit minum aku rasa tidak apa-apa, malam sangat dingin." Sahut Rangga sambil tersenyum. Tiba-tiba ingin minum bukan tanpa alasan, pria itu sangat stres dengan perasaannya. Awalnya dia dang Gilang nampak baik-saja
Hari yang ditentukan untuk pergi berlibur telah tiba, Satu jet pribadi khusus untuk CEO dan asistennya satu lagi pesawat pribadi untuk para petinggi kantor. "Mari kita berangkat." Gilang terlihat sangat senang. Dia melangkahkan kaki terlebih dahulu menaiki tangga jet tersebut. Para CEO yang biasanya berpakaian formal kini menjelma pria casual dengan tampilan santainya. Sungguh pemandangan yang sangat meremajakan mata. "Astaga Mas Rangga ganteng banget." Mata Lalita terus menatap Rangga yang berpakaian kasual ala-ala anak muda. Mendengar puja-puji yang keluar dari mulut istrinya tentu membuat Arga cemburu. "Kamu pikir dia saja yang ganteng!" Ujarnya kesal. "Iya lah Mas.... " Tanpa sadar Lalita berkata demikian, namun beberapa detik kemudian wanita itu menutup mulutnya. Dia terkekeh menatap Arga. "Maksud aku setelah kamu Mas." Rangga tersenyum senang, meski tidak bisa memiliki Lalita paling tidak wanita itu ngefans pada dirinya. "Pindah ke pesawat satunya Rangga." Tak senang A
Pria itu segera bangkit, dia mencoba membangunkan Kania tapi agaknya wanita itu tidak mau membuka matanya. Segera Damar menggendong tubuh Kania untuk dibawa ke rumah sakit. "Sayang kamu kenapa!" Damar terlihat begitu panik. Memiliki skil mengemudi yang cukup baik membuat dia dengan cepat tiba di rumah sakit. Segera Damar memanggil suster, dan setelah dilakukan pemeriksaan Dokter mengatakan jika Kania kekurangan nutrisi. "Bagaimana bisa dia kekurangan nutrisi?" Damar begitu syok. "Apa istri anda diet?" tanya Sang dokter. "Sepertinya tidak." Jawab Damar ragu-ragu. Tapi jika diingat lagi, beberapa hari ini dia tidak melihat istrinya makan berbeda dengan sebelumnya. Mengingat hal yang memicu pingsan adalah kekurangan nutrisi Dokter segera mengalihkan pemeriksaan Kania ke dokter kandungan, bagaimanapun juga kondisi calon bayi di dalam harus diperiksa. Ketika dokter melakukan USG, kerutan-kerutan terlihat di dahinya, pemeriksaan awalnya menunjukan satu janin saja tapi mengapa tiba
Seiring berjalannya kehidupan Arga dan Lalita normal kembali, siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang suaminya. "Mas." Lalita berjalan menuju meja kerja sang suami. Sementara Arga yang sangat fokus dengan pekerjaannya tidak menyadari kedatangan sang istri. Dia mengira suara langkah kaki yang mendekat adalah langkah sekertarisnya Mawar. Tanpa meliaht dia mengusir sekertarisnya itu yang sebenarnya adalah sang istri. "Letakkan berkasnya lalu pergilah!" Ujar Arga. Lalita hanya tersenyum melihat sang suami. "Aku baru datang tapi kamu sudah menyuruh pergi saja Mas." Sahut Lalita. Sangat mengenal suara itu dengan jelas, Arga pun mengalihkan pandangannya. Dia terkejut jika yang berada di hadapannya adalah sang istri. "Sayang." Dia pun menjeda pekerjaannya. Senyumam manis Arga tunjukkan. "Aku ngantar makan siang tapi malah diusir." Goda Lalita sambil tertawa. "Maaf Sayang, aku kira sekretaris aku." Arga menjelaskan. CEO itu mengajak Lalita dudu
Lalita terus larut dalam kesedihan, membuat Arga tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sudah membujuk Lalita tapi istrinya terus saja bilang dia harus mengerti. "Terserah kamu lah Sayang." Pagi itu Arga pergi ke kantor dengan marah. Dia sudah tidak bisa mentolerir sikap Lalita lagi, bukan tidak boleh bersedih tapi suami juga ada batasannya. Kekecewaan serta kekesalannya kepada sang istri Arga alihkan ke pekerjaan sehingga pria itu perlahan gila kerja kembali. Pagi buta dia berangkat larut baru pulang, tak terasa sudah sebulan dia seperti itu. Malam itu, Arcello demam tinggi. Baby Sitter sangat panik dan bingung. "Bagaimana ini." Seraut wajah bingung terlihat. Dengan langkah cepat dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar majikannya. Tak berselang lama, Lalita keluar. "Maaf Bu, Tuan Arcello demam." Lalita sangat panik lalu dia berlari ke kamar sang anak. Segera wanita itu membawa Arcello ke rumah sakit, seusai diperiksa Dokter meminta Arcello agar di rawat mengingat bayi setahu
Pria itu terus menatap istri sahabatnya, meski dokter bilang keadaan Lalita baik-baik saja dia tetap saja khawatir bahkan jika Lalita tak kunjung siuman maka dia akan meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tak selang lama Lalita siuman, dia menangis lagi mencari ibunya. "Lalita! terimalah kenyataan jika ibu sudah tiada! kamu pastinya paham jika kita tidak boleh meratapi!" Selama kenal dengan Lalita, inilah kali pertama Rangga membentaknya. "Sabar lah, relakan kepergian ibu." Ujar pria itu kemudian. Wanita itu mengangguk, dan untuk kesekian kalinya Rangga membawa wanita rapuh itu ke dalam pelukannya. "Ada aku Lalita, ada suami kamu, biarkan ibu pulang dengan tenang." Rangga semakin mengerutkan pelukannya. Lalita yang terbawa suasana juga memeluk Rangga dengan erat, dia kini bak seorang adik yang tengah memeluk kakaknya. Sementara itu disisi lain, Arga barus selesai rapat. Dia yang lupa tidak membawa ponsel tentu tidak bisa dihubungi. Kedua netra
"Ibu kenapa meminta maaf." Lalita menggenggam tangan ibundanya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memercing kesakitan. Melihat keadaan wanita tak berdaya itu, Rangga segera memanggil Dokter. Dia tentu tidak ingin terjadi apa-apa dengan ibunda Lalita. Tak berselang lama, dokter datang. Mereka segera diminta untuk memeriksa ibunda Lalita kembali. Dokter menunduk, Rangga yang tau ekspresi ini mengajak sang dokter bicara diluar. "Apa yang terjadi dengan pasien Dok?" Pria hangat itu bertanya dengan tatapan tajam. Ekspresi ketakutan tersirat di wajah sang dokter sehingga membuat Dokter penyakit dalam itu hanya diam. "Apa yang terjadi?" Suara Rangga mencuat. Segera Dokter menatap orang yang paling berkuasa di rumah sakit itu, "Dari hasil tes pencitraan rontgen, sel berbahaya sudah menyebar ke seluruh tubuh pasien itulah yang menyebabkan kami bingung harus bagaimana Pak Rangga." Ujar dokter. "Kenapa sebagai dokter kamu bingung! cepat bertindak!" Rangga yang tidak ingi