Tak menunggu lama, hanya tiga hari setelah pertemuan dengan Satya, gawaiku kembali menerima kabar yang aku sendiri tak paham entah baik apa buruk.
"Bu, orangnya sudah di dalam mobil." Dia memulai percakapan bahkan sebelum aku sempat bilang 'halo'.Untungnya otakku yang mulai menurun ketajamannya langsung cepat terkoneksi. "Langsung bawa ke Azura Sky." Kataku menyebut nama hotel yang dulu diberikan Hartono saat perjanjian pernikahan kami disepakati.Tempat itu cocok dijadikan lokasi eksekusi wanita malang itu. Selain sepi, semua pegawai di sana juga orang-orang kepercayaanku.Berani betul wanita vulgar bernama Vina itu hidup bahagia sementara aku bagai berjalan di atas pecahan kaca. Silap sedikit, nyawa melayang.Tolong jangan menatapku sinis dulu. Aku memang tak pernah merasa orang baik, justru aku sadar sepenuhnya kalau diriku cuma perempuan cantik berhati culas. Wanita yang tak suka jika sesuatu yang pernah jadi miliknya diambil or"Kau baik-baik aja, Dek?"Itu kalimat pertama yang diucapkannya. Dan tentu saja bukan untukku. Di sana, di antara sekelompok manusia berseragam coklat, berdiri pria yang sudah lama kurindukan. Dia nampak gagah dalam seragamnya, apalagi sejak kenaikan pangkatnya jadi Iptu, makin berwibawa saja lagaknya. Dulu, wajah yang sama selalu menatapku penuh kekaguman. Namun sekarang, tak ada sedikitpun rasa yang tersisa di sana untukku. Sejak pintu terbuka hingga saat ini netranya hanya terpaku pada wanita licik di belakangku. "Nggak ada yang luka, Dek?" Dia menggumamkan tanya sekali lagi sembari bergegas menghampiri Vina sementara anak buahnya juga tak kalah sigap meringkusku. Leherku yang tadinya serasa tercekik lantaran cengkeraman Vina, kini agak lega sedikit. Sebagai gantinya, kedua tanganku yang dipasangi borgol. "Aku nggak apa-apa Bang. Anak-anak sama siapa?"Kudengar Vina bertanya sambil merangkul mesra mantanku, yang kini
"Lekas bawa kedua orang jahat ini ke tahanan. Jangan sampai lolos dari jerat hukum."Meski samar, perintah terakhir Luki masih terdengar jelas di telingaku, sejelas rasa benci yang terukir pada kedua bola matanya. Aku panik sekarang. Sangat. Apa yang harus kuperbuat kalau sampai mendekam di penjara? Aku memang istri Hartono tapi sejujurnya aku bahkan tak yakin jika di matanya hidupku jauh lebih berharga dari kartu baseball yang kerap dikoleksinya. "Tunggu! Luki kau tak boleh begini..." Berlari kecil aku menuju pintu dengan tangan yang masih terborgol erat. "Tunggu!" Seruku lagi. Tak ada sahutan. Hal terakhir yang bisa kulihat cuma punggung Luki dan Vina yang makin menjauh. Jemari kedua insan dilanda cinta itu bertaut, tak terpisahkan. Aku masih mencoba mengejar ketika dua orang polisi muda berpangkat bripda segera menahanku. "Bu, mohon kerjasamanya. Ikut kami sekarang juga." "Tidak! Aku mesti bicara
"Selamat pagi, Nyonya. Anda bisa ikut saya sekarang."Edbert, masih dalam nada formalnya, langsung menyapa begitu tatapan kami bertemu. Menyadari gurat kebingungan di wajahku, personil polisi tadi ikut menimpali. "Ya Bu, Anda sudah boleh pulang. Maaf atas kesalahpahaman ini."'Kok jadi mereka yang minta maaf?'Meski masih bertanya-tanya, aku mengikuti langkah Edbert setelah mengangguk sekilas pada perwira tadi. Edbert berjalan dalam langkah lebar hingga aku agak tersaruk-saruk mengikutinya.Begitu kami melewati ambang pintu, seorang polisi wanita kembali menghampiri lantas menyerahkan tas milikku yang sempat disita. "Silakan diperiksa dulu, Bu." ucapnya ramah. Nada-nada ketus kemarin menguap entah kemana. Tentu saja semuanya utuh di dalam, termasuklah kamera laknat yang sekarang amat kubenci itu. Bukti kegagalanku yang hakiki. Selesai memeriksa barang, aku baru sadar, ternyata Edbert sudah melangkah jauh di
Pupil mataku menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang sudah lama tak menyapanya. Wajah itu nampak samar, sebagian tertimpa cahaya, sebagian lagi tertutupi bayangan dirinya. "Tap, tap, tap."Bunyi sol sepatunya menyentuh lantai yang keras dengan irama teratur manakala dia mendekat padaku yang meringkuk di pojokan. Dan ini sekaligus jadi pemandangan terakhir yang tertangkap indraku, sebelum mataku mendadak terpejam. Tenggelam dalam dunia mimpi tak bernama. Tak tahu berapa lama jiwaku terkungkung dalam dimensi ilusi, yang jelas waktu mata ini terbuka, tubuhku rasanya penuh energi. Refleks kutatap jam yang tergantung di dinding, ternyata sudah pukul sepuluh dan aku sedang terbaring di atas ranjang besi dalam ruangan yang sudah terekam di memoriku. Dark Room. "Kau akhirnya siuman, waktu yang tepat untuk belajar."Mendengar suara ini, kesadaranku yang cuma separuh tadi, mendadak utuh."Kamu di sin
Tubuhku melayang ringan melintasi terowongan bercahaya. Tempat macam ini tak pernah kulihat di manapun selama di bumi. Tanganku bergerak perlahan, menyentuh cahaya yang mengelilingi tubuhku dari segala arah. Sungguh nyaman, sungguh damai.Sudah lama tak kurasakan sensasi macam ini. 'Eh, apa yang terjadi?'Tiba-tiba saja tubuhku tersedot ke dalam labirin lain, menjauhi terowongan penuh cahaya nan permai tadi. 'Tolong... aku tak mau kembali! Tarik aku lagi!'Jiwaku meronta sepenuh hati, namun tak terjadi apapun. Tubuhku terus saja melesak tanpa gravitasi.Kekuatan tak kasat mengisapnya dengan kuat menjauhi terowongan tadi.Akhirnya aku cuma bisa menatap terowongan bercahaya tadi penuh kerinduan. 'Semoga suatu saat aku kembali ke sana.'Tak tahu berapa lama aku melintasi dimensi tanpa waktu itu, yang jelas begitu jiwaku kembali ke dalam tubuh, rasa ngilu yang luar biasa, seperti yang belum pernah k
"Aunty, akhirnya kamu pulang."Suara Joyce yang merdu terdengar seiring dengan terkuaknya pintu kamarku. Sontak aku menghentikan kegiatan yang sejak tadi kutekuni, mengoleskan salep pada bekas luka penganiayaan kemarin. Cepat-cepat kututup bajuku yang sedikit tersingkap di bagian lengan. Aku memang baru sampai di rumah sesudah menghabiskan waktu seminggu lebih di apartemen Hartono. Luka yang kualami kemarin pun sudah membaik betul di bawah pengawasan dokter pribadi suamiku. "Hai Darling, apa kabarmu? baru pulang sekolah?" Sahutku tak kalah antusias. Seminggu tak bertemu, nyatanya bikin aku kangen berat pada kedua anak tiriku. Di luar dugaanku, Joyce langsung menghambur memelukku. Sontak aku berjengit kesakitan. Bagian yang dipeluknya tepat mengenai yang sakit. "Aunty, are you okay?" Dia bertanya dengan raut cemas. "Ya, Aunty baik-baik aja." Kataku sambil melepaskan diri dari rangkulannya. Kilasa
Suara asisten kepercayaanku tercekat di ujung sana, mungkin terperanjat mendengar nada bicaraku yang tak biasa. "Iya Bu, ada masalah dengan produk kita. Sejak tadi banyak pelanggan komplain. Katanya wajah mereka jadi break out."Tamat sudah! Bisnis kecantikan memang sangat menguntungkan. Bayangkan saja, serum yang modalnya cuma dua puluh ribu bisa dijual hingga delapan puluh bahkan seratus ribu. Tapi sekali ada masalah siap-siaplah gulung tikar. Kepercayaan konsumen sukar dikembalikan. Saking kagetnya dengan perkembangan tak terduga ini buku-buku jariku sampai menegang lantaran mencengkeram ponsel terlalu kuat. "Batch berapa yang bermasalah?" Kataku lagi harap-harap cemas. "Batch terakhir, Bu."Kalau batch terakhir, itu berarti masalah terjadi waktu aku sedang tak siuman di apartemen Hartono. Sepertinya cuma dua minggu aku tak memantau G&G, dan situasi langsung kacau begini."Ya sudah, aku segera ke sana."
"Kenapa? Awak tak ada waktu, ke?" Suara di seberang sana kembali mendesak ketika didengarnya tak ada respon apapun dari mulutku. Kubasahi bibir yang mendadak terasa kering. "Okay. Saya akan kesana sekarang. Dua puluh menit lagi nyampe."Lekas kututup panggilan itu lalu mengambil compact powder dan lipstik guna merapikan wajahku yang acak-acakan. "Mau kemana lagi, Dek? Masalah kita belum kelar lho di sini." Suara Sally menyentakku kembali ke alam nyata. "Sebentar Kak, mau ketemu teman."Jawabanku sukses bikin Sally menganga tak percaya. Manusia mana yang masih sanggup hang out di tengah situasi genting begini. Jadi sebelum bibir merahnya mulai menyemburkan lahar panas, buru-buru kujelaskan alasan kepergianku. "Temanku ini orang kaya Kak. Siapa tahu dia bisa bantu kita. Do'akan aku ya..." Awalnya Sally menatapku skeptis. Namun melihat kesungguhan di mataku dia jadi luluh juga. "Ya udah, kalau gitu. Tapi jangan lama-lama ya, pusing lho aku menghadapinya sendiri.""Siap Boss." Aku ba