"Hmph, selalu mengancam." Desisku lirih sambil melempar ponselku begitu saja di atas ranjang.
Setelah perpisahan tak resmi lewat pesan singkat itu, Hartono kembali hilang dari hidup kami. Hilang dalam artian sebenarnya. Meski ini sering terjadi, tetap saja rasanya agak sesak.Sebisa mungkin aku mendekatkan diri pada anak-anak agar mereka terbebas dari pengalaman traumatis tempoh hari. Usahaku tak mudah, terlebih dengan situasi saat ini, praktis hanya aku orang tua yang mereka miliki.Pada saat begini, terkenanglah aku pada Alex, putraku yang sudah hampir setahun tak kutahu kabar beritanya. Anak kecil yang hanya punya paman dan bibi sebagai orang tuanya."Drtdrtdrt..."Getar panjang dari ponsel, menyentakkan diriku dari kehampaan panjang ini."Halo, ini siapa?" Aku menyapa nomor asing yang mampir tanpa diundang ini.Suara dalam dari seberang sana sukses membuatku mengerutkan kening. Apa yang dibicarakannya adalah haTak menunggu lama, hanya tiga hari setelah pertemuan dengan Satya, gawaiku kembali menerima kabar yang aku sendiri tak paham entah baik apa buruk. "Bu, orangnya sudah di dalam mobil." Dia memulai percakapan bahkan sebelum aku sempat bilang 'halo'. Untungnya otakku yang mulai menurun ketajamannya langsung cepat terkoneksi. "Langsung bawa ke Azura Sky." Kataku menyebut nama hotel yang dulu diberikan Hartono saat perjanjian pernikahan kami disepakati. Tempat itu cocok dijadikan lokasi eksekusi wanita malang itu. Selain sepi, semua pegawai di sana juga orang-orang kepercayaanku. Berani betul wanita vulgar bernama Vina itu hidup bahagia sementara aku bagai berjalan di atas pecahan kaca. Silap sedikit, nyawa melayang. Tolong jangan menatapku sinis dulu. Aku memang tak pernah merasa orang baik, justru aku sadar sepenuhnya kalau diriku cuma perempuan cantik berhati culas. Wanita yang tak suka jika sesuatu yang pernah jadi miliknya diambil or
"Kau baik-baik aja, Dek?"Itu kalimat pertama yang diucapkannya. Dan tentu saja bukan untukku. Di sana, di antara sekelompok manusia berseragam coklat, berdiri pria yang sudah lama kurindukan. Dia nampak gagah dalam seragamnya, apalagi sejak kenaikan pangkatnya jadi Iptu, makin berwibawa saja lagaknya. Dulu, wajah yang sama selalu menatapku penuh kekaguman. Namun sekarang, tak ada sedikitpun rasa yang tersisa di sana untukku. Sejak pintu terbuka hingga saat ini netranya hanya terpaku pada wanita licik di belakangku. "Nggak ada yang luka, Dek?" Dia menggumamkan tanya sekali lagi sembari bergegas menghampiri Vina sementara anak buahnya juga tak kalah sigap meringkusku. Leherku yang tadinya serasa tercekik lantaran cengkeraman Vina, kini agak lega sedikit. Sebagai gantinya, kedua tanganku yang dipasangi borgol. "Aku nggak apa-apa Bang. Anak-anak sama siapa?"Kudengar Vina bertanya sambil merangkul mesra mantanku, yang kini
"Lekas bawa kedua orang jahat ini ke tahanan. Jangan sampai lolos dari jerat hukum."Meski samar, perintah terakhir Luki masih terdengar jelas di telingaku, sejelas rasa benci yang terukir pada kedua bola matanya. Aku panik sekarang. Sangat. Apa yang harus kuperbuat kalau sampai mendekam di penjara? Aku memang istri Hartono tapi sejujurnya aku bahkan tak yakin jika di matanya hidupku jauh lebih berharga dari kartu baseball yang kerap dikoleksinya. "Tunggu! Luki kau tak boleh begini..." Berlari kecil aku menuju pintu dengan tangan yang masih terborgol erat. "Tunggu!" Seruku lagi. Tak ada sahutan. Hal terakhir yang bisa kulihat cuma punggung Luki dan Vina yang makin menjauh. Jemari kedua insan dilanda cinta itu bertaut, tak terpisahkan. Aku masih mencoba mengejar ketika dua orang polisi muda berpangkat bripda segera menahanku. "Bu, mohon kerjasamanya. Ikut kami sekarang juga." "Tidak! Aku mesti bicara
"Selamat pagi, Nyonya. Anda bisa ikut saya sekarang."Edbert, masih dalam nada formalnya, langsung menyapa begitu tatapan kami bertemu. Menyadari gurat kebingungan di wajahku, personil polisi tadi ikut menimpali. "Ya Bu, Anda sudah boleh pulang. Maaf atas kesalahpahaman ini."'Kok jadi mereka yang minta maaf?'Meski masih bertanya-tanya, aku mengikuti langkah Edbert setelah mengangguk sekilas pada perwira tadi. Edbert berjalan dalam langkah lebar hingga aku agak tersaruk-saruk mengikutinya.Begitu kami melewati ambang pintu, seorang polisi wanita kembali menghampiri lantas menyerahkan tas milikku yang sempat disita. "Silakan diperiksa dulu, Bu." ucapnya ramah. Nada-nada ketus kemarin menguap entah kemana. Tentu saja semuanya utuh di dalam, termasuklah kamera laknat yang sekarang amat kubenci itu. Bukti kegagalanku yang hakiki. Selesai memeriksa barang, aku baru sadar, ternyata Edbert sudah melangkah jauh di
Pupil mataku menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang sudah lama tak menyapanya. Wajah itu nampak samar, sebagian tertimpa cahaya, sebagian lagi tertutupi bayangan dirinya. "Tap, tap, tap."Bunyi sol sepatunya menyentuh lantai yang keras dengan irama teratur manakala dia mendekat padaku yang meringkuk di pojokan. Dan ini sekaligus jadi pemandangan terakhir yang tertangkap indraku, sebelum mataku mendadak terpejam. Tenggelam dalam dunia mimpi tak bernama. Tak tahu berapa lama jiwaku terkungkung dalam dimensi ilusi, yang jelas waktu mata ini terbuka, tubuhku rasanya penuh energi. Refleks kutatap jam yang tergantung di dinding, ternyata sudah pukul sepuluh dan aku sedang terbaring di atas ranjang besi dalam ruangan yang sudah terekam di memoriku. Dark Room. "Kau akhirnya siuman, waktu yang tepat untuk belajar."Mendengar suara ini, kesadaranku yang cuma separuh tadi, mendadak utuh."Kamu di sin
Tubuhku melayang ringan melintasi terowongan bercahaya. Tempat macam ini tak pernah kulihat di manapun selama di bumi. Tanganku bergerak perlahan, menyentuh cahaya yang mengelilingi tubuhku dari segala arah. Sungguh nyaman, sungguh damai.Sudah lama tak kurasakan sensasi macam ini. 'Eh, apa yang terjadi?'Tiba-tiba saja tubuhku tersedot ke dalam labirin lain, menjauhi terowongan penuh cahaya nan permai tadi. 'Tolong... aku tak mau kembali! Tarik aku lagi!'Jiwaku meronta sepenuh hati, namun tak terjadi apapun. Tubuhku terus saja melesak tanpa gravitasi.Kekuatan tak kasat mengisapnya dengan kuat menjauhi terowongan tadi.Akhirnya aku cuma bisa menatap terowongan bercahaya tadi penuh kerinduan. 'Semoga suatu saat aku kembali ke sana.'Tak tahu berapa lama aku melintasi dimensi tanpa waktu itu, yang jelas begitu jiwaku kembali ke dalam tubuh, rasa ngilu yang luar biasa, seperti yang belum pernah k
"Aunty, akhirnya kamu pulang."Suara Joyce yang merdu terdengar seiring dengan terkuaknya pintu kamarku. Sontak aku menghentikan kegiatan yang sejak tadi kutekuni, mengoleskan salep pada bekas luka penganiayaan kemarin. Cepat-cepat kututup bajuku yang sedikit tersingkap di bagian lengan. Aku memang baru sampai di rumah sesudah menghabiskan waktu seminggu lebih di apartemen Hartono. Luka yang kualami kemarin pun sudah membaik betul di bawah pengawasan dokter pribadi suamiku. "Hai Darling, apa kabarmu? baru pulang sekolah?" Sahutku tak kalah antusias. Seminggu tak bertemu, nyatanya bikin aku kangen berat pada kedua anak tiriku. Di luar dugaanku, Joyce langsung menghambur memelukku. Sontak aku berjengit kesakitan. Bagian yang dipeluknya tepat mengenai yang sakit. "Aunty, are you okay?" Dia bertanya dengan raut cemas. "Ya, Aunty baik-baik aja." Kataku sambil melepaskan diri dari rangkulannya. Kilasa
Suara asisten kepercayaanku tercekat di ujung sana, mungkin terperanjat mendengar nada bicaraku yang tak biasa. "Iya Bu, ada masalah dengan produk kita. Sejak tadi banyak pelanggan komplain. Katanya wajah mereka jadi break out."Tamat sudah! Bisnis kecantikan memang sangat menguntungkan. Bayangkan saja, serum yang modalnya cuma dua puluh ribu bisa dijual hingga delapan puluh bahkan seratus ribu. Tapi sekali ada masalah siap-siaplah gulung tikar. Kepercayaan konsumen sukar dikembalikan. Saking kagetnya dengan perkembangan tak terduga ini buku-buku jariku sampai menegang lantaran mencengkeram ponsel terlalu kuat. "Batch berapa yang bermasalah?" Kataku lagi harap-harap cemas. "Batch terakhir, Bu."Kalau batch terakhir, itu berarti masalah terjadi waktu aku sedang tak siuman di apartemen Hartono. Sepertinya cuma dua minggu aku tak memantau G&G, dan situasi langsung kacau begini."Ya sudah, aku segera ke sana."
Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma
Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak
Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N
"Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa
Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera
Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.
Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny
Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa