"Alhamdulillah ...."
Aku mengucap syukur begitu mendengar kabar Zaki dibawa polisi. Berarti, polisi tanggap dalam menanggapi aduan Bapak Mertua. Mila juga tampak senang sekali, terlihat senyum lega merekah dari bibirnya.
"Lho, kok alhamdulillah?" tanya Mang Sidik.
"Nanti juga Mang Sidik akan tahu sendiri kenapa anak itu bisa ditangkap polisi," jawabku.
"Ya, dia memang suka bikin ulah, sih. Bandel. Saya kira karena kasus narkoba, anak sebandel dia bisa saja main barang haram itu."
"Astaghfirulloh. Mamang jangan bicara begitu, di kampung kita gak ada yang mengkonsumsi begituan," kataku.
"Iya, kan itu hanyalah perkiraan saya saja tadi. Soalnya, waktu kapan gitu ... saya lupa tepatnya kapan, pokoknya tengah malam dia ngebut pakai motor, berhenti di pos depan itu sendirian dan lang
"Kalau ada yang perlu dibicarakan, silakan bicara di kantor polisi saja. Sekalian jelaskan pada mereka, beri keterangan. Saya yakin, sebanyak apapun Bu RT memberi penjelasan, tidak akan membuat Zaki lolos dari hukuman," jawabku. "Jadi, silakan saja langsung bicara pada pihak kepolisian. Itu juga, kan, yang ingin dibicarakan Bu RT kepada Bapak? Menjelaskan tentang perbuatan Zaki dan meminta Bapak memaklumi perbuatannya, lalu membujuk supaya Bapak mencabut aduannya. Asal Bu RT tahu, kami tidak terima 'negosiasi' apapun."Bu RT membuka mulut, hendak menjawab perkataanku, namun aku segera mendahuluinya bicara. "Jadi, tidak ada gunanya kita bicara. Sudah jelas, kan?" kataku."Aku ini mau bicara dengan bapak mertuamu, bukan sama kamu. Sampaikanlah dulu padanya, biar dia yang memutuskan mau bicara atau tidak!" balas Bu RT. "Jangan bersikap sok jadi pelindung keluarga. Aku gak bermasalah sama kamu, aku bermasalah sama kel
"Permisi, saya mau pulang."Itulah jawabanku. Lebih memilih pulang dan menghindar dari mereka, yang tak mengerti sama sekali tentang rasa malu keluargaku gara-gara foto editan itu. Enak sekali mereka memintaku untuk membujuk Bapak Mertua mencabut aduannya. Itu tak mungkin kulakukan.Andai aku harus merasa kasihan pada Bu RT, maka ya, aku kasihan. Aku pun bisa merasakan kesedihannya, tapi itu adalah koneskuensi atas perbuatannya sendiri. Kenapa sekarang malah mau mencoba menyalahkan keluargaku?"Murni, jangan tersinggung. Kami bukannya mau membela RT, kami cuma merasa kasihan dan tak tega melihat kondisinya. Coba deh, kamu ke rumahnya, lihat sendiri Bu RT hanya melamun dan tatapannya kosong. Dia gak bisa ditanya, padahal baru saja tadi pagi anaknya ditangkap polisi, tapi kondisi Bu RT sudah seperti itu."Seseorang menarik lenganku, hingga langkah
"Bapaknya si Zaki," jawab Bapak."Pak RT?""Iya. Sudah, biarkan dia pergi. Tak usah kita ladeni, palingan mau minta bebasin si Zaki. Lagipula lebay, ini kan baru proses penyidikan, si Zaki juga belum ditahan, mereka sudah ketar-ketir begitu!"Bapak langsung duduk di kursi tamu, berkutat kembali dengan buku catatannya, entah catatan apa yang pasti itu selalu dibuka Bapak. Aku pun kembali ke kamar untuk lanjut istirahat bersama Abiyyu.*Sekitar jam sepuluh malam, aku yang sudah tertidur jadi terbangun oleh suara ketukan pintu depan.Karena merasa ketukan itu tidak berhenti dan juga malah mengganggu, maka dengan mata yang masih mengantuk aku menuju pintu depan dan membukanya."Saya di sini dari tadi, saya duduk men
"Biarin aja," jawab Mila ketus. Membuat Bi Popon terkejut mendengarnya."Kalian gak akan nyamperin ke sana atau apa lah gitu?" tanya Bi Popon."Kayaknya, mereka juga udah mulai berangkat. Tuh, mobilnya sudah mulai maju," jawabku.Mobil melaju membawa Bu RT ke Puskesmas. Kini, selain para pembeli yang tadi belanja di warungku, para tetangga di sekitar juga keluar rumah untuk melihat. Hingga mobil sudah tak terlihat, warga masih berkerumun, tampak mereka berbincang membicarakan kondisi Bu RT.Sementara aku dan Mila memilih masuk ke dalam rumah.*Siang hari, aku menjaga warung ditemani Ibu Mertua yang duduk di teras rumah sambil menggendong Abiyyu. Sejak Bu RT dibawa ke puskesmas, warga bersikap sinis pada keluargaku, terutama Ibu dan Bapak. Mereka menganggap kami tega tak mau m
"Alhamdillah, semoga besok lancar ya, Mil. Kamu sudah ambil keputusan kan? Setidaknya, tentukan dari sekarang mau damai atau lanjutkan hukumannya," kataku pada Mila."Sudah, Kak. Bapak juga sudah ngasih pendapat ke Mila tadi. Apa Kakak mau ngasih pendapat juga?" tanya Mila"Enggak. Kakak gak mau mencampuri keputusanmu. Yang pasti, apapun keputusanmu nanti, mau damai atau lanjut, yang penting harus benar-benar memberi efek jera bagi si Zaki," jawabku.Mila menyerahkan resi pengiriman seblak instan ke pelanggan di Bekasi. Tadi dia memang kusuruh mengirim paket seblak ke ekspedisi. Aku langsung memfoto resi ini dan mengirimkannya via inbox messenger ke pelanggan sebagai bukti bahwa barangnya telah dikirim."Ada lagi orderan yang harus diantar gak, Kak? Kalau gak ada, aku mau ke dapur produksi. Aku mau bantuin Azkia kupasin singkong," kata Mila.
"Mila ambil jalan damai, Bu," jawab Mila."Apa?! Enak aja! Kalau mau damai, ngapain dilaporin ke polisi, udah aja dari awal gak usah ditindak semua kasus ini! Ibu tidak terima, apalagi anak perempuanku sendiri yang dipermalukan!" kata Ibu penuh kesal. "Kamu gimana sih, Mil. Apa kamu gak sakit hati sama perbuatan si Zaki itu? Jadi perempuan kok gak ada rasa sakit hati sama sekali!""Jelas Mila sakit hati lah, Bu!" bantah Mila."Lalu kenapa kamu maafkan? Apa kamu terpengaruh pandangan warga terhadap keluarga kita, karena mereka menganggap kita keluarga tega yang tak mau mengambil jalan kekeluargaan?" desak Ibu Mertua.Mila menutup kedua telinga dengan tangannya, seperti sudah merasa cukup mendengar protes Ibu atas keputusannya. "Ini semua atas saran Bapak, Bu. Mila cuma nurut aja, karena pasti Bapak tahu yang terbaik buat keluarga ki
"Nanti malam ada acara doa bersama di rumahnya, untuk kesembuhan Bu RT dan keselamatan anaknya," jawabku. "Memangnya, kamu gak tahu kabar yang ramai akhir-akhir ini? Kamu kan setiap hari di sini, Kia."Azkia menggeleng. "Nggak, Bu. Selama di dapur kan saya gak pernah keluar, hanya bikin keripik saja," jawabnya."Ya ampun. Padahal kamu boleh kok keluar sesekali untuk menghirup udara segar. Kasihan sekali kamu, saya juga kan suka ngasih jam istirahat.""Gak apa-apa, Mbak. Lagipula, saya takut keluar dari dapur. Takut ketemu sama Mbak Ayu, yang dulu ngobrak-ngabrik dapur itu, lho, Mbak," kata Azkia sanbil bergidig."Apa setelah kejadian itu dia masih suka ganggu kamu?""Kalau datang ke sini sih enggak, cuma kalau pas kebetulan ketemu di jalan, dia suka melototin aku, Mbak."Napas
"Sabar dulu, Bu. Ini kan baru awal acara, kita dengarkan saja sampai akhir," kata Bapak Mertua."Ah, dari dulu omongannya mereka memang gak bisa kita pegang," bantah Ibu Mertua."Lagipula, si Zaki masih di kantor polisi, kalau mereka ingkar, anaknya akan di sana selamanya. Ibu gimana sih, kan Bapak sudah jelaskan. Sabar lah, jangan suka 'riweuh' dan cepat tersulut emosi begitu. Dari dulu tak pernah berubah kebiasaanmu yang satu itu!""Tapi kan—""Sudah, diam! Kalau Ibu berisik, gimana bisa kedengaran itu yang lagi ngomong di sana!"Lagi-lagi, Ibu Mertua memperkeruh suasana, sifatnya yang tak sabaran di situasi seperti ini membuat kami ikut 'kepanasan'. Beruntunglah Bapak Mertua segera menghentikan Ibu.Sementara Mila yang tengah kami perjuangkan nama baik dan harga dirin