Jadi, Bapak sudah mengadukan Zaki ke kantor polisi. Bagus lah, semoga saja nama baik keluarga kami akan segera pulih, terutama Mila. Kasihan dia, statusnya yang janda membuat para lelaki iseng memanfaatkannya.
"Sebenarnya, saya gak tahu apakah Bu RT ini punya otak atau tidak," balasku. "Karena, kalau punya otak ... tak mungkin lah akan berkata seperti itu. Bilang keluarga saya baperan dan tukang lapor, dan perbuatan Zaki hanya iseng? Apakah anakmu itu tidak berpikir, kalau perbuatannya telah mempermalukan sekaligus mencemarkan nama baik keluarga kami, terutama Mila?! Bagaimana bisa perbuatan seperti itu dianggap iseng? Hanya orang yang tidak punya otak yang berpikiran seperti itu!"
Aku membalas perkataan Bu RT dengan kasar. Sementata itu, dia hanya terdiam seribu bahasa, kehabisan kata untuk membalas perkataanku lagi.
Tanpa pikir panjang, aku pun meninggalkannya. "Maaf, say
"Alhamdulillah ...."Aku mengucap syukur begitu mendengar kabar Zaki dibawa polisi. Berarti, polisi tanggap dalam menanggapi aduan Bapak Mertua. Mila juga tampak senang sekali, terlihat senyum lega merekah dari bibirnya."Lho, kok alhamdulillah?" tanya Mang Sidik."Nanti juga Mang Sidik akan tahu sendiri kenapa anak itu bisa ditangkap polisi," jawabku."Ya, dia memang suka bikin ulah, sih. Bandel. Saya kira karena kasus narkoba, anak sebandel dia bisa saja main barang haram itu.""Astaghfirulloh. Mamang jangan bicara begitu, di kampung kita gak ada yang mengkonsumsi begituan," kataku."Iya, kan itu hanyalah perkiraan saya saja tadi. Soalnya, waktu kapan gitu ... saya lupa tepatnya kapan, pokoknya tengah malam dia ngebut pakai motor, berhenti di pos depan itu sendirian dan lang
"Kalau ada yang perlu dibicarakan, silakan bicara di kantor polisi saja. Sekalian jelaskan pada mereka, beri keterangan. Saya yakin, sebanyak apapun Bu RT memberi penjelasan, tidak akan membuat Zaki lolos dari hukuman," jawabku. "Jadi, silakan saja langsung bicara pada pihak kepolisian. Itu juga, kan, yang ingin dibicarakan Bu RT kepada Bapak? Menjelaskan tentang perbuatan Zaki dan meminta Bapak memaklumi perbuatannya, lalu membujuk supaya Bapak mencabut aduannya. Asal Bu RT tahu, kami tidak terima 'negosiasi' apapun."Bu RT membuka mulut, hendak menjawab perkataanku, namun aku segera mendahuluinya bicara. "Jadi, tidak ada gunanya kita bicara. Sudah jelas, kan?" kataku."Aku ini mau bicara dengan bapak mertuamu, bukan sama kamu. Sampaikanlah dulu padanya, biar dia yang memutuskan mau bicara atau tidak!" balas Bu RT. "Jangan bersikap sok jadi pelindung keluarga. Aku gak bermasalah sama kamu, aku bermasalah sama kel
"Permisi, saya mau pulang."Itulah jawabanku. Lebih memilih pulang dan menghindar dari mereka, yang tak mengerti sama sekali tentang rasa malu keluargaku gara-gara foto editan itu. Enak sekali mereka memintaku untuk membujuk Bapak Mertua mencabut aduannya. Itu tak mungkin kulakukan.Andai aku harus merasa kasihan pada Bu RT, maka ya, aku kasihan. Aku pun bisa merasakan kesedihannya, tapi itu adalah koneskuensi atas perbuatannya sendiri. Kenapa sekarang malah mau mencoba menyalahkan keluargaku?"Murni, jangan tersinggung. Kami bukannya mau membela RT, kami cuma merasa kasihan dan tak tega melihat kondisinya. Coba deh, kamu ke rumahnya, lihat sendiri Bu RT hanya melamun dan tatapannya kosong. Dia gak bisa ditanya, padahal baru saja tadi pagi anaknya ditangkap polisi, tapi kondisi Bu RT sudah seperti itu."Seseorang menarik lenganku, hingga langkah
"Bapaknya si Zaki," jawab Bapak."Pak RT?""Iya. Sudah, biarkan dia pergi. Tak usah kita ladeni, palingan mau minta bebasin si Zaki. Lagipula lebay, ini kan baru proses penyidikan, si Zaki juga belum ditahan, mereka sudah ketar-ketir begitu!"Bapak langsung duduk di kursi tamu, berkutat kembali dengan buku catatannya, entah catatan apa yang pasti itu selalu dibuka Bapak. Aku pun kembali ke kamar untuk lanjut istirahat bersama Abiyyu.*Sekitar jam sepuluh malam, aku yang sudah tertidur jadi terbangun oleh suara ketukan pintu depan.Karena merasa ketukan itu tidak berhenti dan juga malah mengganggu, maka dengan mata yang masih mengantuk aku menuju pintu depan dan membukanya."Saya di sini dari tadi, saya duduk men
"Biarin aja," jawab Mila ketus. Membuat Bi Popon terkejut mendengarnya."Kalian gak akan nyamperin ke sana atau apa lah gitu?" tanya Bi Popon."Kayaknya, mereka juga udah mulai berangkat. Tuh, mobilnya sudah mulai maju," jawabku.Mobil melaju membawa Bu RT ke Puskesmas. Kini, selain para pembeli yang tadi belanja di warungku, para tetangga di sekitar juga keluar rumah untuk melihat. Hingga mobil sudah tak terlihat, warga masih berkerumun, tampak mereka berbincang membicarakan kondisi Bu RT.Sementara aku dan Mila memilih masuk ke dalam rumah.*Siang hari, aku menjaga warung ditemani Ibu Mertua yang duduk di teras rumah sambil menggendong Abiyyu. Sejak Bu RT dibawa ke puskesmas, warga bersikap sinis pada keluargaku, terutama Ibu dan Bapak. Mereka menganggap kami tega tak mau m
"Alhamdillah, semoga besok lancar ya, Mil. Kamu sudah ambil keputusan kan? Setidaknya, tentukan dari sekarang mau damai atau lanjutkan hukumannya," kataku pada Mila."Sudah, Kak. Bapak juga sudah ngasih pendapat ke Mila tadi. Apa Kakak mau ngasih pendapat juga?" tanya Mila"Enggak. Kakak gak mau mencampuri keputusanmu. Yang pasti, apapun keputusanmu nanti, mau damai atau lanjut, yang penting harus benar-benar memberi efek jera bagi si Zaki," jawabku.Mila menyerahkan resi pengiriman seblak instan ke pelanggan di Bekasi. Tadi dia memang kusuruh mengirim paket seblak ke ekspedisi. Aku langsung memfoto resi ini dan mengirimkannya via inbox messenger ke pelanggan sebagai bukti bahwa barangnya telah dikirim."Ada lagi orderan yang harus diantar gak, Kak? Kalau gak ada, aku mau ke dapur produksi. Aku mau bantuin Azkia kupasin singkong," kata Mila.
"Mila ambil jalan damai, Bu," jawab Mila."Apa?! Enak aja! Kalau mau damai, ngapain dilaporin ke polisi, udah aja dari awal gak usah ditindak semua kasus ini! Ibu tidak terima, apalagi anak perempuanku sendiri yang dipermalukan!" kata Ibu penuh kesal. "Kamu gimana sih, Mil. Apa kamu gak sakit hati sama perbuatan si Zaki itu? Jadi perempuan kok gak ada rasa sakit hati sama sekali!""Jelas Mila sakit hati lah, Bu!" bantah Mila."Lalu kenapa kamu maafkan? Apa kamu terpengaruh pandangan warga terhadap keluarga kita, karena mereka menganggap kita keluarga tega yang tak mau mengambil jalan kekeluargaan?" desak Ibu Mertua.Mila menutup kedua telinga dengan tangannya, seperti sudah merasa cukup mendengar protes Ibu atas keputusannya. "Ini semua atas saran Bapak, Bu. Mila cuma nurut aja, karena pasti Bapak tahu yang terbaik buat keluarga ki
"Nanti malam ada acara doa bersama di rumahnya, untuk kesembuhan Bu RT dan keselamatan anaknya," jawabku. "Memangnya, kamu gak tahu kabar yang ramai akhir-akhir ini? Kamu kan setiap hari di sini, Kia."Azkia menggeleng. "Nggak, Bu. Selama di dapur kan saya gak pernah keluar, hanya bikin keripik saja," jawabnya."Ya ampun. Padahal kamu boleh kok keluar sesekali untuk menghirup udara segar. Kasihan sekali kamu, saya juga kan suka ngasih jam istirahat.""Gak apa-apa, Mbak. Lagipula, saya takut keluar dari dapur. Takut ketemu sama Mbak Ayu, yang dulu ngobrak-ngabrik dapur itu, lho, Mbak," kata Azkia sanbil bergidig."Apa setelah kejadian itu dia masih suka ganggu kamu?""Kalau datang ke sini sih enggak, cuma kalau pas kebetulan ketemu di jalan, dia suka melototin aku, Mbak."Napas
“Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria
Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha
"Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur
"Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib
"Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan
Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M