"Alhamdillah, semoga besok lancar ya, Mil. Kamu sudah ambil keputusan kan? Setidaknya, tentukan dari sekarang mau damai atau lanjutkan hukumannya," kataku pada Mila.
"Sudah, Kak. Bapak juga sudah ngasih pendapat ke Mila tadi. Apa Kakak mau ngasih pendapat juga?" tanya Mila
"Enggak. Kakak gak mau mencampuri keputusanmu. Yang pasti, apapun keputusanmu nanti, mau damai atau lanjut, yang penting harus benar-benar memberi efek jera bagi si Zaki," jawabku.
Mila menyerahkan resi pengiriman seblak instan ke pelanggan di Bekasi. Tadi dia memang kusuruh mengirim paket seblak ke ekspedisi. Aku langsung memfoto resi ini dan mengirimkannya via inbox messenger ke pelanggan sebagai bukti bahwa barangnya telah dikirim.
"Ada lagi orderan yang harus diantar gak, Kak? Kalau gak ada, aku mau ke dapur produksi. Aku mau bantuin Azkia kupasin singkong," kata Mila.
"Mila ambil jalan damai, Bu," jawab Mila."Apa?! Enak aja! Kalau mau damai, ngapain dilaporin ke polisi, udah aja dari awal gak usah ditindak semua kasus ini! Ibu tidak terima, apalagi anak perempuanku sendiri yang dipermalukan!" kata Ibu penuh kesal. "Kamu gimana sih, Mil. Apa kamu gak sakit hati sama perbuatan si Zaki itu? Jadi perempuan kok gak ada rasa sakit hati sama sekali!""Jelas Mila sakit hati lah, Bu!" bantah Mila."Lalu kenapa kamu maafkan? Apa kamu terpengaruh pandangan warga terhadap keluarga kita, karena mereka menganggap kita keluarga tega yang tak mau mengambil jalan kekeluargaan?" desak Ibu Mertua.Mila menutup kedua telinga dengan tangannya, seperti sudah merasa cukup mendengar protes Ibu atas keputusannya. "Ini semua atas saran Bapak, Bu. Mila cuma nurut aja, karena pasti Bapak tahu yang terbaik buat keluarga ki
"Nanti malam ada acara doa bersama di rumahnya, untuk kesembuhan Bu RT dan keselamatan anaknya," jawabku. "Memangnya, kamu gak tahu kabar yang ramai akhir-akhir ini? Kamu kan setiap hari di sini, Kia."Azkia menggeleng. "Nggak, Bu. Selama di dapur kan saya gak pernah keluar, hanya bikin keripik saja," jawabnya."Ya ampun. Padahal kamu boleh kok keluar sesekali untuk menghirup udara segar. Kasihan sekali kamu, saya juga kan suka ngasih jam istirahat.""Gak apa-apa, Mbak. Lagipula, saya takut keluar dari dapur. Takut ketemu sama Mbak Ayu, yang dulu ngobrak-ngabrik dapur itu, lho, Mbak," kata Azkia sanbil bergidig."Apa setelah kejadian itu dia masih suka ganggu kamu?""Kalau datang ke sini sih enggak, cuma kalau pas kebetulan ketemu di jalan, dia suka melototin aku, Mbak."Napas
"Sabar dulu, Bu. Ini kan baru awal acara, kita dengarkan saja sampai akhir," kata Bapak Mertua."Ah, dari dulu omongannya mereka memang gak bisa kita pegang," bantah Ibu Mertua."Lagipula, si Zaki masih di kantor polisi, kalau mereka ingkar, anaknya akan di sana selamanya. Ibu gimana sih, kan Bapak sudah jelaskan. Sabar lah, jangan suka 'riweuh' dan cepat tersulut emosi begitu. Dari dulu tak pernah berubah kebiasaanmu yang satu itu!""Tapi kan—""Sudah, diam! Kalau Ibu berisik, gimana bisa kedengaran itu yang lagi ngomong di sana!"Lagi-lagi, Ibu Mertua memperkeruh suasana, sifatnya yang tak sabaran di situasi seperti ini membuat kami ikut 'kepanasan'. Beruntunglah Bapak Mertua segera menghentikan Ibu.Sementara Mila yang tengah kami perjuangkan nama baik dan harga dirin
"Syukurlah, Mbak Murni juga bersedia menjadi saksi permohonan maaf saya pada Bapak Sadikin," lanjut Pak RT.Kami semua duduk di kursi tamu, berhadapan dengan Pak RT. Orang yang pernah meng-kalim dirinya sebagai Penguasa Kampung itu, kini hanya menunduk di hadapan kami yang hanyalah warga biasa.Baik aku, Mila, Ibu,maupun Bapak, sengaja tak membuka suara lebih dahulu, kami tak berkata sepatah kaya pun, dan membiarkan Sang Penguasa Kampung ini gelagapan serta salah tingkah. Bibirnya seakan membeku, seperti tak.tahu harus bicara apa."A—anu, sa—saya mau minta maaf," ucap Pak RT pada akhirnya, dengan terbata-bata. Nampak jelas sekali rasa malu bercampur tidak nyaman di wajahnya. Tokoh masyarakat yang terbiasa berbicara bijaksana dengan lancar di hadapan umum, pidato sana—sini, kini kehilangan wibawa dan keahliannya di hadapan keluargaku.
"Begitu pula sebaliknya," lanjut Bapak Mertua."Tolong, Pak Sadikin. Saya sudah mengikuti persyaratan Bapak, dan menepati janji saya datang ke sini meminta maaf, tulus dari hati. Saya mohon, Pak Sadikin pun bersikap demikian. Bebaskanlah Zaki besok pagi, saya akan membawanya ke puskesmas untuk bertemu ibunya. Kalian kan tahu, kondisi istri saya sekarang sedang kritis dan menunggu kabar lanjutan hingga besok pagi sebelum dirujuk ke rumah sakit. Siapa tahu, setelah melihat Zaki, istri saya langsung membaik kesehatannya," pinta Pak RT."Kalau memang tulus minta maaf dari hati, kenapa mengharapkan imblan dengan bebasnya si Zaki?!" sindir Ibu Mertua sinis."Ya, saya tahu apa maksud Ibu. Tapi janji tetaplah janji. Saya memang tulus meminta maaf, dan Pak Sadikin pun telah berjanji akan membebaskan Zaki jika saya datang meminta maaf ke sini. Baik saya maupun P
"Pusing, Mil."Mila membantuku duduk di kursi seraya memberiku segelas air putih hangat. "Kakak duduk saja, biar aku yang hadapi mereka," katanya.Keributan di depan warung senyap sebentar. Apalagi setelah Mila menegur mereka."Ibu-Ibu, mau pada belanja gak?" tegur Mila."Mau dong!" jawab mereka."Ya sudah, sok, ayo mau belanja apa aja? Satu-satu dulu, ngantri!" lanjut Mila.Mila mengarahkan para pembeli yang jumlahnya banyak itu hingga teratur. Satu per satu dilayani dengan cekatan. Sementara aku memperhatikan mereka sambil bersandar ke kursi.Setelah kurasa kepalak
"Bukannya Murni mau mempertanyakan keputusan yang telah Bapak ambil, tapi Murni cuma penasaran saja barangkali Bapak membebaskan Zaki karena tuntutan Pak RT dan tidak sesuai dengan hati nurani Bapak sendiri," lanjutku."Bapak sudah pikirkan matang-matang dari awal, Mur. Lagipula, setelah si Zaki bebas dari kasus foto editan ini, cepat atau lambat dia akan ditangkap lagi karena kasus lain. Bapak yakin," jawab Bapak."Maksud Bapak apa?" tanyaku."Bapak sudah tahu sejak pertama melihatnya mainkan motor di depan rumah kita, seperti orang 'sinting' kehilangan kewarasan. Apalagi saat dia malam-malam manggil Mila ngajak ke losmen depan pasar, kamu ingat kan?" "Iya, Pak. Murni ingat waktu malam itu Zaki memanggil Mila dengan cara merendahkan harga dirinya.""Nah, Bapak sudah sadar waktu itu juga ... kalau si Zaki ngomongnya ngelantur begitu karena kesadarannya 'oleng'," kata Bapak Mertua."Maksud Bapak, si Zaki narkobaan?" tanyaku, memastikan dengan berbisik. Aku teringat dengan cerita Mang
"Bu Murni cuma kecapen. Kurang tidur dan stress bisa menyebabkan gejala-gejala seperti ini. Namun, ini sudah parah. Sepertinya, Bu Murni sering begadang setiap malam dan itu sudah berlangsung sejak lama. Betul, kan?" jawab Dokter, sekaligus menebak rutinitasku.Memang benar, semenjak membuka usaha warung pertama kali tubuhku selalu saja bergerak, tak pernah diam dan hanya diam jika sedang tidur saja, itu jarang sekali mendapat waktu tidur yang cukup. Sejak saat itu, aktivitasku dimulai sejak jam tiga dini hari, membuat bumbu seblak, merebus tulang dan ceker ayam, belanja ke pasar subuh—karena dulu aku belum dapat pemasok, dan membuka warung. Jam lima subuh warungku mulai ramai hingga jam tujuh pagi. Di awal merintis usaha, sepanjang hari aku menjaga warung. Di sela-sela sepi pembeli, aku tak hanya diam, tetapi mengupas singkong atau pisang kemudian mengirisnya dengan menggunakan parutan keripik. Kadang diselingi juga dengan melayani beberapa pembeli ketika warung kembali ramai. Saat