"Syukurlah, Mbak Murni juga bersedia menjadi saksi permohonan maaf saya pada Bapak Sadikin," lanjut Pak RT.
Kami semua duduk di kursi tamu, berhadapan dengan Pak RT. Orang yang pernah meng-kalim dirinya sebagai Penguasa Kampung itu, kini hanya menunduk di hadapan kami yang hanyalah warga biasa.
Baik aku, Mila, Ibu,maupun Bapak, sengaja tak membuka suara lebih dahulu, kami tak berkata sepatah kaya pun, dan membiarkan Sang Penguasa Kampung ini gelagapan serta salah tingkah. Bibirnya seakan membeku, seperti tak.tahu harus bicara apa.
"A—anu, sa—saya mau minta maaf," ucap Pak RT pada akhirnya, dengan terbata-bata. Nampak jelas sekali rasa malu bercampur tidak nyaman di wajahnya. Tokoh masyarakat yang terbiasa berbicara bijaksana dengan lancar di hadapan umum, pidato sana—sini, kini kehilangan wibawa dan keahliannya di hadapan keluargaku.
"Begitu pula sebaliknya," lanjut Bapak Mertua."Tolong, Pak Sadikin. Saya sudah mengikuti persyaratan Bapak, dan menepati janji saya datang ke sini meminta maaf, tulus dari hati. Saya mohon, Pak Sadikin pun bersikap demikian. Bebaskanlah Zaki besok pagi, saya akan membawanya ke puskesmas untuk bertemu ibunya. Kalian kan tahu, kondisi istri saya sekarang sedang kritis dan menunggu kabar lanjutan hingga besok pagi sebelum dirujuk ke rumah sakit. Siapa tahu, setelah melihat Zaki, istri saya langsung membaik kesehatannya," pinta Pak RT."Kalau memang tulus minta maaf dari hati, kenapa mengharapkan imblan dengan bebasnya si Zaki?!" sindir Ibu Mertua sinis."Ya, saya tahu apa maksud Ibu. Tapi janji tetaplah janji. Saya memang tulus meminta maaf, dan Pak Sadikin pun telah berjanji akan membebaskan Zaki jika saya datang meminta maaf ke sini. Baik saya maupun P
"Pusing, Mil."Mila membantuku duduk di kursi seraya memberiku segelas air putih hangat. "Kakak duduk saja, biar aku yang hadapi mereka," katanya.Keributan di depan warung senyap sebentar. Apalagi setelah Mila menegur mereka."Ibu-Ibu, mau pada belanja gak?" tegur Mila."Mau dong!" jawab mereka."Ya sudah, sok, ayo mau belanja apa aja? Satu-satu dulu, ngantri!" lanjut Mila.Mila mengarahkan para pembeli yang jumlahnya banyak itu hingga teratur. Satu per satu dilayani dengan cekatan. Sementara aku memperhatikan mereka sambil bersandar ke kursi.Setelah kurasa kepalak
"Bukannya Murni mau mempertanyakan keputusan yang telah Bapak ambil, tapi Murni cuma penasaran saja barangkali Bapak membebaskan Zaki karena tuntutan Pak RT dan tidak sesuai dengan hati nurani Bapak sendiri," lanjutku."Bapak sudah pikirkan matang-matang dari awal, Mur. Lagipula, setelah si Zaki bebas dari kasus foto editan ini, cepat atau lambat dia akan ditangkap lagi karena kasus lain. Bapak yakin," jawab Bapak."Maksud Bapak apa?" tanyaku."Bapak sudah tahu sejak pertama melihatnya mainkan motor di depan rumah kita, seperti orang 'sinting' kehilangan kewarasan. Apalagi saat dia malam-malam manggil Mila ngajak ke losmen depan pasar, kamu ingat kan?" "Iya, Pak. Murni ingat waktu malam itu Zaki memanggil Mila dengan cara merendahkan harga dirinya.""Nah, Bapak sudah sadar waktu itu juga ... kalau si Zaki ngomongnya ngelantur begitu karena kesadarannya 'oleng'," kata Bapak Mertua."Maksud Bapak, si Zaki narkobaan?" tanyaku, memastikan dengan berbisik. Aku teringat dengan cerita Mang
"Bu Murni cuma kecapen. Kurang tidur dan stress bisa menyebabkan gejala-gejala seperti ini. Namun, ini sudah parah. Sepertinya, Bu Murni sering begadang setiap malam dan itu sudah berlangsung sejak lama. Betul, kan?" jawab Dokter, sekaligus menebak rutinitasku.Memang benar, semenjak membuka usaha warung pertama kali tubuhku selalu saja bergerak, tak pernah diam dan hanya diam jika sedang tidur saja, itu jarang sekali mendapat waktu tidur yang cukup. Sejak saat itu, aktivitasku dimulai sejak jam tiga dini hari, membuat bumbu seblak, merebus tulang dan ceker ayam, belanja ke pasar subuh—karena dulu aku belum dapat pemasok, dan membuka warung. Jam lima subuh warungku mulai ramai hingga jam tujuh pagi. Di awal merintis usaha, sepanjang hari aku menjaga warung. Di sela-sela sepi pembeli, aku tak hanya diam, tetapi mengupas singkong atau pisang kemudian mengirisnya dengan menggunakan parutan keripik. Kadang diselingi juga dengan melayani beberapa pembeli ketika warung kembali ramai. Saat
"Mana mau bapakmu ke sana. Itu juga tadi karena dia dijemput Pak RT, diminta untuk datang ke rumahnya. Katanya Pak RT mau bongkar warung, dan minta bantuan tenaga Bapak. Ya, karena bapakmu itu orang baik, makanya dia mau berangkat ke sana," jawab Ibu Mertua seraya duduk di sampingku, di atas kursi tamu."Kan warungnya Ayu itu di garasi, apanya yang perlu dibongkar?" tanyaku."Mungkin mau dipindahin barang-barangnya. Kan warungnya mau tutup permanen, alias gak akan jualan lagi!" "Lho, kenapa?" Aku cukup terkejut mendengarnya."Entah. Nanti tanya bapakmu kalau sudah pulang.Aku melihat lewat jendela rumah, satu per satu tamu sudah pulang dari rumah Bu RT. Termasuk rombongan yang berpakaian serba hitam itu. Hari pun sudah semakin gelap, beberapa menit lagi azan maghrib akan berkumandang, pantaslah mereka pulang. "Itu ada rombongan yang pakai baju serba hitam, Murni kira mereka habis melayat," tanyaku pada Ibu Mertua."Ya, ada yang meninggal di RT sebelah. Sepertinya tadi setelah melay
"Ini sudah saatnya kita menyambut niat Pak RT. Dia sudah menunjukkan itikad baiknya untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga kita, dengan cara menutup warung Ayu yang selama ini menjadi akar permasalahan mereka denganmu. Permasalahan dengan Bapak sendiri, sudah Bapak anggap selesai, kamu kan tahu Bapak bukan orang yang suka menyimpan dendam. Sekarang, giliranmu yang selesaikan masalah kalian. Jenguklah Bu RT, ngobrol dengannya, tanya apa yang membuat dia selama ini begitu jahat terhadapmu. Tak apalah kamu yang lebih dulu datang menunjukkan itikad baik, tak perlu menunggu Bu RT yang datang kepadamu." Bapak melanjutkan ketika dia melihatku hanya diam dan berpikir."Baik, Pak. Besok akan kuajak Ibu dan Mila juga," jawabku.Semua bahan dagangan sudah matang, tinggal memindahkan ke warung untuk dijual. Bapak melarangku bekerja hari ini dan menyuruhku untuk istirahat saja. Semua tugas di warung akan digantikan Mila dan Ibu Mertua, sementara aku libur berjualan dan hanya mengurus Abiyyu sa
"Apa kamu ingat sehari sebelum kamu membuka warung, waktu itu kita sama-sama menghadiri pengajian di rumah Bu Rosmayanti pemilik toko emas di pasar itu?" tanya Bu RT, dengan suara yang masih saja lemah.Ingatanku pun kembali ke hari itu, kira-kira dua tahun yang lalu. Memang benar, pada saat itu Bu Rosmayanti rutin menggelar pengajian tiap hari Jumat sore di rumahnya. Pada saat itu pula hubunganku dengan Bu RT masih baik-baik saja, bahkan kami sering berangkat bareng ke pengajian. Aku belum membuka usaha warung waktu itu."Iya, Bu," jawabku."Apa kita tak saling bertegur sapa waktu itu?" Bu RT kembali bertanya."Masih, kita masih bertegur sapa.""Lalu, sejak kapan kita tak bertegur sapa?""Sejak saya buka warung."Kami saling terdiam begitu aku menjawab pertanyaan itu. Pandang Bu RT beralih ke langit-langit kamar, seakan jauh menerawang ke masa lalu. Ekspresi wajahnya masih saja datar, aku tak bisa membaca apa yang saat ini tengah dia rasakan. Namun, dari helaan napas yang sempat terd
Setelah tiga bulan semenjak kepergian Bu RT, kehidupan di kampung ini terasa hampa. Kami masih merasa kehilangan sosok Ibu Kampung yang sudah bertahun-tahun menjabat itu. Di luar semua catatan hitamnya selama menjabat dan sebagai warga biasa, banyak jasa-jasa yang telah dia sumbangkan bagi kampung ini.Sayang sekali, hanya sedikit yang mengingat kebaikannya. Sementara sebagian besar warga lebih banyak mengingat emua hal buruk yang telah Bu RT lakukan. Kondisi keluarga Bu RT pun cukup memprihatinkan. Anaknya—Zaki—kembali masuk bui karena kasus narkoba, adiknya—Ayu—jadi buronan polisi karena Pak RT melaporkannya atas kasus pencurian uang milik keluarga besar. Ya, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, bahwa Ayu membawa kabur uang keluarga.Sementara Pak RT, kini hidup sebatang kara. Dia tinggal sendiri di rumah besarnya yang mulai kumuh karena tak terawat. Kondisi Pak RT pun cukup memprihatinkan, badannya kurus kering dan terlihat sangat kesepian. Bapak mertuaku rutin mengunjungi P
“Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria
Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha
"Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur
"Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib
"Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan
Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M