"Ini sudah saatnya kita menyambut niat Pak RT. Dia sudah menunjukkan itikad baiknya untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga kita, dengan cara menutup warung Ayu yang selama ini menjadi akar permasalahan mereka denganmu. Permasalahan dengan Bapak sendiri, sudah Bapak anggap selesai, kamu kan tahu Bapak bukan orang yang suka menyimpan dendam. Sekarang, giliranmu yang selesaikan masalah kalian. Jenguklah Bu RT, ngobrol dengannya, tanya apa yang membuat dia selama ini begitu jahat terhadapmu. Tak apalah kamu yang lebih dulu datang menunjukkan itikad baik, tak perlu menunggu Bu RT yang datang kepadamu." Bapak melanjutkan ketika dia melihatku hanya diam dan berpikir."Baik, Pak. Besok akan kuajak Ibu dan Mila juga," jawabku.Semua bahan dagangan sudah matang, tinggal memindahkan ke warung untuk dijual. Bapak melarangku bekerja hari ini dan menyuruhku untuk istirahat saja. Semua tugas di warung akan digantikan Mila dan Ibu Mertua, sementara aku libur berjualan dan hanya mengurus Abiyyu sa
"Apa kamu ingat sehari sebelum kamu membuka warung, waktu itu kita sama-sama menghadiri pengajian di rumah Bu Rosmayanti pemilik toko emas di pasar itu?" tanya Bu RT, dengan suara yang masih saja lemah.Ingatanku pun kembali ke hari itu, kira-kira dua tahun yang lalu. Memang benar, pada saat itu Bu Rosmayanti rutin menggelar pengajian tiap hari Jumat sore di rumahnya. Pada saat itu pula hubunganku dengan Bu RT masih baik-baik saja, bahkan kami sering berangkat bareng ke pengajian. Aku belum membuka usaha warung waktu itu."Iya, Bu," jawabku."Apa kita tak saling bertegur sapa waktu itu?" Bu RT kembali bertanya."Masih, kita masih bertegur sapa.""Lalu, sejak kapan kita tak bertegur sapa?""Sejak saya buka warung."Kami saling terdiam begitu aku menjawab pertanyaan itu. Pandang Bu RT beralih ke langit-langit kamar, seakan jauh menerawang ke masa lalu. Ekspresi wajahnya masih saja datar, aku tak bisa membaca apa yang saat ini tengah dia rasakan. Namun, dari helaan napas yang sempat terd
Setelah tiga bulan semenjak kepergian Bu RT, kehidupan di kampung ini terasa hampa. Kami masih merasa kehilangan sosok Ibu Kampung yang sudah bertahun-tahun menjabat itu. Di luar semua catatan hitamnya selama menjabat dan sebagai warga biasa, banyak jasa-jasa yang telah dia sumbangkan bagi kampung ini.Sayang sekali, hanya sedikit yang mengingat kebaikannya. Sementara sebagian besar warga lebih banyak mengingat emua hal buruk yang telah Bu RT lakukan. Kondisi keluarga Bu RT pun cukup memprihatinkan. Anaknya—Zaki—kembali masuk bui karena kasus narkoba, adiknya—Ayu—jadi buronan polisi karena Pak RT melaporkannya atas kasus pencurian uang milik keluarga besar. Ya, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, bahwa Ayu membawa kabur uang keluarga.Sementara Pak RT, kini hidup sebatang kara. Dia tinggal sendiri di rumah besarnya yang mulai kumuh karena tak terawat. Kondisi Pak RT pun cukup memprihatinkan, badannya kurus kering dan terlihat sangat kesepian. Bapak mertuaku rutin mengunjungi P
"Oh iya, Mbak Murni. Saya belum memperkenalkan diri," lanjut Pak Hendar.Kami duduk berhadapan, aku di dalam warung sedangankan Pak Hendar di depan warung. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang pebisnis di desanya."Usaha saya di bidang kerajinan tangan. Belum maju, karena masih merintis. Tapi sejauh ini saya bisa menjangkau pasar mancanegara. Setiap ada wisatawan asing, ada saja yang pesan boboko, ayakan, aseupan, dan lainnya perabot rumah tangga terbuat dari anyaman bambu," jelas Pak Hendar.Aku tertarik mendengar ceritanya. Pak Hendar rupanya seorang pengusaha juga. "Jadi, Bapak membuat perabotan dari anyaman bambu? Bagus, Pak. Zaman sekarang, perabotan tradisional seperti itu sudah jarang dipakai orang bahkan oleh warga kampung sendiri. Tapi, Bapak malah berhasil menjualnya ke turis asing," responku."Sebenarnya saya membuat kerajinan sesuai pesanan saja. Jadi, tidak khusus membuat kerajinan perabot dari anyaman bambu saja. Hanya, sejauh ini permintaan yang datang cuma itu.
"Lusa, Mas. Tanggal 9.""Berarti hari Minggu? Kalau begitu, kebetulan sekali Mila libur mengajar. Dia bisa menjaga warung dan Abiyyu biar dia sama Mas saja. Mas juga santai hari Minggu, karena libur produksi dan waktunya jaga warung oleh-oleh saja," usul Mas Dasep. "Jadi, kamu bisa berangkat ke penyuluhan. Pompakan saja ASI untuk bekal Abiyyu.""Baik, Mas. Kalau begitu, Mas langsung telepon Pak Hendar. Beri jawabannya."Mas Dasep langsung mengeluarkan ponselnya fan segera menghubungi Pak Hendar. Suamiku itu mengabarkan kebersediaanku menjadi pembicara di acara penyuluhan lusa. Selain itu, Mas Dasep juga negosiasi jadwal kegiatan karena harus menyesuaikan dengan kesibukanku di rumah. Mas Dasep meminta hari Minggu untuk setiap kegiatan Pak Hendar yang perlu melibatkanku."Baik, Mas Dasep. Kebetulan memang saya acaranya setiap hari Minggu. Karena hari Senin-Sabtu saya harus mengerjakan pesanan," jawab Pak Hendar dari telepon. Mas Dasep mengeraskan speaker handphone nya, jadi aku pun dapa
Mbak Rosita dan Mbak Widi pun menyalami kami. Lalu kami mulai berangkat."Hati-hati," kata Mas Dasep setengah berteriak mengiringi kepergian kami. *Mobil berhenti di sebuah desa dekat pantai. Bau khas air laut, angin segar, dan juga suara deburan ombak langsung terdengar begitu mesin mobil dimatikan dan pintu mobil dibuka.Pak Hendar membukakan pintu mobil untukku, dan kami langsung menuju kediamannya yang cukup sederhana. Rumah kecil namun asri, di pinggir rumahnya teronggok bahan-bahan dan alat kerjainan tangan yang tak kutahu namanya."Mari, kita menunggu di sebelah sini." Pak Hendar mengajak ke teras rumahnya.Aku dan Ibu Rosita duduk lesehan di lantai teras yang sudah dialasi karpet. Sementara Mbak Widi sibuk menggelar karpet di atas tanah untuk nanti para ibu-ibu duduk menyimak penyuluhan. Dan Pak Hendar sibuk membawakan kami makanan dari dalam rumahnya, aneka kue kering dalam toples dan air mineral disajikannya untuk kami."Sudah jam sepuluh, tapi belum ada yang datang. Maklu
"Soalnya di wilayah sini dilarang, kecuali kalau polisinya langsung yang menyebar," jawab Mbak Widi begitu lantang."Benarkah begitu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Hendar, karena dia yang orang sini, jadi dia pasti tahu peraturannya.Pak Hendar tampak mengingat beberapa saat. "Setahu saya, memang begitu, tapi kalau tidak salah peraturannya sudah diubah sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu marak buronan yang bersembunyi di kampung ini, jadi ada perubahan peraturan, siapapun boleh menyebar info DPO untuk membantu kepolisian," jawabnya."Itu kan dua tahun yang lalu, Pak. Sekarang sudah lewat. Kampung ini sudah bersih, tak mungkin ada DPO," timpal Mbak Widi sengan segera, sesaat setelah Pak Hendar menjawab pertanyaanku.Ada yang aneh dengan sikap Mbak Widi. Dia seperti tak suka aku menyebar DPO ini. Apa jangan-jangan dialah Ayu, bersembunyi di balik cadar dan baju panjangnya? Dari perawakannya tak beda jauh, tinggi badannya pun kutaksir sama dengan Ayu. Apalagi, Pak Hendar bilang bahwa Mb
"Tunggu dulu, Mur!" cegah Mas Dasep saat aku berbalik badan hendak memanggil Pak Hendar ke depan warung."Kenapa, Mas?""Pak Hendar sudah lihat selebarannya, kan?" tanyanya."Sudah.""Kalau begitu, Mbak Widi bukan Ayu. Karena Pak Hendar sudah pernah melihat wajah asli Mbak Widi sebelum bercadar, maka jika memang Mbak Widi itu Ayu, Pak Hendar pasti akan langsung mengenali wajah dalam selebaran itu. Mana mungkin dia akan diam saja," lanjut Mas Dasep."Bisa saja Pak Hendar gak ngeuh, Mas. Lebih baik kita tanya saja untuk memastikan. Soalnya aku sangat curiga pada Mbak Widi."Aku menarik tangan Mas Dasep agar dia mengikutiku, kebetulan Abiyyu sedang tidur.Ketika sampai di depan warung, Pak Hendar baru saja selesai menyantap bakso yamin dan minum. Mila membersihkan meja dan membawa mangkuk kotor beserta gelasnya.Aku dan Mas Dasep duduk berhadapan dengan Pak Hendar. "Gimana Pak, rasanya bakso buatan saya?""Enak, Mbak. Meski komposisinya lebih banyak tepungnya ketimbang daginya, tapi teks