*Happy Reading*Bugh!"Aduh!"Arkana langsung mengaduh saat tiba-tiba saja tangan Arletta memukul lengannya. Memang tidak kuat, tapi lumayan pedes dan panas di kulit. Apalagi, saat ini pria itu hanya memakai kaos oblong tanpa lengan. Nah, bisa bayangkan sendiri kan gimana rasanya kulit ketemu kulit dalam bentuk gaplokan?"Kamu bisa gak serius dikit, Mas? Ini bukan waktunya becanda, loh?" Arletta mengingatkan. Terlihat kesal dengan ucapan Arkana sebelumnya."Lah, yang becanda siapa, Ayang? Mas juga lagi serius ini. Serius banget malah." Arkana membantah."Terus kenapa bawa-bawa sugar baby sama langsung jadi istri? Hubungannya apa?" Arletta masih tak habis pikir. "Ya jelas ada hubungannya, Ayang. Kan itu biar Mas ada alasan bisa ngasih kamu duit dan nanggung hidup kamu. Soalnya, Mas tahu banget. Status pacar aja gak akan bisa membuat kamu menerima uang Mas begitu aja. Pasti ada aja alasan yang akan kamu kemukakan. Ya, bukan pengemislah. Ya, bukan cewek matre. Ya, gak biasa make duit pa
*Happy reading*"Lo bisa gak, Kan? Kalau bucin gak usah sekalian sama goblok? Nanti ujung-ujungnya lo nyesel sendiri Arkana!" Padahal hari masih pagi. Tetapi, Arkana sudah disuguhkan kultum oleh Bruno. Hanya karena Arkana meminta tolong pria itu untuk mengurus studionya dulu, karena Arkana harus menemani Arletta beberapa waktu ini. Limpahan pekerjaan dan nama Arletta seakan kombinasi yang tepat untuk menghancurkan mood Bruno pagi ini. Setelah sebelumnya memang sudah lumayan hancur karena Arkana seenaknya membawa Arletta ke rumahnya untuk numpang tidur. Memang ada gila-gilanya si kang photo gondrong ini. "Gue bukan goblok Bruno. Gue cuma mencoba melakukan hal yang memang sudah seharusnya di lakukan seorang pacar untuk pasangannya. Dia sangat butuh gue saat ini, Bruno." Arkana mencoba menjelaskan. "Halah kentut! Bilang aja lo emang goblok hingga mau aja dimanfaatin tuh cewek!" tukas Bruno dengan sarkas. Kalau saja Arkana tidak mengenal Bruno baik. Sudah pasti pria itu dengan senan
*Happy Reading*"Heh?! Maksud lo apaan ngomong kek gitu? Mau ngajak ribut lo!" Bruno menyalak seraya hendak mendekati Arletta. Namun, langsung di tahan Arkana. "No, udah, No. Lo kan--""Siapa yang ngajak ribut? Orang gue ngajakin lo pake rok bareng. Pasti lucu. Biar kayak bestie, kita."Gustiiii ... ini lagi satu cewek. Bukannya ngerti malah makin ngajak ribut. Ugh ... untung sayang. Coba kalau, gak? Ya ... gak berani ngapa-ngapain juga. Daripada di gorok pulpen ajaibnya ya kan?"Bangsat lo, ya! Udah gue bilang gue cowok! Gak maen gue kayak gituan!""Yakin? Gue sih enggak." Meski Bruno sudah meradang setengah mampus sama Arletta. Tetapi gadis itu masih saja menyahut santai. Sambil main ponsel pula. Mentang dilindungi Arkana."Lo--""Faktanya!" sela Arletta cepat. "Meski tampilan lo cowok. Lo tuh kek cewek banget. Udah mah tukang ghibah. Hobbynya julid, ngomel, sok tahu dan suka campurin urusan orang. Plus ...." Arletta akhirnya melirik Bruno dan menatapnya meski masih dengan tatapan s
*Happy Reading*Umumnya, orang kalau melihat pasangannya berduaan, bahkan dipeluk mesra oleh yang lain. Pasti akan marah. Tidak hanya wanita, pria pun akan sama. Tetapi biasanya wanita lebih banyak dramanya. Ya itu mengamuk, menyerang, melabrak, menjambak, pokoknya intinya ngajak ribut aja. Ada pun yang kalem, paling menangis merasa paling tersakiti sedunia.Ya ... namanya juga wanita. Sukanya nonton drama, hidupnya pun jadi suka berdrama. Sudah biasa begitu, ya kan? Women must be lebay. Memang, gak semua wanita begitu, tapi rata-rata ya ... memang begitu. Udahlah akuin aja. Ya kan reader wanitaku?Akan tetapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Arletta. Melihat Arkana berpelukan erat dengan wanita lain. Ralat, dipeluk erat wanita lain. Bukannya marah atau berdrama seperti wanita pada umumnya. Gadis itu hanya mendengkus panjang dan menatap Arkana dengan alis terangkat satu. Seakan bertanya 'opo meneh iki, Mas?'. Arkana yang melihat itu tentu saja makin panik di tempatnya. Pria it
*Happy Reading*Sebenarnya Arletta tak setuju dengan penawaran Bruno. Gadis itu masih menginginkan Arkana menyelesaikan apa pun sangkutan pada gadis yang bernama Rachel tadi. Tetapi, karena Arkana memaksa bahkan sampai menghiba meminta pengertiannya kali ini. Arletta pun terpaksa meluluskan ajakan Arkana untuk pergi dari sana saat Bruno masih menahan Rachel dan mencoba memberi pengertian pada gadis itu.Sayangnya, ternyata Bruno tak bisa menahan Rachel lama. Baru saja keluar pintu rumah dan menuju mobilnya. Gadis itu sudah menghampiri lagi dengan terburu. Hebat juga dia, ya? Padahal saat ini dia memakai heels yang lumayan tinggi. Tetapi, mampu mengejar langkah panjang Arkana dengan cepat. Itu ... kakinya apa gak keselimpet, ya?"Mas, kamu mau ke mana? Kenapa ninggalin aku kayak gitu? Urusan kita belum selesai, Mas!" Rachel menarik tangan Arkana.Pria gondrong yang hari ini memakai kaos polo putih dipadu jeans panjang warna belel itu terlihat mendesah berat. Memutar mata jengah sambil
*Happy Reading*Mendengar kenyataan tentang Milla. Arletta tentu saja mulai terpancing. Tangan gadis itu bahkan sudah mengepal tanpa sadar. Hampir saja menyerang Rachel kalau saja tidak dihalangi Arkana. Pria itu seakan tahu apa yang Arletta rasakan. Makanya saat melihat pergerakan Arletta, Arkana pun bergegas menggeser tubuhnya menghalangi Arletta dan memberi peringatan lainnya pada Rachel. "Ingat ini baik-baik, Rachel. Kalau lo masih sayang hidup dan karir lo. Jangan coba ngusik hidup gue lagi. Terutama perkara asmara. Selain itu, jangan juga lo ngerasa paling penting dalam hidup gue. Karena dari awal bagi gue elo tuh hanya sekedar teman tidur doang. Gak lebih!" tegas Arkana sekali lagi. Sebelum menarik tangan Arletta dan membawanya menjauh ke arah mobil. Beruntung kali ini Arletta tidak menolak. Arkana lalu menggiring gadis itu ke kursi penumpang di samping kemudi. Membuka kan pintu dan membantu Arletta masuk dengan sigap dan lembut. Setelah itu berputar ke arah kursi kemudi den
*Happy Reading*Malam harinya mereka benar-benar pulang kembali ke rumah Bruno. Arkana yang memaksa, soalnya katanya barang-barang pentingnya masih di sana. Arletta terpaksa menurut. Emang mau gimana lagi? Saat ini Arletta sendiri tak punya naungan lain, kan? Jangankan naungan, uang pun sudah mulai menipis di dompet. Jadi selain ikut kata Arkana yang bisa membantunya meringankan pengeluaran dompet. Arletta tak punya opsi lainnya. Hebatnya, Bruno benar-benar tetap menerima mereka, loh. Acuh dan tidak langsung mengusir saat melihat kedatangan mereka. Meski ... ya ... wajahnya lebih keruh dari hari biasanya. Wajar! Memang apa yang diharapkan paksa kejadian tadi siang? Tidak mungkinkan, setelah hubungannya diporak-porandakan Arkana, mereka akan di sambut senyum sumringah dan untaian puisi cinta? Justru itu malah serem. Ya kan? "Tidur duluan, gih. Jangan lupa baca doa biar gak mimpi buruk," titah Arkana seraya tersenyum konyol dan sedikit mendorong tubuh Arletta agar segera naik tangga
*Happy Reading*"Selingkuhlah! Ngapain lagi? Lo kira, lo doang yang bisa ngembat punya temen?" Bruno tersenyum licik. Mendengar hal itu. Arkana yang tadi sebenarnya masih ngantuk, langsung mendapatkan kesadarannya 100%. Pria itu terdiam dengan mata membulat ke arah Bruno, lalu bergantian dengan Arletta. "Sayang ... ini ... serius?" tanyanya terbata.Yang ditanya malah mendengkus kasar dan memutar mata malas ke atas. "Menurut ngana?"Sikap Arletta sukses mematahkan kecurigaan Arkana. Karena ... ya, mana ada orang ketahuan selingkuh sikapnya santai begitu? Yang namanya orang salah kan pasti gusar atau pun panik. Tetapi ini ...?"Uhm ... Mas gak percaya, sih," ucap Arkana akhirnya, seraya menghampiri Arletta. "Lagian juga, mana mau kamu sama modelan Bruno gitu. Kan, tipe kamu kayak Mas ini, iya kan?" Arkana lalu melingkarkan tangannya di pinggang Arletta dengan mesra, sebelum mendekatkan bibirnya pada pipi sang gadis.Sayangnya, Arletta langsung menjauhkan wajahnya dari jangkauan Arkan
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat