"Siapa yang asal bicara?! Bukankah semuanya sudah jelas?""Semua orang juga sudah mengatakannya, kenapa aku nggak bisa bilang? Lagi pula, ini akibat perbuatanmu sendiri.""Kalau ibumu masih di sini, aku memang nggak bisa asal bicara tentang hal ini. Tapi, siapa suruh dia mati secepat itu?""Sekarang, ibuku yang akan mencarikan orang yang bersedia untuk menikahimu. Kamu nggak punya ibu, jadi kamu mungkin nggak mengerti. Menyedihkan sekali."Ririn merasa sangat bangga karena Dian tidak akan pernah menang darinya dalam hal ini.Tak disangka, ekspresi Dian tiba-tiba berubah. Air mata mengalir dari sudut matanya. Biasanya, dia adalah orang yang tidak memiliki perubahan perasaan yang terlalu besar. Begitu dia menangis, matanya langsung memerah, membuatnya benar-benar terlihat menyedihkan.Saat Ririn sedang mengernyit sambil memikirkan apa yang sedang Dian lakukan, terdengar suara seorang pria dari lantai atas."Ririn, ini sikapmu berbicara dengan Dian?"Ririn seketika merinding. Saat dia men
Lesti sudah berada di sisi Fabian untuk sangat lama, jadi dia sudah mengetahui sifat pria ini dengan sangat jelas. Begitu Lesti menangis, pria ini pun mulai merasa ragu.Namun, sebelum Fabian bisa bersuara, Dian menatap ayahnya dengan matanya yang berkaca-kaca sambil membujuk ayahnya."Ayah, aku tahu Ririn masih kecil dan dia hanya asal bicara. Tapi, aku yakin kalau bukan karena ajaran orang tua, dia nggak akan mengucapkan kata-kata seperti ini.""Aku juga tahu, seiring dengan berjalannya waktu, sekarang, kalian barulah keluarga yang sesungguhnya. Tapi, ibuku juga pernah tinggal di sini. Atas dasar apa aku harus dihina anak yang nggak beribu oleh orang lain seperti ini? Ayah ...."Dian berpura-pura menangis dengan makin sedih, hingga akhirnya dia benar-benar menangis.Dian merasa bahwa jiwa dan tubuhnya terbagi menjadi dua bagian. Jiwanya sedang menyaksikan pertunjukan ini di luar tubuhnya dengan perasaan aneh dan sinis.Namun, dia tidak bisa tidak bersandiwara seperti ini di hadapan a
"Ternyata dia bersandiwara untuk Ayah. Hebat sekali, ya.""Setelah hidup di luar selama setahun, dia makin pandai pura-pura. Entah pria mana yang mau dia goda dengan trik seperti ini," kata Ririn.Lesti memijat wajahnya dengan alat pijat batu giok sambil berkata, "Untuk apa kamu peduli siapa yang mau dia goda? Intinya, tenang saja, Ibu akan mencarikan orang yang baik untuknya."Ibu dan anak ini saling bertatapan, lalu sama-sama tertawa. "Ibuku yang baik, Ibu harus mengaturkan hal ini dengan baik, ya, jangan sampai ketahuan sama Ayah," kata Ririn."Tentu saja. Bagaimanapun, aku adalah seorang ibu tiri yang sangat baik hati. Mana mungkin aku akan melakukan sesuatu yang dikritik orang lain?" kata Lesti.Ririn pun berkata, "Karena Ibu beraksi, aku merasa tenang."Pada saat ini, Fabian berkata, "Sudahlah, orangnya juga sudah pergi, kenapa kamu masih berdiri diam di sana?"Fabian duduk di sofa sambil menepuk-nepuk lututnya, lalu menyuruh putrinya untuk duduk di sisinya.Namun, Dian tidak ber
Dian mengernyit dan berkata, "Aku nggak mau menikahi pria yang mencurigai kesucianku hanya karena berita seperti ini.""Lagi pula, sekarang sudah abad ke-21. Semua orang juga setidaknya sudah punya pengalaman. Hanya pria-pria kolot yang baru akan memperhitungkan hal-hal seperti ini! Ayah, jangan-jangan Ayah juga termasuk pria kolot, ya?"Fabian pun berkata, "Apa katamu?""Memangnya punya mantan pacar sama dengan dinodai oleh seorang gelandangan?""Biar kuperingatkan kamu, cepat urus masalah ini. Kalau nggak, nggak usah jadi wartawan lagi!"Dian seketika berseru, "Ayah!"Namun, Fabian melambaikan tangannya sebagai tanda bahwa dia sudah mengambil keputusan.Dia merasa bahwa dia terlalu menuruti kemauan putrinya ini. Siapa sangka, Dian malah tidak memedulikan nama baiknya sendiri.Dian bisa memiliki kebebasan, tetapi dia tetap harus memedulikan masa depannya sendiri.Fabian melihat putrinya yang tingginya sudah mencapai dagunya. Dia benar-benar mengkhawatirkan masa depan gadis ini.Sekara
Dian langsung mengambil tasnya dan meninggalkan rumah ini. Sejak dia tumbuh dewasa, dia selalu membawa tasnya ke sana kemari, seakan-akan dia hanyalah seorang tamu.Fabian masih ingin mengucapkan banyak hal. Namun, melihat Dian yang pergi dengan begitu tegas, dia tidak bisa mengucapkan apa pun.Dia ingin mengatakan bahwa dia memahami sifat putrinya. Jika benar-benar terjadi masalah, putrinya tidak mungkin bisa berdiri di hadapannya dengan setenang ini.Dia ingin mengatakan bahwa dia tidak menanyakan apa pun karena dia sudah mengerti.Tadi, saat dia muncul di lantai dua, dia sudah mengamati putrinya dengan saksama.Jika putrinya bisa berdiri dengan baik di tempat ini, artinya putrinya baik-baik saja. Namun, bagi Dian, hal-hal ini tampak seperti ketidakpedulian ayahnya.Fabian membuang napas. Tanpa disadari, dia menyentuh cincin giok di jari manisnya.Cincin ini adalah peninggalan Nadin Cheris, ibunya Dian.Selama bertahun-tahun, Fabian hanya pernah memakai cincin ini di jari tangannya.
"Aku harus berterima kasih pada kamu dan temanmu. Kalau bukan berkat kalian, entah di mana aku sekarang berada ..." kata Nando sambil menggosok tangannya dengan malu.Dari dulu, jika ada orang yang bersedia untuk membantunya, dia mungkin sudah lama meninggalkan tempat itu.Dian tersenyum sambil berkata, "Masih bisa ke mana, paling-paling masih di sana."Nando menggaruk belakang kepalanya dan berkata, "Hehe, ucapanmu benar, tapi aku tetap harus berterima kasih pada kalian."Dian menganggukkan kepalanya dan berkata, "Aku juga harus berterima kasih atas kepercayaanmu. Sudahlah, aku datang untuk melihatmu. Karena kamu bisa menyesuaikan diri secepat ini, aku pergi dulu, deh, aku masih punya banyak pekerjaan."Nando mengikuti langkah Dian, lalu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu, menyelidiki tentang masalah itu sangat susah. Tapi, aku mau bilang, sekarang aku juga sudah hidup dengan baik .... Kamu nggak usah terburu-buru, selesaikan saja sesuai lajumu."Dian memahami maksu
"Kak Julio, aku sudah memanggilmu berkali-kali. Ada apa denganmu?"Julio menggaruk kepalanya dengan canggung dan membalikkan beberapa halaman dokumen di tangannya, lalu bertanya, "Hah? Kamu memanggilku, ya? Mungkin karena semalam aku nggak tidur nyenyak, jadi aku nggak fokus ...."Sikapnya membuat orang makin merasa aneh. "Kak Julio, aku sudah merevisi teksnya, coba kamu lihat."Julio menerimanya dengan perasaan bersalah, dia tetap tidak berani membalas tatapan Dian."Oh ... kalau begitu aku cek dulu. Kamu pulang saja," kata Julio.Di bawah tatapan semua orang, dia duduk kembali secara perlahan di tempat duduknya.Sesaat kemudian, dia ingin melirik sekilas ke arah Dian. Namun, Dian terus menatap dirinya dan bahkan tersenyum dengan penuh arti. Julio pun langsung menundukkan kepalanya."Huh." Dian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Mental Julio ternyata jauh lebih lemah daripada yang Dian bayangkan. Awalnya, Dian masih ingin memainkan trik untuk membodohi Julio. Sekarang, sepertin
Terlebih lagi, dari isi percakapan antara Bos dengan Dian beberapa kali sebelumnya, Dian sangat meragukan penilaian rekan kerjanya ini.Dian sama sekali tidak memiliki ekspektasi apa pun. Hanya saja, rekan kerja lainnya tampak sangat bersemangat, mereka berkumpul bersama sambil mengobrol, mereka bahkan tidak membaca dokumen di tangan mereka lagi.Sedangkan Julio merasa sangat bangga. Dia berpikir, 'Bos jelas-jelas akan mengkritik Dian di rapat itu. Mungkin saja anak baru yang menyebalkan ini akan langsung diusir!'Sambil memikirkan bahwa tidak ada lagi orang yang bisa melawan dirinya di departemen ini, Julio merasa sangat senang.Dia membawa setumpuk dokumen dan berjalan melewati tempatnya Dian. Dia sengaja mencondongkan badannya dan mendecakkan lidahnya. Sedangkan Dian sama sekali tidak mengangkat kepalanya. Pria ini sangat menyebalkan, jadi Dian tidak ingin menghiraukannya.Dalam hatinya, Julio tertawa dengan sinis sambil berpikir, 'Bisa-bisanya dia masih sok hebat.' Hanya saja, begi