"Fabian, Fabian, sudah baca berita ini, belum?" tanya Lesti.Fabian yang sedang membaca sebuah dokumen dengan santai pun bertanya, "Ada apa?! Kenapa kamu begitu buru-buru?""Sudah berapa kali kubilang, kamu harus bersikap baik. Sekarang, kamu sudah menjadi nyonya di Keluarga Sandiga, kamu sudah nggak bisa bersikap seperti dulu lagi."Lesti mengelus dadanya sambil berkata, "Begitu aku membaca berita ini, aku langsung datang mencarimu. Aku nggak sempat memedulikan yang lainnya lagi! Cepat lihat!""Apa ini? Kenapa kamu begitu ketakutan ...." Alhasil, begitu Fabian membaca judul berita ini, dia masih merasa kebingungan. Saat dia melihat foto itu, ekspresinya seketika menggelap."Mustahil!" Dia langsung memukul meja kayu di hadapannya, membuat Lesti merinding ketakutan.Lesti bergegas meraih tangan Fabian dan memeriksa telapak tangan pria ini. Telapak tangan Fabian sudah langsung memerah."Kamu bisa marah, tapi untuk apa kamu melakukan sesuatu yang bisa melukai dirimu sendiri seperti ini?"
Lesti terus membujuk Fabian dan berpura-pura bertanya dengan santai, "Pertama-tama, menurutku, kita harus menyuruh Dian untuk pulang. Kita harus memastikan apakah Dian ditindas atau nggak. Kalau dia benar-benar ditindas orang itu, kita harus lapor polisi secepatnya. Benar, 'kan?"Fabian merasa agak serbasalah. "Bagaimana aku harus mengucapkan kata-kata ini?""Aih, sudah kubilang, jangan jadi wartawan lagi. Dia nggak mau memanfaatkan posisi sebagai nona muda di Keluarga Sandiga, tapi malah bersikeras mau bekerja sebagai wartawan dan harus terus bersikap baik pada orang lain ....""Sekarang, dia malah ditindas orang lain."Begitu Fabian memikirkan pergelangan kaki Dian yang dicengkeram oleh pemabuk itu, Fabian merasa seakan-akan hatinya disayat dengan pisau.Fabian pun berkata, "Aku harus memanggilnya pulang dan menanyakan dengan baik apa yang sebenarnya terjadi.""Kalau nggak ada yang terjadi, aku harus mengungkapkan kebenaran ini secepatnya. Kalau nggak, orang lain akan berprasangka te
Namun, sekarang, masalah terbesarnya adalah dia harus menghadapi pertanyaan ayahnya.Pada malam hari, saat Dian pulang dan sedang melepaskan sepatunya, dia melihat Sri menggeleng padanya."Suasana hati Tuan kurang baik," kata Sri.Dian menganggukkan kepalanya. Dia tahu bahwa Sri menyayanginya dan pasti akan membantunya mengamati suasana terlebih dahulu."Aku tahu. Hari ini ada lauk yang aku sukai, nggak?" tanya Dian sambil tersenyum untuk mencairkan suasana ini.Sri pun menjawab, "Kalau kamu pulang, Bibi mana pernah nggak memasakkan masakan kesukaanmu?""Bibi ingin sekali melihatmu pulang tiap hari agar keterampilan Bibi nggak sia-sia."Kedua orang ini berbincang-bincang dengan suara rendah, tetapi percakapan mereka masih saja didengar oleh orang lain."Berani sekali kamu menanyakan lauk hari ini. Kamu nggak malu, ya?"Ririn berdiri di lantai atas dengan tangan tersilang, sikapnya sangat sombong. Tatapannya terhadap Dian juga penuh akan penghinaan, seakan-akan dia sedang melihat sampah
"Siapa yang asal bicara?! Bukankah semuanya sudah jelas?""Semua orang juga sudah mengatakannya, kenapa aku nggak bisa bilang? Lagi pula, ini akibat perbuatanmu sendiri.""Kalau ibumu masih di sini, aku memang nggak bisa asal bicara tentang hal ini. Tapi, siapa suruh dia mati secepat itu?""Sekarang, ibuku yang akan mencarikan orang yang bersedia untuk menikahimu. Kamu nggak punya ibu, jadi kamu mungkin nggak mengerti. Menyedihkan sekali."Ririn merasa sangat bangga karena Dian tidak akan pernah menang darinya dalam hal ini.Tak disangka, ekspresi Dian tiba-tiba berubah. Air mata mengalir dari sudut matanya. Biasanya, dia adalah orang yang tidak memiliki perubahan perasaan yang terlalu besar. Begitu dia menangis, matanya langsung memerah, membuatnya benar-benar terlihat menyedihkan.Saat Ririn sedang mengernyit sambil memikirkan apa yang sedang Dian lakukan, terdengar suara seorang pria dari lantai atas."Ririn, ini sikapmu berbicara dengan Dian?"Ririn seketika merinding. Saat dia men
Lesti sudah berada di sisi Fabian untuk sangat lama, jadi dia sudah mengetahui sifat pria ini dengan sangat jelas. Begitu Lesti menangis, pria ini pun mulai merasa ragu.Namun, sebelum Fabian bisa bersuara, Dian menatap ayahnya dengan matanya yang berkaca-kaca sambil membujuk ayahnya."Ayah, aku tahu Ririn masih kecil dan dia hanya asal bicara. Tapi, aku yakin kalau bukan karena ajaran orang tua, dia nggak akan mengucapkan kata-kata seperti ini.""Aku juga tahu, seiring dengan berjalannya waktu, sekarang, kalian barulah keluarga yang sesungguhnya. Tapi, ibuku juga pernah tinggal di sini. Atas dasar apa aku harus dihina anak yang nggak beribu oleh orang lain seperti ini? Ayah ...."Dian berpura-pura menangis dengan makin sedih, hingga akhirnya dia benar-benar menangis.Dian merasa bahwa jiwa dan tubuhnya terbagi menjadi dua bagian. Jiwanya sedang menyaksikan pertunjukan ini di luar tubuhnya dengan perasaan aneh dan sinis.Namun, dia tidak bisa tidak bersandiwara seperti ini di hadapan a
"Ternyata dia bersandiwara untuk Ayah. Hebat sekali, ya.""Setelah hidup di luar selama setahun, dia makin pandai pura-pura. Entah pria mana yang mau dia goda dengan trik seperti ini," kata Ririn.Lesti memijat wajahnya dengan alat pijat batu giok sambil berkata, "Untuk apa kamu peduli siapa yang mau dia goda? Intinya, tenang saja, Ibu akan mencarikan orang yang baik untuknya."Ibu dan anak ini saling bertatapan, lalu sama-sama tertawa. "Ibuku yang baik, Ibu harus mengaturkan hal ini dengan baik, ya, jangan sampai ketahuan sama Ayah," kata Ririn."Tentu saja. Bagaimanapun, aku adalah seorang ibu tiri yang sangat baik hati. Mana mungkin aku akan melakukan sesuatu yang dikritik orang lain?" kata Lesti.Ririn pun berkata, "Karena Ibu beraksi, aku merasa tenang."Pada saat ini, Fabian berkata, "Sudahlah, orangnya juga sudah pergi, kenapa kamu masih berdiri diam di sana?"Fabian duduk di sofa sambil menepuk-nepuk lututnya, lalu menyuruh putrinya untuk duduk di sisinya.Namun, Dian tidak ber
Dian mengernyit dan berkata, "Aku nggak mau menikahi pria yang mencurigai kesucianku hanya karena berita seperti ini.""Lagi pula, sekarang sudah abad ke-21. Semua orang juga setidaknya sudah punya pengalaman. Hanya pria-pria kolot yang baru akan memperhitungkan hal-hal seperti ini! Ayah, jangan-jangan Ayah juga termasuk pria kolot, ya?"Fabian pun berkata, "Apa katamu?""Memangnya punya mantan pacar sama dengan dinodai oleh seorang gelandangan?""Biar kuperingatkan kamu, cepat urus masalah ini. Kalau nggak, nggak usah jadi wartawan lagi!"Dian seketika berseru, "Ayah!"Namun, Fabian melambaikan tangannya sebagai tanda bahwa dia sudah mengambil keputusan.Dia merasa bahwa dia terlalu menuruti kemauan putrinya ini. Siapa sangka, Dian malah tidak memedulikan nama baiknya sendiri.Dian bisa memiliki kebebasan, tetapi dia tetap harus memedulikan masa depannya sendiri.Fabian melihat putrinya yang tingginya sudah mencapai dagunya. Dia benar-benar mengkhawatirkan masa depan gadis ini.Sekara
Dian langsung mengambil tasnya dan meninggalkan rumah ini. Sejak dia tumbuh dewasa, dia selalu membawa tasnya ke sana kemari, seakan-akan dia hanyalah seorang tamu.Fabian masih ingin mengucapkan banyak hal. Namun, melihat Dian yang pergi dengan begitu tegas, dia tidak bisa mengucapkan apa pun.Dia ingin mengatakan bahwa dia memahami sifat putrinya. Jika benar-benar terjadi masalah, putrinya tidak mungkin bisa berdiri di hadapannya dengan setenang ini.Dia ingin mengatakan bahwa dia tidak menanyakan apa pun karena dia sudah mengerti.Tadi, saat dia muncul di lantai dua, dia sudah mengamati putrinya dengan saksama.Jika putrinya bisa berdiri dengan baik di tempat ini, artinya putrinya baik-baik saja. Namun, bagi Dian, hal-hal ini tampak seperti ketidakpedulian ayahnya.Fabian membuang napas. Tanpa disadari, dia menyentuh cincin giok di jari manisnya.Cincin ini adalah peninggalan Nadin Cheris, ibunya Dian.Selama bertahun-tahun, Fabian hanya pernah memakai cincin ini di jari tangannya.