"Sepanjang tahun, kami yang berkecimpung di industri ini pasti akan bertemu beberapa orang aneh. Aku juga sudah terbiasa. Kalau kamu nggak ingin dirias, tolong pergi dari sini. Aku masih punya tamu lainnya.""Kupikir Nyonya Karina memberikan kesempatan ini kepada kalian juga nggak ingin melihat kesempatan yang dia berikan kepada kalian malah kalian sia-siakan seperti ini."Saat berbicara, seulas senyum tetap tersungging di wajah wanita itu, seakan-akan dia hanya sedang berbicara santai tanpa tanda-tanda sedang kesal, marah, mengancam atau lain sebagainya. Sebaliknya, melihat reaksi wanita itu, Lesti terkejut bukan main. Dia langsung menepuk punggung tangan Ririn dan berkata, "Apa kamu menganggap tempat ini adalah rumahmu? Aku peringatkan kamu, sebaiknya kamu jangan berperilaku terlalu lancang."Selesai berbicara, dia mengalihkan pandangannya ke arah penata rias itu. Sambil tersenyum, dia berkata, "Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah terlalu memanjakan putriku, jadi temperamennya kura
"Ingat baik-baik, ya. Malam ini, kamu harus menunjukkan penampilan terbaikmu di hadapan orang-orang itu. Makin kamu bersikap patuh dan lembut, Dian makin terlihat nggak terkontrol. Saat itu tiba, aku malu lihat siapa yang berani menginginkan wanita itu!"Lesti memasang ekspresi bangga. Ririn ikut menimpali. "Ibu nggak perlu khawatir, bukankah aku selalu menunjukkan sisi penurutku di hadapan orang lain?""Terlebih lagi, menurutku sekarang Ayah lebih memihak pada kita. Jadi, kita nggak perlu terlalu mengkhawatirkan hal-hal kelak.""Walau dia punya kakek dan nenek, dia juga nggak kelihatan dekat dengannya. Mungkin saja hubungan mereka sama sekali nggak baik!""Apalagi ibunya sudah lama mati, nggak seberuntung aku yang memiliki Ibu yang baik.""Selama ada Ibu, Ibu adalah pendukungku selamanya."Lesti menyandarkan kepala putrinya ke bahunya."Sebelum kamu menikah dengan seorang pria yang memiliki status sosial yang setara dengan kita, aku tetap akan senantiasa waspada."Hal yang paling dikh
"Terima kasih banyak, ya. Kalau nggak, aku benar-benar nggak tahu harus pergi ke mana untuk mencari gaun."Kuros menanggapinya dengan santai. "Selama ada aku, apa kamu perlu pergi ke tempat lain lagi untuk mencari gaun?""Sudah kubilang, masalah pakaianmu serahkan saja padaku.""Sudah, sudah, jangan buang-buang waktu di sini lagi. Kalau kalian ingin mengambil foto, cepat lakukan. Kalau nggak, mungkin dia akan telat menghadiri perjamuan malam ini!""Oke ...."Staf-staf lainnya segera mengerumuni Dian, bahkan ada yang segera mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan kecantikan Dian.Sejak Dian dan Kuros saling mengenal, setiap kali Dian muncul di studio ini, mereka pasti akan mengabadikan setiap momen bersinarnya sosok Dian dengan sempurna.Foto-foto itu bukan hanya sekadar foto-foto sebagai bentuk pengabadian momen-momen tertentu, foto-foto itu juga merupakan bahan pembelajaran yang sangat berharga bagi mereka.Dari mana sudut pandang penilaian Kuros? Bagaimana cara Kuros memadukan riasan
"Nona, kita sama saja. Jelas-jelas kamu yang salah, tapi kamu malah menyalahkan orang lain. Sepertinya tata kramamu juga biasa saja."Saat Dian sedang terlibat dalam pertengkaran dengan pria itu di depan pintu kediamannya sendiri, walaupun pelayan-pelayan lainnya tidak mengangkat kepala mereka, tetapi mereka jelas sedang menguping pembicaraan antara Nona Besar Keluarga Sandiga itu dengan pria misterius di hadapannya.Saat itu juga, wajah Dian tampak sedikit kemerahan, sehingga membuatnya makin memesona."Huh! Aku malas bertengkar denganmu, kembali saja sana ke tempat asalmu!"Sambil mengangkat gaunnya, Dian hendak berjalan memasuki kediamannya. Namun, siapa sangka pria itu tetap mengikutinya dari belakang.Saat mereka akan tiba di tempat untuk memperlihatkan undangan, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, lalu memelototi pria itu dengan tajam dan berkata, "Kamu juga nggak perlu mengikutiku seperti ini, 'kan?"Phillip membenarkan posisi bingkai kacamatanya dan berkata, "Maaf, tapi masi
Terkadang, dia merasa dirinya seperti sebuah benda yang dipajang di tengah-tengah aula, membiarkan orang-orang yang berlalu-lalang mengamatinya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.Namun, sekarang, mau tak mau dia harus melakukannya.Keluarga ini mengharuskannya untuk bertindak demikian, dia juga bukannya tidak bisa melakukannya.Sejak kecil, dia dibesarkan di sebuah keluarga terpandang, bagaimana mungkin dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya untuk berinteraksi dengan para tetua itu?Terlebih lagi, sebelum Dian berusia sepuluh tahun, ibunya akan secara pribadi membawanya untuk menghadiri acara-acara seperti ini. Setiap kali menghadiri acara, dia akan bergandengan tangan dengan ibunya dan menyapa para tetua kenalan ibunya.Tujuan ibunya sangat jelas, yaitu mengenalkan Dian kepada semua kenalannya dan meminta bantuan mereka untuk menjaga putrinya."Bibi Resa, lama nggak bertemu! Mengapa Bibi kelihatan makin muda saja?"Orang yang dipanggil Bibi Resa itu berbalik, meraih tangan
"Huh, ternyata kamu. Bukankah kamu paling nggak suka menghadiri acara seperti ini?""Mengapa malam ini kamu malah pulang?"Dengan memasang ekspresi dingin, Dian mengalihkan pandangannya ke arah adik tirinya yang sedikit lebih pendek dibandingkannya itu."Ini adalah rumahku. Aku bisa datang dan pergi sesuka hatiku, kamu nggak berhak atur-atur aku."Ririn juga tertawa dengan acuh tak acuh dan berkata, "Kamu hanya berani berlagak hebat di hadapanku.""Aku beri tahu kamu, sekarang orang yang paling nggak disambut di rumah ini adalah kamu. Kalau aku adalah kamu, sebaiknya kamu tahu diri, jangan mempermalukan diri sendiri di acara seperti ini.""Kamu nggak sadar, ya? Kamu yang berprofesi sebagai wartawan berkeliaran di luar setiap hari, benar-benar mempermalukan Ayah.""Ayah sangat cemas setiap hari, bahkan sampai mengeluh pada ibuku. Ya, apa boleh buat, kamu adalah seseorang yang nggak punya ibu, nggak dididik oleh seorang ibu, tentu saja kamu nggak tahu apa yang boleh kamu lakukan dan apa
Phillip yang berjalan di belakang Fabian juga menyaksikan adegan itu dengan jelas. 'Eh? Benar-benar pertunjukan yang menarik.''Sepertinya kehidupan Nona Besar Keluarga Sandiga ini benar-benar nggak mudah. Setiap hari dia harus berhadapan dengan dua wanita yang jago akting itu. Pantas saja, begitu menginjak usia dewasa, dia langsung pindah keluar dari rumah dan tinggal sendiri di luar.'Awalnya Phillip mengira kenyataan sudah terpampang jelas di depan mata. Namun, Fabian malah memasang ekspresi muram. Dengan langkah cepat, dia menghampiri putrinya dan bertanya dengan nada seperti menyalahkan, "Dian, mengapa kamu menindas adikmu?"Lesti menangis tanpa henti. Dengan langkah gontai, dia menghampiri putrinya dan berlutut di hadapan putrinya. Dia menangkup wajah putrinya dan meraba-raba tubuh putrinya, seakan-akan sedang memeriksa apakah ada bagian lain dari tubuh putrinya yang terluka."Ririn, beri tahu Ibu, apakah ada bagian lain dari tubuhmu yang terasa sakit?"Sambil terisak, Ririn meng
Phillip tidak tersenyum, dia hanya melontarkan beberapa patah kata. "Orang-orang di luar sana selalu mengatakan Pak Fabian adalah orang yang sangat adil. Aku nggak menyangka, kenyataannya memang begitu. Pak Fabian memperlakukan kedua putri Bapak dengan adik tanpa membedakan siapa yang merupakan putri kandung Bapak."Ekspresi Lesti langsung berubah menjadi muram. 'Apa maksud pemuda ini?''Barusan apa kata Fabian? Dia adalah Pak Phillip dari Perusahaan Sanders? Menurut informasi yang beredar di luar sana, walau masih muda, pemuda ini adalah seorang presdir yang sangat unggul. Tapi, mengapa ucapannya sangat pedas?'Tentu saja Fabian juga bisa menyadari makna tersirat dari ucapan Phillip.Dia melirik Dian, lalu melirik Phillip dengan linglung. Secara logika, seharusnya mereka berdua tidak pernah bertemu. Mengapa Phillip kedengarannya seperti sedang menyatakan protes atas ketidakadilan yang dialami oleh Dian?Dian juga mengalihkan pandangannya ke arah Phillip, lalu menundukkan kepalanya. So