Andra menatapnya dalam-dalam, kemudian berkata, "Kamu dan Agam belum mengurus akta pernikahan, upacara pernikahan kalian hanya formalitas untuk meyakinkan Kakek Tomi, bahkan para tetua penting nggak diundang untuk menyaksikan pernikahan tersebut.""Tapi sekarang, bisa dikatakan kamu membantu mereka tanpa nama dan status. Suatu hari, setelah merasa kamu nggak bermanfaat lagi, mereka akan mengusirmu kapan saja. Saat itu, kamu bukan siapa-siapa," sambungnya.Pamela menekan tombol enter terakhir kalinya untuk menyimpan dokumen.Kemudian dia menguap lelah, menatap Andra sambil berkata, "Jadi menurutmu, aku membantu Keluarga Dirgantara untuk mendapat imbalan di masa depan?"Andra menggeleng sambil berkata, "Tentu kamu nggak berpikiran seperti itu, tapi kamu pasti akan sedih menyadari kamu ditendang setelah dimanfaatkan."Pamela tidak setuju dan membantah, "Terserah mau dimanfaatkan, nggak punya nama dan status di Keluarga Dirgantara juga nggak masalah. Bagiku semua itu nggak penting. Sebelum
Pamela tidak menganggap serius ucapan Andra, berpikir dia mungkin hanya asal bicara, jadi dia kembali menundukkan kepala dan melanjutkan pekerjaannya.Siapa sangka, sepulang kerja, Andra benar-benar datang!Lantai bawah Perusahaan Dirgantara.Pamela dan Olivia baru saja keluar dari gedung, saat hendak menaiki mobil yang dikemudikan sopir, bunyi klakson yang datang dari belakang mengganggu mereka.Keduanya menoleh ke arah datangnya suara ....Terlihat mobil Andra berhenti di belakang, dia menurunkan kaca jendela, menjulurkan kepalanya keluar, tersenyum cerah pada kedua wanita itu dengan wajah jahatnya sambil melambai.Olivia tidak senang melihat Andra, dia mengerutkan dahi. "Kak, kenapa dia datang lagi?" tanyanya.Pamela juga mengerutkan alis dan menjawab, "Siapa sangka dia begitu rusuh?"Olivia mendengus kesal, "Ayo, abaikan saja dia, kita naik mobil sendiri."Sambil bicara, Olivia segera menarik Pamela ke dalam mobil dan mendesak sopir, "Cepat jalan! Jangan biarkan mobil bobrok di bel
Untungnya Pamela hanya malas meladeni Andra, bukan karena punya kesan baik padanya ....Agam tidak ada, Olivia khawatir Pamela akan direbut pria lain....Sekolah Harmoni, Kota Marila.Mobil berhenti tak jauh dari pintu gerbang sekolah.Di jam pulang sekolah, banyak orang tua dan wali yang menjemput anaknya, mereka mengantre di depan gerbang.Sekolah paling mewah di Kota Marila ini mempunyai peraturan yang ketat. Untuk menjamin keselamatan anak-anak, hanya satu orang tua yang boleh masuk, agar suasana tidak terlalu ramai dan menimbulkan kekacauan sehingga mengganggu konsentrasi guru.Olivia berinisiatif turun untuk mengantre. "Kak, aku yang jemput mereka, kamu tunggu saja di mobil," pesannya.Pamela mengiakan.Namun, dia tidak menunggu di dalam mobil, melainkan ikut turun dan berdiri di samping mobil, memandangi gerbang sekolah.Seorang pria tua berjualan balon di gerbang sekolah. Pamela pikir anak-anak pasti menyukainya, jadi dia mendekat, menanyakan harga, bermaksud membeli tiga balo
Sophia memandang anak bertopeng Manusia Robot di pelukannya dengan bahagia, "Ya, ini anakku! Aku sudah menikah, kamu pasti belum tahu. Ini anakku dengan suamiku. Namanya Kevin. Kevin, sayang, panggil Bibi Pamela," katanya.Anak bertopeng Manusia Robot itu tidak menuruti ucapan Sophia untuk menyapa Pamela, dia fokus pada balon di tangan pria tua itu ....Pamela mengerutkan kening, memandang Sophia dengan kritis. "Kamu sudah menikah? Dengan siapa?" tanyanya.Sophia tersenyum lebar sambil menjawab, "Kamu nggak mengenalnya. Dia orang biasa, tumbuh besar di luar negeri, sejak kami menikah, dia belum pernah pulang. Pamela, seharusnya kamu nggak pernah bertemu dengannya.""Oh, ya?" Pamela menyipitkan mata, ekspresinya tenang, tapi berpikir dalam-dalam.Sophia tertawa melihat ekspresi Pamela. "Pamela, kamu nggak mengira suamiku Agam, 'kan?" tanyanya.Mendengar Sophia menyebut nama Agam, hati Pamela menegang, matanya menatap Sophia dengan rasa ingin tahu.Tidak ada kejanggalan di wajah Sophia,
Pamela mengabaikan penyelidikan Sophia, matanya kembali terfokus pada anak dalam pelukan Sophia. Karena anak itu memakai topeng, dia tidak bisa melihat wajahnya."Berapa umur anakmu?" tanya Pamela.Sophia menjawab, "Tahun ini Kevin berusia dua tahun."Dua tahun ....Mata Pamela tidak pernah lepas dari wajah kecil anak bertopeng Manusia Robot itu.Meskipun topeng menutupi seluruh wajahnya, bagian mata tetap terlihat, mata yang hitam dan berbinar ....Setelah menyadari dirinya sedang ditatap, anak itu membalas tatapan Pamela sambil memiringkan kepalanya, seolah sedang memikirkan sesuatu, terlihat sangat lucu.Melihat Pamela dan Kevin saling memandang, kewaspadaan yang tak terlihat melintas di wajah Sophia.Dia sengaja mengulurkan tangan untuk menutup jarak antar keduanya sambil berkata, "Kevin, mau balon yang mana? Cepat pilih, Ayah masih menunggu kita di hotel! Jangan biarkan Ayah menunggu terlalu lama."Anak itu tersadar, dia mendongak menatap balon-balon itu dan akhirnya memilih balon
Sebagai ibu, sebenarnya dia khawatir si kembar akan diam-diam menangis karena belum terbiasa bersekolah.Saat menjemput beberapa hari yang lalu, si kembar keluar sambil menangis.Untungnya hari ini mereka tidak menangis lagi, keduanya terlihat ceria."Bagus! Ibu belikan kalian balon, pilih satu yang kalian suka," kata Pamela."Asik!""Aku suka gambar kelinci!"Si kembar berlari gembira menuju pria tua penjual balon itu ....Pria tua itu juga dengan baik hati membungkuk, membiarkan mereka memilih.Melihat anak-anak berhasil beradaptasi di sekolah, Pamela merasa lega.Saat ini, dia memperhatikan Revan yang tidak pergi memilih balon, tapi berdiri menunduk sendirian."Kenapa? Kenapa nggak ke sana memilih balon?" tanya Pamela dengan hangat.Revan tercengang, lalu bertanya, "Apa aku juga dapat?"Pamela mengerutkan kening, lalu membalas bertanya, "Kenapa nggak? Apa mungkin Ibu nggak membelikannya untukmu?"Mata Revan berbinar, lalu tersenyum, "Terima kasih, Ibu."Setelah itu, barulah Revan be
Heri mengerutkan bibir dan berkata dengan sedih, "Tapi Bu ... aku menyukai keduanya ...."Anak kecil selalu serakah.Meskipun Pamela biasanya memanjakan anak-anak, dia sangat ketat ketika membahas prinsip, tidak pernah lengah."Kalau suka keduanya, kamu boleh tanya pada Ibu apakah boleh membeli satu lagi, nggak boleh ambil punya Kak Revan. Kak Revan juga suka balon, kalau kamu ambil, Kak Revan nggak punya balon lagi! Kalau kamu jadi Kak Revan, kamu suka nggak adik seperti itu?" kata Pamela."Bu, Heri salah ...." Heri memahami apa yang dikatakan Pamela dan memperbaiki kesalahannya, dia memandang Revan sambil berkata, "Kak, maaf. Kita main sama-sama balonnya, kamu juga boleh memainkan punyaku."Revan merasa lega dan tersenyum bahagia, "Ya! Ayo main bersama!"Emosi anak berubah dengan cepat, mereka berdamai dengan mudah.Si putri bungsu, Vani, mengikuti kedua kakaknya sambil membawa balon kelinci berwarna merah muda pilihannya. Meski paling muda, nyatanya gadis kecil itu lebih dewasa dala
Mendengar suara Sophia, pria itu perlahan menoleh. Wajahnya sangat tampan, tapi tampak ada kemurungan yang mendalam di antara kedua alisnya. Dia menatap Sophia dan tidak berkata apa-apa.Ada jendela yang terbuka di kamar itu, angin bertiup masuk, tirai putih yang tertiup angin berkibar di sekitar pria itu, memberikan keindahan yang tidak wajar pada pria yang duduk di kursi roda sepanjang tahun itu.Sepertinya Sophia sudah terbiasa dengan diamnya pria itu, jadi tidak terlalu memedulikannya. Dia berjalan ke arahnya dan menutup jendela, kemudian berbalik dan bertanya padanya, "Aku lihat makanan di ruang makan belum disentuh, kamu nggak makan siang, apakah sudah minum obat?"Pria itu akhirnya bicara, "Ya, sudah."Sophia melirik botol obat di meja samping tempat tidur, lalu berkata, "Alex, kita kembali untuk membantu Ayah menjual semua perusahaan dan aset lainnya di sini. Kita bisa tenang setelah semuanya selesai, nggak akan ada urusan bisnis lagi di sini."Pria itu memandang kota di luar j