Sophia memutar mata saat menyadari perhatian Agam tidak tertuju padanya, lalu berkata, "Oh, ya, Agam! Kalau bisa, tolong kamu ajak Nona Pamela juga! Kami sudah cekcok saat pertemuan pertama, tapi aku sangat ingin berteman dengannya! Bisa nggak?"Mendengar nama Pamela diungkit lagi, Agam menoleh pada Sophia. "Kenapa kamu begitu ingin berteman dengannya?"Sophia tersenyum ria, "Karena kita ini teman, harusnya aku juga berteman dengan istrimu. Dengan begitu, kita bisa bermain bersama!"Agam memicingkan matanya. "Mungkin hanya kamu yang berpikir begitu."Sophia mengedipkan mata dengan bingung. "Hah? Apa maksudmu? Menurutmu, Pamela nggak sepemikiran denganku?"Agam melirik kain kasa di dahi Sophia yang belum dilepas. "Kalau dia sepemikiran denganmu, dia nggak akan memukulmu kemarin!"Sophia meraba luka di dahinya. "Ini? Aku sudah lupa kalau nggak kamu ungkit! Agam, aku benaran nggak keberatan! Sebenarnya, aku lumayan bisa memahami Pamela. Meski aku berteman denganmu, aku adalah seorang wani
"Sudah, diam di kamar saja kalau nggak mau ke perusahaan. Jangan ganggu aku."Marlon menunjukkan ketergantungann yang hanya akan ditunjukkan di depan Pamela. "Bos, sebenarnya aku ingin minta bantuanmu!"Pamela melirik Marlon dan tahu itu bukan hal baik."Ada masalah apa?"Marlon tersenyum saat menjelaskan, "Bantu aku bujuk Adsila, dia nggak hiraukan aku sekarang dan benaran pacaran dengan pria lain. Aku sedih sekali ...."Pamela sudah menduga itu jawabannya sehingga segera mendorong Marlon ke samping. "Nggak mau. Saat kamu suruh orang belikan produk kontrasepsi untukmu, kenapa kamu nggak peduli dia sedih atau nggak?"Marlon juga menyadari kesalahannya. Marlon menggerutu, "Aku belum sadar aku suka dia saat itu! Selain itu, Bos yang suruh aku cari cara agar Adsila patah pati ...."Pamela memelototi Marlon dengan jengkel. "Kamu menyalahkan aku? Aku suruh kamu menjauh darinya, nggak suruh kamu pakai cara itu!"Marlon melambaikan tangan. "Bukan, itu salahku sendiri! Aku juga sudah menyesal
Adsila tertegun. "Paman nggak di sini? Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini?"Ervin berterus terang, "Tuan Agam memintaku untuk tinggal di sini dan melindungi Nyonya Pamela."Adsila berkata dengan wajah cemberut, "Paman benaran nggak romantis! Bibi nggak butuh perhatian sepihak seperti ini, tapi dampingannya! Ini saja nggak paham! Sudahlah, aku masuk dan tengok Bibi dulu!"Tanpa menghiraukan Ervin, Adsila langsung membawa cokelat yang dibelinya ke kamar Pamela.Ervin menghela napas dengan galau dan mengirim pesan: "Apakah Tuan mau tengok Nyonya malam ini?"Beberapa menit kemudian, Agam membalas: "Dia bilang mau ketemu aku?"Ervin mengirim pesan dengan tidak berdaya: "Nggak, Nyonya nggak bilang apa-apa."Kali ini, Agam membalas lebih cepat, tetapi sangat cuek: "Kamu hanya perlu menjaganya."Ervin mengembuskan napas dan mengirim pesan: "Baik!"Ervin benar-benar merasa cemas untuk Agam ....Baru saja menyimpan ponsel, Ervin melihat Adsila keluar lagi dari kamar Pamela dan memberikan beberap
Marlon mengambil cokelat itu, tetapi tidak makan, hanya memegangnya. "Kamu yang beli atau Albert?"Adsila berterus terang, "Albert belikan untukku."Marlon mengangkat alis. "Cokelat seharga puluhan ribu per kotak pun bisa memenangkan hatimu? Aku pikir setidaknya harus cokelat buatan ahli!"Adsila tidak menyukai sikap Marlon. "Pak Marlon mau makan ya makan, kalau nggak, kembalikan cokelatmu padaku! Nggak semua orang kaya dan bisa berfoya-foya sepertimu, beli sekotak cokelat yang harganya jutaan!"Marlon menatapnya sambil tersenyum. "Kamu juga bisa. Pamanmu bahkan bisa mengundang ahli ke rumah kalian dan membuatkan cokelat secara langsung untukmu. Benar, bukan?"Adsila mengedipkan mata. "Aku memang bisa ... tapi Albert nggak bisa. Keluarganya hanya kalangan pekerja, nggak bisa membuang-buang uang untuk membeli cokelat!"Marlon tersenyum. "Bagaimana bisa membeli cokelat untuk pacar termasuk membuang-buang uang?"Adsila merasa jengkel, lalu membela pacarnya, "Kalau aku mau, Albert tentu ak
Akhir-akhir ini, Adsila sering datang sehingga Ervin mengira itu adalah Adsila. Begitu pintu dibuka, Ervin malah melihat temannya Agam, Sophia.Sophia tidak terkejut saat melihat Ervin karena sudah menduga itu adalah perintah Agam."Ervin, aku datang untuk menengok Pamela. Apa dia di rumah?"Terhadap kedatangan Sophia, Ervin sedikit kaget dan berwaspada. Dia khawatir akan terjadi perselisihan jika kedua wanita itu bertemu. Bagaimanapun, itu sudah pernah terjadi sebelumnya ...."Nyonya ada di rumah. Nona Sophia ada urusan apa?"Sophia berkata dengan tulus, "Aku datang untuk menengoknya, sekaligus undang dia ke pesta ulang tahunku."Ervin tampak dilema. "Ehm ... ini ...."Sophia tertawa karena tahu apa kekhawatiran Ervin. "Jangan khawatir, aku sudah beri tahu Agam aku akan mengundang Pamela. Dia nggak keberatan."Ervin berujar, "Ternyata begitu! Tunggu sebentar di ruang tamu, aku panggilkan Nyonya. Tapi, Nyonya kemungkinan sedang istirahat."Sophia menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, k
"Nona Sophia nggak seperti mengundang secara tulus, tapi memaksa! Omonganmu membuatku terkesan nggak berperasaan!"Ucapan Pamela ini membuat Sophia tidak bisa berkata-kata.Oleh karena itu, Sophia memberikan kartu undangan itu pada Ervin, lalu berbicara pada Pamela, "Pamela, aku benaran mau undang kamu. Mungkin caraku yang mendesak membuatmu kesal, aku minta maaf! Kuberikan kartu undangan ini padamu. Teman-teman Agam juga akan datang untuk merayakan ulang tahunku. Aku harap kamu juga bisa datang! Aku pergi dulu, kamu istirahat saja!"Selesai berbicara, Sophia menoleh pada Ervin dan berpesan, "Ervin, bantu Agam jaga Pamela baik-baik, ya!"Ervin mengangguk. "Baik."Sophia tersenyum, lalu pergi membawa tasnya.Ervin tidak mengantar Sophia keluar karena khawatir Pamela akan marah. Ervin juga tidak tahu harus mengapakan kartu undangan di tangannya."Nyonya, sebenarnya Nona Sophia dan Tuan Agam hanya teman biasa, jangan salah paham. Nona Sophia hidup di luar negeri sejak kecil sehingga lebih
Marlon tersenyum dan berujar, "Sudah! Jangan ribut kalian! Kalau kubilang, kartu undangan ini adalah deklarasi perang pada Bos!"Adsila dan Justin serempak menoleh pada Marlon dengan kaget."Deklarasi perang?""Deklarasi perang?"Marlon tersenyum. "Ya! Bukankah Agam bantu urus pesta ulang tahunnya? Dia mau pamer di depan Bos agar kakak tahu Agam baik padanya dan bersedia mengadakan pesta ulang tahun untuknya!"Adsila dan Justin bertukar mata. Mereka merasa omongan Marlon cukup masuk akal.Tepat saat itu, Ervin yang berdiri di depan pintu datang untuk membela Agam."Jangan kalian salah paham. Sebagai teman, Tuan Agam hanya bantu Nona Sophia menyampaikan kabar dan undang teman-teman baiknya untuk meramaikan acara. Biaya dan lokasi acara diurus oleh Nona Sophia sendiri. Tuan Agam nggak ikut campur sama sekali."Marlon, Adsila, dan Justin menoleh pada Ervin ....Ariel juga mengalihkan tatapan dari layar ponsel ke Ervin.Adsila angkat bicara. "Hmph! Kalau hanya teman, kenapa Paman bantu dia
Adsila tidak lagi membela Agam. "Kak Ervin, nggak usah jelaskan untuk Paman. Penjelasanmu terdengar seperti alasan! Selama beberapa hari ini, nggak tahu apa kesibukan Paman sampai nggak bisa datang dan tengok Bibi. Aku pun nggak mau bela Paman lagi! Hmph!"Ervin terdiam. Tuan Agam ... punya alasan tersendiri!Adsila tidak ingin menghiraukan para pria sehingga beranjak dari kursi dan pergi ke kamar Pamela. Ariel masih berada di dalam kamar dan sedang mengobrol bersama Pamela."Bibi sudah memikirkannya? Mau pergi nggak?"Adsila duduk di depan mereka dan bertanya.Pamela menoleh padanya dengan malas-malasan. "Pergi ke mana?"Adsila mengerutkan bibirnya. "Pesta ulang tahun Sophia!"Pamela menjawab, "Nggak aku pikirkan. Kenapa aku harus pergi ke pesta ulang tahun orang asing?"Adsila pun kesal. "Tapi dia sudah kasih kartu undangan. Kamu benaran nggak mau pergi?"Pamela bersikap cuek. "Memangnya ada aturan hukum bahwa aku harus pergi kalau sudah diberi kartu undangan?"Adsila menoleh pada Ar
Ketakutan masih melanda Phillip ketika dia membayangkan situasi saat itu, Dian meratakan alis pria itu, "Aku tahu kamu pasti akan datang untuk menyelamatkanku, sama seperti sebelumnya.""Aku mencintaimu, Phillip."Sebelumnya Dian sudah menyatakan cintanya, tapi dia mengatakannya dalam keadaan tidak sadar. Sekarang dia sudah sadar, pikirannya jernih, bahkan sambil tersenyum tipis. Ucapannya membuat Phillip tersipu sejenak."Aku juga mencintaimu," balas Phillip.Dian hanya dirawat sebentar di rumah sakit, tak lama kemudian dia kembali ke Kediaman Sanders.Seperti yang mereka katakan, kondisi Dian tidak serius, dirawat di rumah sakit hanya akan memperlambat pemulihannya.Lebih baik dia dirawat di rumah.Phillip tidak pernah menyinggung pekerjaan Dian. Sebaliknya, Dian langsung pergi ke Surat Kabar Sino untuk mengundurkan diri.Kondisinya saat ini tidak sesuai untuk menyelidiki kasus terkait, lagi pula Phillip langsung menyerahkan barang bukti ke kantor polisi, pihak kepolisian yang akan m
"Phillip, aku menyukaimu, aku mencintaimu."Phillip memeluk Dian dengan perasaan sakit yang tiada tara, "Ini salahku, seharusnya aku lebih cepat.""Aku nggak pernah menyalahkanmu. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum. Selama kamu bersedia membiarkanku tetap di sisimu, aku nggak meminta pengakuanmu.""Aku tahu keluargamu menyulitkanmu, aku bisa melihatnya ...."Para pengawal yang ikut menerobos masuk merasa canggung ketika melihat CEO mereka menangis.Namun, yang terpenting saat ini adalah membawa Dian ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik. Setelah lama terikat, aliran darahnya surut, menyebabkan mati rasa yang akan menjadi masalah serius jika tidak bisa pulih.Akhirnya, para pengawal mendorong bos mereka yang sangat pemberani untuk menasihati Phillip. Phillip menundukkan kepala, menyeka air matanya, dia menggendong Dian dengan mudah, tidak membiarkan orang lain turun tangan. Gerakannya sangat lembut, seolah-olah sedang menggendong tuan putri.Untungnya, hasil pemeriksaan menyatakan kon
Setelah itu, Lesti pergi tanpa menoleh, sama sekali tidak menunjukkan keraguan.Masa depan dirinya dan Fabian ada dalam kandungannya, tidak mungkin dia menyerahkan semua hartanya pada Ririn.Karena putrinya tidak menurut, maka dia akan mengandalkan putra dalam kandungannya.Bukankah Ririn senang menemui Juko? Kalau begitu, biarkan saja mereka hidup bersama.Lagi pula dia sudah menghabiskan banyak usaha untuk membesarkan putrinya itu.Ririn menghabiskan paruh pertama hidupnya bersama Lesti, paruh kedua hidupnya sudah seharusnya menjadi giliran Juko.Satu-satunya hal yang membuat Phillip bersyukur adalah Juko tidak mempermainkannya, tampaknya dia masih peduli pada putrinya.Phillip bersama para pengawalnya berhasil menemukan rumah bobrok itu.Pelaku cukup waspada, mereka memilih rumah bobrok di pinggiran desa.Setelah pintu didobrak, Phillip menemukan Dian terbaring sendirian di lantai, tanpa ada yang menghiraukannya.Penjahat yang berjaga menunggu instruksi Juko, tanpa perintah darinya,
Lesti meneteskan air mata, duduk bersila dan terdiam, tidak ingin membela diri.Ririn satu-satunya orang yang masih berusaha memberikan penjelasan, tapi apa pun yang dia katakan, Fabian tidak lagi memercayainya.Hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali dan setiap kali Fabian selalu memilih memercayai Lesti dan putrinya.Namun kini dia menyadari bahwa dia sepenuhnya salah.Dian dulunya sangat perhatian dan berperilaku baik, tetapi setelah Lesti dan Ririn memasuki hidup mereka, dia merasa putrinya mulai bermulut tajam dan selalu bertingkah di hadapannya.Sekarang dia baru menyadari, semua itu Dian lakukan untuk mendapatkan lebih banyak perhatian darinya atau setidaknya hanya ingin dia memperlakukan dirinya dan Ririn secara adil.Hanya saja dia tidak pernah menyadarinya. Sebaliknya, dia merasa Dian harus mengalah pada Ririn karena lebih tua."Karena kamu begitu menyukai ayah kandungmu, mulai sekarang kamu bisa hidup bersamanya.""Jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Sedangkan ibumu,
Ririn buru-buru bertanya, "Ibu tertipu?""Kenapa Ibu menghubungi Juko?""Sekarang mereka tahu keberadaan Dian, Ibu mengacaukan rencanaku, apa yang ada di kepala Ibu?"Namun Lesti tidak menggubris, dia menangis dan menampar Ririn, "Kamu membuat Ibu takut setengah mati. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ibu harus bagaimana? Susah payah Ibu membesarkanmu, apa Ibu harus melihatmu mati?""Ibu 'kan sudah bilang, jangan menemui Juko Sanders, kenapa kamu masih diam-diam menemuinya, bahkan menyuruhnya melakukan hal seperti ini, apa kamu sudah gila?""Ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan damai bersamamu, kenapa kamu nggak mau mendengarkan Ibu?"Ririn sangat kecewa pada ibunya. Sejak hamil, Lesti tidak pernah lagi memberi pelajaran pada Dian.Namun, Ririn tidak terima, Dian bagaikan duri yang menancap di matanya, duri itu harus disingkirkan agar dia merasa lega."Apa Ibu nggak tahu aku menyukai Phillip?""Aku yang duluan menyukai Phillip, tapi Dian merampasnya. Mana mungkin aku melepaskannya.
Ingin sekali Lesti menamparnya, untuk apa dia bicara seperti itu?Jika dulu pria itu tidak melakukan tindak kekerasan padanya, hubungan mereka tidak mungkin jadi seburuk ini.Sekarang beraninya dia mengatakan berbuat seperti ini demi putrinya, dia kira nyawa Dian bisa diambil semudah itu?Dian adalah Nona Besar Keluarga Sandiga, belum lagi dia sudah menikah dengan Phillip Sanders, sekarang dia adalah istri dari pemilik Perusahaan Sanders. Juko kira siapa dirinya? Beraninya dia menculik Dian!Napas Lesti tidak teratur, dia tersentak, "Kalau kamu nggak percaya, dengarkan saja teriakan putrimu.""Aku nggak bisa menyelamatkannya, nyawanya ada di tanganmu. Lagi pula aku sedang mengandung anak Fabian. Tanpa Ririn sekalipun, aku masih punya anak yang lain, tapi nggak denganmu!"Phillip sangat mengagumi Lesti. Di saat seperti ini, dia tidak lupa mengungkapkan kesetiaannya pada Fabian, secara tidak langsung memberi tahu Fabian bahwa dia selalu berpihak padanya, sungguh hebat.Di ujung telepon,
Phillip menaikkan alisnya sambil berkata, "Jangan khawatir, paling-paling hanya jari tangannya yang disentuh, nggak akan jadi masalah besar. Cedera otot dan tulang akan pulih dalam beberapa bulan. Kalian bisa merawatnya dengan baik di rumah, dijamin dia akan segera pulih."Lesti tidak tega mendengarnya, dia bergegas ke arah Phillip untuk memukulnya, tetapi sebelum berhasil mendekat, pengawal sudah menghentikannya.Fabian juga khawatir, dia segera memeluk Lesti erat-erat ke sisinya, "Kalau benar nggak ada hubungannya dengan Ririn, dia pasti akan keluar dengan selamat, tetapi kalau sebaliknya, kamu harusnya tahu ...."Suara Fabian tiba-tiba berubah dingin. Dia tidak pernah menyangka penculikan putri kandungnya ternyata berhubungan dengan putri tirinya ini.Namun, dia juga tidak terlalu bodoh dan langsung bertanya, "Bagaimana seorang gadis seperti Ririn bisa membawa Dian?""Bahkan kaca mobilnya pecah, pasti ada yang membantunya.""Mungkinkah ada hubungannya dengan ayah kandung Ririn?"Phi
"Benar aku menemui ayah kandungku, tapi hanya satu kali, aku nggak berniat kembali ke sisinya!""Kalau nggak, aku pasti sudah dari dulu meninggalkan Keluarga Sandiga, tapi aku peduli padamu, Ayah. Ayah sudah menjagaku selama bertahun-tahun, aku sudah menganggapmu sebagai ayah kandungku. Kenapa Ayah memperlakukan kami seperti ini?""Sekarang Phillip berbicara nggak bermoral dan melimpahkan semua kesalahan padaku. Ayah harus melihat kebenarannya!"Lesti mengangguk berulang kali, tapi di saat bersamaan, dia penasaran, kapan Ririn menemui Juko?Gadis itu tidak mengatakan apa pun padanya, tapi malah tertangkap oleh Phillip.Sepertinya kejadian yang menimpa Dian memang berhubungan dengannya. Lesti hanya ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya agar Phillip tidak berlama-lama di sana.Dia sama sekali tidak punya pemikiran seperti itu, apalagi untuk rujuk dengan Juko.Dia hanya ingin melahirkan putranya dengan selamat di Keluarga Sandiga. Kelak Keluarga Sandiga akan menjadi milik putranya, d
Phillip paling benci ditunjuk orang saat berbicara dengannya. Dia bangkit dari duduknya, seketika tubuhnya lebih tinggi dari Fabian."Kamu masih berani mengaku sebagai ayah kandungnya Dian, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih diam dan menyingkir.""Demi putri orang lain, kamu menuduhku mengancam Ririn. Dari ekspresi bersalahnya saja sudah cukup membuktikan kalau masalah ini berhubungan dengannya.""Sekalipun nggak percaya padaku, minimal gunakan otakmu. Pantas saja Perusahaan Sandiga semakin terpuruk, cepat atau lambat akan tamat di tanganmu."Phillip tidak lagi memberi muka. Saat mengucapkan kata-kata ini, dia mundur berulang kali, memegangi dadanya dan hampir kehabisan napas.Lesti melupakan tubuh lemahnya dan maju beberapa langkah, "Begini caramu berbicara dengan ayah mertuamu? Apa Ririn pernah menyinggungmu? Sebelumnya dia bahkan menyukaimu, Ririn masih kecil, kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?"Dia mengatakannya berulang kali, tetapi sikap Phillip sudah jelas dan para pen