Mateo mengembuskan napas kasar dengan tatapan tak percaya melihat Miracle memakan makanan yang bernama rujak. Bagaimana bisa mangga dicampur dengan bumbu garam yang telah ditumbuk dengan cabai? Sungguh, dalam hidup Mateo tidak pernah membayangkan apa rasa makanan itu. Berkali-kali Mateo meminta Miracle untuk berhenti memakan, tapi nyatanya istrinya itu tidak mau mendengarkan. Jika Mateo kembali melarang, maka Miracle langsung merajuk dan mengancam akan tidur di kamar tamu.“Mateo, kita harus segera ke Indonesia. Di sana banyak makanan pedas. Apa perlu kita pindah sementara ke Indonesia saja? Aku bosan di Milan. Di sini hanya makan pasta.” Miracle berucap dengan santai seraya mengunyah mangga di tangannya.Mateo mendelik. Tatapannya menatap dingin sang istri. “Miracle, kau jangan meminta yang tidak-tidak. Aku pernah ke Jakarta. Di sana kota yang sangat padat. Kau juga tahu perusahaan pusatku di sini, tidak mungkin aku memindahkan perusahaanku.”Miracle mendengkus tak suka. “Aku hanya b
Suara dering ponsel terdengar membuat Miracle yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Miracle mengerjapkan matanya beberapa kali, dan menggeliat. Dering ponsel itu tak kunjung mereda membuat Miracle langsung berdecak. Miracle mengembuskan napas kasar, dia langsung mengambil ponselnya. Tanpa menatap ke layar Miracle menjawab telepon itu.“Hallo?” jawab Miracle dingin saat panggilan terhubung.“Miracle? Kenapa kau tidak mengabariku? Kau membuat jantungku berhenti!” seru Selena dengan nada cemas dari seberang line.Mendengar suara Selena, Miracle langsung menjauhkan ponselnya, lalu menatap ke layar. Ya, dia lupa untuk mengabari saudara kembarnya itu. Terakhir kali dia memiliki janji dengan kakaknya itu. Namun semua batal kerena penculikan.“Maaf, Ka. Tapi percayalah aku baik-baik saja.” Miracle berucap menenangkan saudara kembarnya itu.Embusan napas lega dari balik telepon Selena. “Aku senang mendengarnya. Lain kali kau harus tetap mengabariku. Aku khawatir dengan keadaanmu dan C
Mateo memberikan berkas-berkas yang sudah dia tanda tangani pada Gustav. Sesaat dia mengendurkan dasi yang mengikat lehernya itu. Kini dia bersandar di kursi kerjanya seraya menyesap wine di tangannya.“Tuan Mateo, kemarin Nona Leyna menghubungi saya mencari anda,” ujar Gustav kala menerima berkas yang diberikan oleh Mateo.“Ya, dia sudah menghubungiku tadi malam,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar.“Saat ini Nona Leyna berada di Singapore, Tuan. Dia berencana untuk ke Milan menemui anda,” ujar Gustav memberitahu.Mateo mengembuskan napas panjang. “Lebih baik jika dia ingin ke Milan, dia bisa temui aku setelah aku kembali dari Indonesia.”Gustav menganggukan kepalanya. “Iya, Tuan. Sebelumnya saya sudah memberitahu Nona Leyna untuk kembali ke Milan jika anda sudah pulang dari Indonesia.”“Apa aku mengganggu?” Arsen menerobos masuk ke dalam ruang kerja Mateo. Tepat di saat Arsen datang, Gustav langsung pamit undur diri dari hadapan Mateo dan Arsen.“Ada apa kau ke sini? Hari in
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Charlotte yang masih tertidur pulas langsung terbangun. Charlotte mengerjapkan matanya beberapa kali, menguap, dan mengeliat. Sesaat kala matanya sudah terbuka, dia langsung menginterupsi yang mengetuk pintu itu untuk masuk.“Selamat pagi, Nona Charlotte,” sapa seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar Charlotte.“Ada apa kau menggangguku sepagi ini? Aku masih mengantuk.” Charlotte berucap kesal pelayan yang berdiri di hadapanya. Dia langsung mengambil bantal dan mengambil posisi tidur kembali.“Maaf, Nona. Tapi di depan ada Tuan Arsen datang ingin bertemu dengan anda,” ucap sang pelayan sontak membuat Charlotte terkejut.Charlotte langsung melempar bantalnya dan menatap sang pelayan. “Arsen ada di depan?” tanyanya memastikan.Sang pelayan mengganggukan kepalanya. “Benar, Nona. Di depan ada Tuan Arsen.”Charlotte mengerutkan keningnya, lalu menatap jam dinding—kini masih pukul tujuh pagi. Tidak biasanya Arsen datang sepagi ini. Lagi pula tad
Frans menatap seksama Arsen yang mengatakan akan melamar Charlotte. Sesaat dia melihat putrinya. Ya, pasalnya ini belum sampai satu bulan dari waktu yang dia berikan pada Arsen. Tentu dia tahu sifat keras putrinya itu. Rasanya begitu cepat putrinya bisa luluh dengan Arsen. Hal yang membuat Frans bingung adalah raut wajah Charlotte, putrinya tidak menujukan keterpaksaan. Charlotte tampak bahagia dengan pipi yang merona malu.“Kita bicara di dalam.” Frans berucap dengan nada dingin dan tersirat ketegasan. Arsen mengganggukan kepalanya. Kemudian dia, Charlotte melangkah mengikuti Frans dan Karin, menuju ruang keluarga. Charlotte sedikit menundukan kepalanya. Jujur saja, Charlotte sedikit takut dirinya diintogerasi oleh ayahnya. Bagaimana tidak? Terakhir kali Charlotte mati-matian menolak Arsen. Dan sekarang Charlotte menerima Arsen. Tentu membuat kedua orang tuanya terkejut.“Anak muda, kenapa kau terburu-buru melamar putriku? Bukankah aku memberikanmu waktu satu bulan? Apa kau memaksa
Kabar pernikahan Arsen dan Charlotte sudah terdengar oleh media. Jika dulu pernikahan Mateo dan Miracle menggemparkan para media Milan kali ini pernikahan Arsen dan Charlotte pun membuat pemberitaan yang besar. Ya, pasalnya Arsen Romano memiliki nama yang cukup terkenal dikalangan pembisnis. Ditambah dengan Charlotte yang selama ini memang aktif memimpin perusahaan cabang Geovan Group yang ada di Milan. Semua orang pun turut berbahagia dengan berita pernikahan Arsen dan Charlote.Banyak para media yang meminta keterangan langsung dari Arsen dan Charlotte. Bukan hanya itu, tapi Miracle pun ikut diserang oleh rentetan pertayaan para media. Pasalnya, Arsen adalah sahabat baik dari Mateo, suaminya. Itu kenapa Miracle mau tidak mau harus pasrah jika mendapatkan banyak rentetan pertanyaan dari media. Pemberitaan pernikhan Arsen dan Charlotte masih kurang dalam dua hari. Namun, meski hanya dalam waktu yang baru, dengan mudahnya pemberitaan tentang pernikahan Arsen dan Charlotte berhasil menj
Suara dering ponsel terdengar, membuat Miracle yang tengah menonton film kesukaannya langsung mengalihkan pandangannya pada dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Sesaat Miracle mengerutkan keningnya kala menatap ponsel Mateo.“Mateo, ponselmu berdering.” Miracle sedikit berteriak kala mengatakan itu agar Mateo yang berada di dalam kamar mandi mendengarnya. Namun sayangnya teriakan Miracle percuma karena Mateo tidak mendenganya. Tidak ada pilihan lain, kini Miracle mengambil ponsel Mateo dan langsung menjawabnya.“Hallo?” sapa Miracle saat panggilan terhubung.“Ini siapa?” Suara wanita dari seberang line terdengar begitu dingin.Kening Miracle berkerut kala mendengar suara wanita. Dia menjauhkan ponsel Mateo dari telinganya, dan menatap ke layar tertera nama Leyna di sana. Miracle berusaha mencoba mengingat nama Leyna. Tapi diingatan Miracle, tidak ada terbersit sedikit pun nama Leyna. Mungkin Leyna adalah rekan bisnis Mateo. Ya, itu adalah yang Miracle pikirkan saat ini.“Maaf, Non
“Tuan Mateo.” Gustav menundukan kepalanya kala melihat Mateo keluar dari lift.“Apa meeting sudah di mulai?” tanya Mateo dingin.“Belum, Tuan. Mereka semua menuggu anda,” jawab Gustav memberitahu.Mateo mengangguk singkat. “Sore ini aku akan ke pabrik anggur. Aku ingin tahu perkembangan di sana.”“Baik, Tuan,” jawab Gustav patuh. “Hm, Tuan. Tadi pagi saya mendapatkan telepon dari Nona Leyna yang mencari anda. Beliau menayakan anda sudah tiba di kantor atau belum,” lanjutnya memberitahu.Mateo mengembuskan napas kasar. Sudah berapa kali sepupunya itu tidak henti menghubunginya. Sejak dulu Mateo tidak menyukai obrolan omong kosong. “Biarkan saja. Nanti dia pasti menghubungiku lagi,” ucap Mateo dengan nada acuh.Gustav menganggukan kepalanya. Kemudian Mateo melannjutkan langkah, menuju ruang meeting.“Maaf, membuat kalian menunggu.” Mateo berucap dengan nada datar dan penuh ketegasan kala memasuki ruang meeting.Arsen berdecak tak suka kala melihat Mateo terlambat. Padahal hari ini dia
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira