Acara ijab kabul berlangsung dengan lancar. Kini Gauri bisa bernapas lega karena apa yang sempat mengganggu pikirannya tadi tidak terjadi. Wanita itu juga sudah tidak deg-degan lagi.
'Aku deg-degan pasti karena gugup dan takut bukan karena Kak Satya megang tanganku.' Pikir Gauri mengangguk pelan. Reaksi tubuhnya begitu berlebihan. Maklum saja Gauri memang kadang terserang rasa panik saat merasa gugup yang berlebihan.
Sekarang Gauri dan Satya harus menyapa para tamu yang datang. Walau tamu yang diundang juga tidak banyak hanya sanak saudara. Pasangan yang telah sah menjadi suami istri itu kini duduk di atas pelaminan menjadi raja dan ratu sehari. Beberapa tamu yang sudah memberikan selamat kini sedang menikmati hidangan.
"Bener ya, Si Gauri itu udah hamil?" tanya salah satu tamu yang sedang asyik berkumpul seraya menikmati hidangan di depan mereka.
"Katanya sih gitu," timpal yang lain dengan wajah julid mereka.
"Tapi kan Si Satya sudah hampir nikah sama Si Lia tapi dibatalin gitu aja."
"Mungkin Satya nyesel harus nikah sama orang lain padahal udah hamilin Gauri."
Spekulasi personal itu terus berlanjut tanpa henti. Begitulah jika orang-orang tidak tahu cerita yang sebenarnya, mereka akan mengeluarkan pendapat sendiri untuk menilai yang lambat laun justru menjadi sebuah fakta tak terbantahkan.
***
Malam pengantin Gauri dan Satya dihabiskan dengan mengobrol bersama kedua keluarga inti. Ayah dan Ibu Satya serta Ibu Gauri bersama kedua paman Gauri.
"Gauri pamit buat tidur duluan ya," kata Gauri pamit. Matanya sudah tidak bertahan lagi, ingin segera tertutup.
"Iya. Kamu tidur aja. Istirahat," ujar Maria mengelus lembut pundak Gauri. Kedua orang tua Satya hanya mengangguk sementara Satya hanya tersenyum tipis melihat Gauri mulai beranjak.
Gauri menghela napas pelan sesaat setelah dia sampai di kamarnya. Baru kali ini dia melihat kamarnya seramai ini. Dengan banyak hiasan bunga dan kain yang dibentuk sedemikian rupa. Wanita itu menggeleng pelan tak ingin ambil pusing. Dia membersihkan diri terlebih dahulu, shalat isya kemudian beranjak tidur.
Mungkin karena sudah terlalu lelah Gauri sudah tidak menyadari kedatangan Satya. Pria itu tersenyum lembut melihat istrinya sudah larut dalam mimpi. Kegiatan Satya tak jauh beda dengan Gauri. Hanya saja pria itu lebih lama saat berdoa. Sepertinya Satya punya banyak permintaan pada Allah.
Setelah selesai barulah Satya mengambil tempat di samping Gauri. Guling yang Gauri jadikan sebagai pembatas tak Satya pindahkan. Dia maklum Gauri tidak mungkin mau menganggapnya sebagai seorang suami sesungguhnya. Lagipula Satya juga tidak keberatan. Dia pun tidak akan menuntut apapun dari Gauri. Termasuk melayaninya seperti seorang istri.
Gauri terbangun saat adzan subuh berkumandang.
"Udah bangun. Saya baru aja mau bangunin kamu," ujar Satya yang sudah lengkap dengan pakaian shalatnya.
Gauri tertegun beberapa saat menikmati pemandangan menghangatkan hati itu.
"Mau shalat bareng?" tanya Satya kemudian.
Gauri tersadar dan segera mengalihkan pandangannya. "Boleh. Aku ambil air wudhu dulu," jawabnya segera beranjak menuju kamar mandi.
Mereka pun shalat subuh bersama untuk pertama kalinya. Mungkin pernikahan yang terjadi karena sebuah perjanjian namun Gauri tetap mencoba untuk menghormati Satya sebagai seorang suami. Seperti mencium tangan Satya setelah mereka selesai berdoa.
"Kak Satya mau sarapan apa? Biar aku buatin," kata Gauri seraya melipat mukenanya.
"Saya akan makan apapun yang kamu sediakan," jawab Satya tanpa mengalihkan pandangannya dari Gauri.
"Baiklah," jawab Gauri kemudian berlalu setelah meletakkan mukenanya di atas meja.
Saat sampai di dapur, Gauri mendapati sang ibu sudah sangat sibuk dengan berbagai macam bahan makanan.
"Eh, pengantin baru udah bangun," kata Maria sebagai sebutan untuk putrinya.
"Iya, Bu. Baru aja selesai shalat subuh," jawab Gauri seraya melihat-lihat apa yang akan dimasak oleh ibunya.
"Oh gitu," kata Maria dengan nada yang membuat Gauri sedikit mengerutkan keningnya.
"Kenapa nada bicara Ibu kayak gitu?" tanya Gauri dengan mata memicing. Terlebih saat sang ibu tertawa kecil. Gauri yakin jika ibunya sedang memikirkan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam pernikahan Gauri dan Satya.
Matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Nasi goreng ala Gauri dan Ibunya kini sudah tertata rapi di atas meja. Hanya tinggal menunggu anggota keluarga yang lain bangun dan ikut bergabung.
Satya menjadi orang pertama yang datang ke arah meja makan. Pria itu terlihat begitu segar karena sudah mandi. Gauri jadi merasa kucel sendiri melihat suaminya sudah rapih.
"Wah! Kayaknya enak," ujar Satya dengan mata berbinar.
"Ayo, Nak. Dicicipin," ujar Maria pada menantunya.
Satya mengangguk pelan kemudian duduk di samping Gauri. Dengan tanggap Gauri mengambil piring di depan Satya lalu mengisinya dengan nasi goreng.
"Ini Kak," ujar Gauri.
"Makasih," timpal Satya tersenyum senang mendapat perhatian kecil dari Gauri.
"Loh, Gauri, kok kamu manggil Satya dengan sebutan kakak sih?"
Pertanyaan yang dilontarkan Maria membuat pasangan pengantin baru itu kompak menatapnya.
"Memangnya kenapa, Bu? Lagian aku memang selalu manggil Kakak ke Kak Satya," kata Gauri.
"Itu kan pas kalian pacaran. Sekarang kan udah nikah masa tetap manggil kakak," ujar Maria membuat putrinya bingung. Memang apa yang salah? "Harusnya kamu itu panggil Satya dengan sebutan sayang atau paling tidak Mas," lanjutnya.
"Uhuk ... uhuk ...." Satya sampai terbatuk di sana. Kaget tepatnya.
Tidak jauh berbeda dengan Gauri. Wanita itu sampai menganga beberapa saat.
Melihat reaksi anak dan menantunya membuat Maria bingung. "Loh, kok kalian kayak kaget gitu?"
"Oh. Gak apa-apa kok, Bu. Terserah Gauri aja mau panggil saya Kakak atau Mas. Senyamannya aja," kata Satya berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
"Gak bisa dong, Satya. Kalian itu udah nikah. Jangan panggil kakak atau adek, nanti ada yang salah paham loh." Maria masih kekeh dengan pendapatnya.
Gauri tahu sang ibu itu sangat keras kepala. Dia akan terus berusaha sampai kemauannya tercapai dengan kata-kata lembut yang sulit untuk dibantah.
"Iya, Bu. Mulai sekarang aku akan manggil Kak Satya dengan sebutan Mas," ujar Gauri pada akhirnya. Dia tidak ingin masalah sebutan saja akan membuat mereka berdebat.
Maria tersenyum bahagia di sana. "Nah, gitu dong," katanya dengan nada penuh kemenangan. "Ya udah kalian lanjut aja sarapannya, Ibu mau manggil paman sama bibi kalian dulu."
Maria kemudian berlalu meninggalkan Gauri dan Satya dalam kecanggungan.
"Kalau kamu gak suka gak usah manggil saya Mas. Gak apa-apa," kata Satya. Bukankah dia sudah mengatakan tidak ingin membuat Gauri terbebani? Sudah cukup dia membawa gadis itu dalam masalahnya, Satya tidak ingin berhutang budi terlalu banyak pada Gauri.
"Ibu bakalan marah kalau aku gak turutin apa maunya," timpal Gauri.
"Tapi, kalau kamu ...."
"Gak apa-apa kok. Gak usah diperpanjang," kata Gauri. "Atau justru kak Satya yang gak nyaman kalau seandainya aku panggil Mas?" Gauri balik bertanya.
"Gak kok, Gauri." Satya menjawab dengan cepat. Mereka saling menatap untuk beberapa detik lalu membuang muka setelahnya. "Malah saya sangat senang," kata Satya tersenyum malu-malu. Membayangkan Gauri akan memanggilnya panggilan Mas. Rasanya seperti puluhan kupu-kupu menggelitik perutnya.
Bahagia sekali.
Tbc.
Dua hari berlalu setelah pernikahan mendadak itu. Sekarang Satya dan Gauri sudah bersiap-siap untuk kembali ke kota. Tuntutan pekerjaan serta kuliah Gauri menjadi alasan utama. Lagipula sejak kuliah dan bekerja keduanya memang lebih banyak menghabiskan waktu di kota dari pada di desa. Pulang kampung hanya dilakukan saat ada acara keluarga atau perayaan besar."Baik-baik ya kalian di sana," ujar Maria memeluk erat Gauri seakan rasa rindunya pada sang anak belum tuntas sepenuhnya."Iya, Bu," jawab Gauri tersenyum tipis seraya mengusap punggung Maria penuh sayang.Setelah pelukan itu terlepas kini giliran Satya yang mencium tangan mertuanya itu."Ibu sekarang jadi tenang melepas Gauri karena sudah ada yang menjaganya di sana," ujar Maria mengelus lembut lengan Satya yang hanya bisa tersenyum malu-malu. Tentu saja karena kalimat barusan itu ditujukan untuknya. Mungkin kalimat itu membuatnya tersipu namun arti dibalik kalimat itu sungguh luar biasa. Tanggung jawab besar yang harus diemban
Satya masih bertahan di ruang tamu kosan Gauri yang hanya beralaskan tikar tipis. Dia terus menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi barusan. Keadaan mereka memang sudah canggung ditambah lagi pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu membuat keduanya terasa semakin jauh."Mas Satya, makan dulu."Satya langsung berbalik saat mendengar suara Gauri. Wanita itu pergi begitu saja setelah memanggil Satya untuk makan malam. Satya mengikuti langkah wanita itu tanpa mengatakan apapun. Walau sedang marah ternyata Gauri tetap baik mau menyediakan makan malam untuk mereka. Tidak ada obrolan yang terjadi. Makan malam itu terasa begitu sepi dan lambat. Hanya ada suara piring dan sendok yang beradu.Tidak.Satya tidak bisa membiarkan suasana seperti ini terus berlanjut. Pria itu berinisiatif mencuci bekas piring mereka."Biar saya aja yang cuci piringnya," ujar Satya pada Gauri yang sedang memasukkan sisa makanan mereka ke dalam kulkas kecilnya."Oke!" jawab Gauri mengangguk pelan.Satya tersenyum
[Gauri: Mas Satya malam ini mungkin aku bakalan pulang telat soalnya temen kerja ngajak buat makan malam di luar][Satya: Iya gak apa-apa😊]Mungkin Satya memang mengirim pesan itu dengan emot tersenyum namun di wajahnya tidak ada senyum sama sekali. Pria itu malah menghela napas panjang, menaruh ponselnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya."Loh, Bang Satya belum pulang?" tanya seorang pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitamnya, Yogie."Pengen lembur," jawab Satya santai."Ck!" Yogie mendengus. "Ganti cuti kemarin?" ejeknya pada pria yang terpaut lebih tua darinya dua tahun."Iya. Takutnya kalo gak diganti gajiku dipotong," canda Satya memasang wajah memelas yang justru membuat Yogie ingin memukul wajah tampan pria itu."Sumpah Bang! Pengen nonjok," ujar Yogie dengan wajah kesalnya. Bukannya takut Satya malah tertawa di sana.Yogie yang kini berbalut pakaian serba hitam itu merogoh kunc
Pada kenyataannya Satya tidak seberani itu mengatakan semuanya. Hal yang baru saja terjadi berasal dari angannya saja. Satya memang pergi dari sana namun bukan ke arah Gauri melainkan ke arah dapur. "Gak, Kak Ilham! Bukan gitu!" Gauri menampik. Wanita itu kemudian menunduk sebentar lalu mendongak kembali. "Aku bukannya gak suka sama Kak Ilham. Tapi, aku cuma gak mau terlibat dalam hubungan yang akan menimbulkan dosa," lanjut Gauri. Wanita itu bukanlah seorang wanita ahli agama namun dia masih tahu cara membatasi diri. Terbukti selama ini Gauri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Dia ramah dan tidak sedikit pria yang menyukainya sampai menyatakan cinta. Namun Gauri selalu menolak dengan halus. Alasan ingin fokus pada pekerjaan dan kuliah bukan hanya bualan semata. Gauri menekuni dua kegiatannya itu tanpa ingin terganggu hubungan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.Dan sekarang ditambah lagi statusnya sudah bersuami---walau hal itu masih disembun
Satya telah selesai dengan semua masakannya. Pria itu berniat mulai hari ini dia akan menyiapkan makanan untuk Gauri, untuk mereka. Untuk apa punya suami seorang koki jika tidak bisa menyenangkan istri, iya kan? Padahal Satya akui masakan Gauri tidak seburuk itu. Tapi, wanita itu sudah tidak percaya diri memasak untuk Satya lagi. Tidak apa-apa, lagipula Satya bahagia bisa memasak untuk Gauri.Makanan yang terlihat begitu indah dipandang mata dan pastinya enak kini tertata rapi di meja makan Gauri yang sederhana itu. Pria itu baru akan beranjak untuk mengajak Gauri sarapan namun Gauri datang lebih dulu dengan pakaian yang sudah rapih. Melihat makanan yang di atas meja membuat Gauri diam sejenak."Yuk sarapan dulu!" ajak Satya mempersilakan Gauri untuk duduk. Wanita itu tidak menjawab dan malah langsung duduk. Aroma masakan Satya menggelitik indra penciumannya membuat Gauri seketika lapar.Gauri benar-benar menikmati hidangan yang Satya s
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Suasana begitu canggung setelah insiden pelukan tadi. Gauri hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat ke arah Satya. Jantungnya masih bekerja dua kali lipat dan dia juga yakin jika sekarang pipinya tengah memerah. Tersipu malu."Maaf saya udah lancang meluk kamu tadi," ujar Satya. Pria itu merasa harus meminta maaf melihat wajah tidak nyama Gauri. Itu sebuah refleksi tubuh Satya. Otaknya tak lagi bisa menahan tubuhnya tadi. Mungkin karena terlalu khawatir melihat keadaan Gauri yang memprihatinkan.Dalam hati Gauri tak lagi ingin membahas hal itu karena hanya akan membuatnya teringat bagaimana harumnya tubuh Satya saat memeluknya tadi. Jangan lupakan juga sensasi hangat dan nyaman yang ciptakan dari pelukan itu.'Ya Allah! Aku mikir apa sih?' Gauri memarahi dirinya sendiri.Gauri meluruskan kepalanya. "Iya, gak apa-apa." Walau dengan tangan yang masih saling meremas di balik selimut. "Maaf juga udah bikin Mas Satya khawatir dan harus pulang," kata Gau
"Jadi, bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Ilham sedikit tidak sabaran. Dokter dengan jilbab putih itu sampai tersenyum kikuk sebab dia bahkan belum selesai memeriksa keadaan Gauri. Namun dia maklum setiap orang pasti sangat khawatir melihat sanak keluarga atau orang spesial mereka sedang sakit."Dari hasil pemeriksaan ... Mbak Gauri baik-baik aja. Hanya kelelahan," jawab dokter itu. "Saya akan memberinya obat. Bahkan jika Mbak Gauri mau pulang sekarang juga boleh," lanjutnya tersenyum manis ke arah Gauri.Tak beda jauh dengan Gauri yang juga tersenyum lega. Sarah yang berada di samping Gauri pun ikut mengucap 'Alhamdulillah' karena ternyata Gauri baik-baik saja."Terimakasih, Dok," ujar Gauri."Iya sama-sama," balas dokter itu seraya membereskan peralatannya. Dia lalu menoleh ke arah Ilham. "Mas-nya gak usah terlalu khawatir. Mbak-nya baik-baik aja kok," sambung dokter itu. Gegalat Ilham terlalu kentara jika pria itu memiliki perasaan pada
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba
Satya telah selesai dengan semua masakannya. Pria itu berniat mulai hari ini dia akan menyiapkan makanan untuk Gauri, untuk mereka. Untuk apa punya suami seorang koki jika tidak bisa menyenangkan istri, iya kan? Padahal Satya akui masakan Gauri tidak seburuk itu. Tapi, wanita itu sudah tidak percaya diri memasak untuk Satya lagi. Tidak apa-apa, lagipula Satya bahagia bisa memasak untuk Gauri.Makanan yang terlihat begitu indah dipandang mata dan pastinya enak kini tertata rapi di meja makan Gauri yang sederhana itu. Pria itu baru akan beranjak untuk mengajak Gauri sarapan namun Gauri datang lebih dulu dengan pakaian yang sudah rapih. Melihat makanan yang di atas meja membuat Gauri diam sejenak."Yuk sarapan dulu!" ajak Satya mempersilakan Gauri untuk duduk. Wanita itu tidak menjawab dan malah langsung duduk. Aroma masakan Satya menggelitik indra penciumannya membuat Gauri seketika lapar.Gauri benar-benar menikmati hidangan yang Satya s
Pada kenyataannya Satya tidak seberani itu mengatakan semuanya. Hal yang baru saja terjadi berasal dari angannya saja. Satya memang pergi dari sana namun bukan ke arah Gauri melainkan ke arah dapur. "Gak, Kak Ilham! Bukan gitu!" Gauri menampik. Wanita itu kemudian menunduk sebentar lalu mendongak kembali. "Aku bukannya gak suka sama Kak Ilham. Tapi, aku cuma gak mau terlibat dalam hubungan yang akan menimbulkan dosa," lanjut Gauri. Wanita itu bukanlah seorang wanita ahli agama namun dia masih tahu cara membatasi diri. Terbukti selama ini Gauri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Dia ramah dan tidak sedikit pria yang menyukainya sampai menyatakan cinta. Namun Gauri selalu menolak dengan halus. Alasan ingin fokus pada pekerjaan dan kuliah bukan hanya bualan semata. Gauri menekuni dua kegiatannya itu tanpa ingin terganggu hubungan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.Dan sekarang ditambah lagi statusnya sudah bersuami---walau hal itu masih disembun
[Gauri: Mas Satya malam ini mungkin aku bakalan pulang telat soalnya temen kerja ngajak buat makan malam di luar][Satya: Iya gak apa-apa😊]Mungkin Satya memang mengirim pesan itu dengan emot tersenyum namun di wajahnya tidak ada senyum sama sekali. Pria itu malah menghela napas panjang, menaruh ponselnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya."Loh, Bang Satya belum pulang?" tanya seorang pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitamnya, Yogie."Pengen lembur," jawab Satya santai."Ck!" Yogie mendengus. "Ganti cuti kemarin?" ejeknya pada pria yang terpaut lebih tua darinya dua tahun."Iya. Takutnya kalo gak diganti gajiku dipotong," canda Satya memasang wajah memelas yang justru membuat Yogie ingin memukul wajah tampan pria itu."Sumpah Bang! Pengen nonjok," ujar Yogie dengan wajah kesalnya. Bukannya takut Satya malah tertawa di sana.Yogie yang kini berbalut pakaian serba hitam itu merogoh kunc