Dua hari berlalu setelah pernikahan mendadak itu. Sekarang Satya dan Gauri sudah bersiap-siap untuk kembali ke kota. Tuntutan pekerjaan serta kuliah Gauri menjadi alasan utama. Lagipula sejak kuliah dan bekerja keduanya memang lebih banyak menghabiskan waktu di kota dari pada di desa. Pulang kampung hanya dilakukan saat ada acara keluarga atau perayaan besar.
"Baik-baik ya kalian di sana," ujar Maria memeluk erat Gauri seakan rasa rindunya pada sang anak belum tuntas sepenuhnya.
"Iya, Bu," jawab Gauri tersenyum tipis seraya mengusap punggung Maria penuh sayang.
Setelah pelukan itu terlepas kini giliran Satya yang mencium tangan mertuanya itu.
"Ibu sekarang jadi tenang melepas Gauri karena sudah ada yang menjaganya di sana," ujar Maria mengelus lembut lengan Satya yang hanya bisa tersenyum malu-malu. Tentu saja karena kalimat barusan itu ditujukan untuknya. Mungkin kalimat itu membuatnya tersipu namun arti dibalik kalimat itu sungguh luar biasa. Tanggung jawab besar yang harus diemban Satya.
Gauri hanya bisa menghela napas pelan. Dasar Ibu. Padahal ada Satya atau tidak Gauri tetap bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik hingga sekarang. Terbukti selama hampir lima tahun di kota tidak pernah ada gosip miring tentang Gauri yang terdengar. Sampai akhirnya Satya datang dan membuat nama baik Gauri tercoreng. Segala kesan baik selama ini tersapu rata dalam sehari hanya karena pengakuan konyol dari pria yang kini telah menjadi suaminya.
"Ya udah kalau gitu kami pamit ya, Bu," kata Gauri tak ingin lebih lama mendengar pujian Maria untuk menantunya. Wanita paruh baya itu seakan begitu jatuh hati pada sosok Satya. Seakan Satya itu adalah menantu idaman yang selama ini dia tunggu.
"Assalamualaikum!" Gauri dan Satya memberi salam kemudian masuk ke dalam mobil Satya.
Mobil berwarna grey itu melaju pelan di jalanan desa. Beberapa orang yang melihat Satya dan Gauri menyapa pasangan itu. Gauri memilih tidur saat mobil itu mulai memasuki area perkotaan. Wanita itu memang mudah mengantuk jika sedang dalam perjalanan. Apalagi jarak antara desa dan kota cukup jauh. Dalam kecepatan normal setidaknya butuh waktu sekitar tiga jam.
Satya melirik ke arah Gauri yang sudah tertidur pulas. Pria itu tersenyum simpul. Selama ini setiap kembali ke kota Satya akan merasa kesepian karena berkendara sendirian. Sekarang sudah ada Gauri tapi malah ditinggal tidur. Padahal dia sudah membayangkan akan mengobrol dengan Gauri selama dalam perjalananan. Walau dia sendiri tidak tahu harus mengobrol tentang apa.
Sungguh miris.
Perjalanan sudah mencapai seperduanya. Satya menghentikan mobilnya karena sudah masuk waktu shalat dhuhur. Dia mengguncang sedikit tubuh Gauri untuk membangunkannya.
"Gauri? Bangun, Gauri," ujar Satya pelan.
Wanita itu melenguh, membuka perlahan matanya. Mencoba membiasakan matanya dengan cahaya yang masuk.
"Eh, udah sampai?" tanya Gauri yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Wanita itu juga beberapa kali menguap. Wajah sayu dan bingung khas orang yang baru bangun tidur membuat Satya tertawa kecil.
"Belum. Tapi udah masuk waktu shalat dhuhur. Kita shalat dulu yuk!" ajak Satya.
Gauri mengangguk pelan seraya meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Satya turun lebih dulu. Gauri menyusul setelah merasa dirinya benar-benar telah sadar. Setelah selesai menunaikan ibadah shalat dhuhur, keduanya memilih untuk makan siang terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan lagi.
Tak ada percakapan yang terjadi padahal Gauri tak lagi tertidur. Dasar bodoh! Satya mengomeli dirinya sendiri. Dia yang berharap agar Gauri tidak tidur lagi. Giliran Gauri tidak tertidur dia malah membisu. Gauri juga terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. Sesekali wanita tersenyum sampai tertawa kecil. Penasaran? Tentu saja Satya penasaran dengan siapa Gauri sedang bertukar pesan sampai tersenyum seperti itu. Namun pria itu tetap memilih diam.
Hingga mereka kini telah sampai di depan kosan Gauri, keadaan masih sangat hening. Mereka bekerja sama menurunkan barang bawaan. Tidak banyak namun cukup membuat kewalahan. Satya melihat sekeliling tempat itu seraya mengikuti langkah Gauri. Cukup bersih dan lumayan nyaman juga.
"Untuk sementara kita tinggal dulu di kosanku ya. Soalnya aku udah terlanjur bayar dimuka untuk setahun," ujar Gauri setelah mereka sampai di ruang tamu kosannya yang tidak terlalu luas.
"Tinggal berapa bulan?" tanya Satya meletakkan tasnya di lantai.
"Sekitar tujuh bulan lagi."
Satya mengangguk pelan. "Oke," jawabnya singkat. Mendengar riuh dari arah luar, Satya mengintip dari jendela kecil di samping pintu. Sementara Gauri sudah menghilang di balik pintu kamarnya.
Suasana di luar kosan itu ternyata lumayan ramai saat sore menjelang. Beberapa penghuni atau entahlah Satya juga tidak tahu berkumpul di sebuah rumah-rumah kecil di depan kosan. Bercengkrama sambil makan makanan ringan.
Gauri kembali dengan pakaian santainya. Mengambil barang bawaan Satya untuk diletakkan di dalam kamar.
"Mas Satya lihat apa?" tanya Gauri yang merasa penasaran karena Satya terlihat begitu betah melihat ke arah luar.
Satya menoleh. Agak sedikit aneh saat mendengar Gauri memanggilnya dengan sebutan Mas. Bukan aneh tapi lucu. Dan Satya suka mendengarnya.
"Di sini kosan khusus cewek apa campur, Ri?" Satya malah balik bertanya.
"Campur, Mas," jawab Gauri singkat.
"Apa?" Gauri sampai kaget mendengar Satya sedikit memekik. "Maafkan saya," kata Satya lagi merasa tidak enak sudah meninggikan suaranya. Satya tidak berniat sama sekali untuk membentak Gauri. Itu hanya sebatas reaksi kaget semata.
"Maksud kamu di sini bebas yang ngekos cewek dengan cowok?" tanya Satya memperjelas pertanyaannya dengan nada suara yang lebih rendah.
"Iya." Gauri kembali menjawab dengan singkat.
"Loh, kok kamu mau sih ngekos di sini? Gimana kalo ada yang macam-macam sama kamu? Gimana kalo ada yang gangguin kamu dan berniat jahat sama kamu?" tanya Satya menghardik Gauri dengan deretan pertanyaan. "Pantesan aja Ibu was-was dan khawatir sama kamu," lanjutnya.
Gauri terdiam sejenak menatap heran pada Satya. Dia baru tahu jika pria itu ternyata cukup cerewet juga. Wanita itu tersenyum simpul lalu menjawab, "Tapi Alhamdulillah selama aku di sini aku bisa kok jaga diri. Buktinya sampai Mas Satya datang dan membawaku dalam masalah hidupku baik-baik saja."
Ucapan yang terlontar mungkin terkesan pelan namun sanggup membuat Satya merasa begitu tersindir.
Gauri berlalu begitu saja meninggalkan Satya yang masih terdiam di tempatnya.
Sepertinya dia salah karena membahas hal ini.
Tbc....
Satya masih bertahan di ruang tamu kosan Gauri yang hanya beralaskan tikar tipis. Dia terus menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi barusan. Keadaan mereka memang sudah canggung ditambah lagi pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu membuat keduanya terasa semakin jauh."Mas Satya, makan dulu."Satya langsung berbalik saat mendengar suara Gauri. Wanita itu pergi begitu saja setelah memanggil Satya untuk makan malam. Satya mengikuti langkah wanita itu tanpa mengatakan apapun. Walau sedang marah ternyata Gauri tetap baik mau menyediakan makan malam untuk mereka. Tidak ada obrolan yang terjadi. Makan malam itu terasa begitu sepi dan lambat. Hanya ada suara piring dan sendok yang beradu.Tidak.Satya tidak bisa membiarkan suasana seperti ini terus berlanjut. Pria itu berinisiatif mencuci bekas piring mereka."Biar saya aja yang cuci piringnya," ujar Satya pada Gauri yang sedang memasukkan sisa makanan mereka ke dalam kulkas kecilnya."Oke!" jawab Gauri mengangguk pelan.Satya tersenyum
[Gauri: Mas Satya malam ini mungkin aku bakalan pulang telat soalnya temen kerja ngajak buat makan malam di luar][Satya: Iya gak apa-apa😊]Mungkin Satya memang mengirim pesan itu dengan emot tersenyum namun di wajahnya tidak ada senyum sama sekali. Pria itu malah menghela napas panjang, menaruh ponselnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya."Loh, Bang Satya belum pulang?" tanya seorang pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitamnya, Yogie."Pengen lembur," jawab Satya santai."Ck!" Yogie mendengus. "Ganti cuti kemarin?" ejeknya pada pria yang terpaut lebih tua darinya dua tahun."Iya. Takutnya kalo gak diganti gajiku dipotong," canda Satya memasang wajah memelas yang justru membuat Yogie ingin memukul wajah tampan pria itu."Sumpah Bang! Pengen nonjok," ujar Yogie dengan wajah kesalnya. Bukannya takut Satya malah tertawa di sana.Yogie yang kini berbalut pakaian serba hitam itu merogoh kunc
Pada kenyataannya Satya tidak seberani itu mengatakan semuanya. Hal yang baru saja terjadi berasal dari angannya saja. Satya memang pergi dari sana namun bukan ke arah Gauri melainkan ke arah dapur. "Gak, Kak Ilham! Bukan gitu!" Gauri menampik. Wanita itu kemudian menunduk sebentar lalu mendongak kembali. "Aku bukannya gak suka sama Kak Ilham. Tapi, aku cuma gak mau terlibat dalam hubungan yang akan menimbulkan dosa," lanjut Gauri. Wanita itu bukanlah seorang wanita ahli agama namun dia masih tahu cara membatasi diri. Terbukti selama ini Gauri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Dia ramah dan tidak sedikit pria yang menyukainya sampai menyatakan cinta. Namun Gauri selalu menolak dengan halus. Alasan ingin fokus pada pekerjaan dan kuliah bukan hanya bualan semata. Gauri menekuni dua kegiatannya itu tanpa ingin terganggu hubungan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.Dan sekarang ditambah lagi statusnya sudah bersuami---walau hal itu masih disembun
Satya telah selesai dengan semua masakannya. Pria itu berniat mulai hari ini dia akan menyiapkan makanan untuk Gauri, untuk mereka. Untuk apa punya suami seorang koki jika tidak bisa menyenangkan istri, iya kan? Padahal Satya akui masakan Gauri tidak seburuk itu. Tapi, wanita itu sudah tidak percaya diri memasak untuk Satya lagi. Tidak apa-apa, lagipula Satya bahagia bisa memasak untuk Gauri.Makanan yang terlihat begitu indah dipandang mata dan pastinya enak kini tertata rapi di meja makan Gauri yang sederhana itu. Pria itu baru akan beranjak untuk mengajak Gauri sarapan namun Gauri datang lebih dulu dengan pakaian yang sudah rapih. Melihat makanan yang di atas meja membuat Gauri diam sejenak."Yuk sarapan dulu!" ajak Satya mempersilakan Gauri untuk duduk. Wanita itu tidak menjawab dan malah langsung duduk. Aroma masakan Satya menggelitik indra penciumannya membuat Gauri seketika lapar.Gauri benar-benar menikmati hidangan yang Satya s
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
Suasana begitu canggung setelah insiden pelukan tadi. Gauri hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat ke arah Satya. Jantungnya masih bekerja dua kali lipat dan dia juga yakin jika sekarang pipinya tengah memerah. Tersipu malu."Maaf saya udah lancang meluk kamu tadi," ujar Satya. Pria itu merasa harus meminta maaf melihat wajah tidak nyama Gauri. Itu sebuah refleksi tubuh Satya. Otaknya tak lagi bisa menahan tubuhnya tadi. Mungkin karena terlalu khawatir melihat keadaan Gauri yang memprihatinkan.Dalam hati Gauri tak lagi ingin membahas hal itu karena hanya akan membuatnya teringat bagaimana harumnya tubuh Satya saat memeluknya tadi. Jangan lupakan juga sensasi hangat dan nyaman yang ciptakan dari pelukan itu.'Ya Allah! Aku mikir apa sih?' Gauri memarahi dirinya sendiri.Gauri meluruskan kepalanya. "Iya, gak apa-apa." Walau dengan tangan yang masih saling meremas di balik selimut. "Maaf juga udah bikin Mas Satya khawatir dan harus pulang," kata Gau
"Jadi, bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Ilham sedikit tidak sabaran. Dokter dengan jilbab putih itu sampai tersenyum kikuk sebab dia bahkan belum selesai memeriksa keadaan Gauri. Namun dia maklum setiap orang pasti sangat khawatir melihat sanak keluarga atau orang spesial mereka sedang sakit."Dari hasil pemeriksaan ... Mbak Gauri baik-baik aja. Hanya kelelahan," jawab dokter itu. "Saya akan memberinya obat. Bahkan jika Mbak Gauri mau pulang sekarang juga boleh," lanjutnya tersenyum manis ke arah Gauri.Tak beda jauh dengan Gauri yang juga tersenyum lega. Sarah yang berada di samping Gauri pun ikut mengucap 'Alhamdulillah' karena ternyata Gauri baik-baik saja."Terimakasih, Dok," ujar Gauri."Iya sama-sama," balas dokter itu seraya membereskan peralatannya. Dia lalu menoleh ke arah Ilham. "Mas-nya gak usah terlalu khawatir. Mbak-nya baik-baik aja kok," sambung dokter itu. Gegalat Ilham terlalu kentara jika pria itu memiliki perasaan pada
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba
Satya telah selesai dengan semua masakannya. Pria itu berniat mulai hari ini dia akan menyiapkan makanan untuk Gauri, untuk mereka. Untuk apa punya suami seorang koki jika tidak bisa menyenangkan istri, iya kan? Padahal Satya akui masakan Gauri tidak seburuk itu. Tapi, wanita itu sudah tidak percaya diri memasak untuk Satya lagi. Tidak apa-apa, lagipula Satya bahagia bisa memasak untuk Gauri.Makanan yang terlihat begitu indah dipandang mata dan pastinya enak kini tertata rapi di meja makan Gauri yang sederhana itu. Pria itu baru akan beranjak untuk mengajak Gauri sarapan namun Gauri datang lebih dulu dengan pakaian yang sudah rapih. Melihat makanan yang di atas meja membuat Gauri diam sejenak."Yuk sarapan dulu!" ajak Satya mempersilakan Gauri untuk duduk. Wanita itu tidak menjawab dan malah langsung duduk. Aroma masakan Satya menggelitik indra penciumannya membuat Gauri seketika lapar.Gauri benar-benar menikmati hidangan yang Satya s
Pada kenyataannya Satya tidak seberani itu mengatakan semuanya. Hal yang baru saja terjadi berasal dari angannya saja. Satya memang pergi dari sana namun bukan ke arah Gauri melainkan ke arah dapur. "Gak, Kak Ilham! Bukan gitu!" Gauri menampik. Wanita itu kemudian menunduk sebentar lalu mendongak kembali. "Aku bukannya gak suka sama Kak Ilham. Tapi, aku cuma gak mau terlibat dalam hubungan yang akan menimbulkan dosa," lanjut Gauri. Wanita itu bukanlah seorang wanita ahli agama namun dia masih tahu cara membatasi diri. Terbukti selama ini Gauri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Dia ramah dan tidak sedikit pria yang menyukainya sampai menyatakan cinta. Namun Gauri selalu menolak dengan halus. Alasan ingin fokus pada pekerjaan dan kuliah bukan hanya bualan semata. Gauri menekuni dua kegiatannya itu tanpa ingin terganggu hubungan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.Dan sekarang ditambah lagi statusnya sudah bersuami---walau hal itu masih disembun
[Gauri: Mas Satya malam ini mungkin aku bakalan pulang telat soalnya temen kerja ngajak buat makan malam di luar][Satya: Iya gak apa-apa😊]Mungkin Satya memang mengirim pesan itu dengan emot tersenyum namun di wajahnya tidak ada senyum sama sekali. Pria itu malah menghela napas panjang, menaruh ponselnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya."Loh, Bang Satya belum pulang?" tanya seorang pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitamnya, Yogie."Pengen lembur," jawab Satya santai."Ck!" Yogie mendengus. "Ganti cuti kemarin?" ejeknya pada pria yang terpaut lebih tua darinya dua tahun."Iya. Takutnya kalo gak diganti gajiku dipotong," canda Satya memasang wajah memelas yang justru membuat Yogie ingin memukul wajah tampan pria itu."Sumpah Bang! Pengen nonjok," ujar Yogie dengan wajah kesalnya. Bukannya takut Satya malah tertawa di sana.Yogie yang kini berbalut pakaian serba hitam itu merogoh kunc