Sesampainya di Jakarta. Hans membawa Cyntia masuk ke dalam apartemen di mana ia tinggal selama di Jakarta."Oh, jadi di sini tempat persembunyian Kakak dari kami semua," ucap Cyntia kemudian duduk di sofa ruang tengah."Kamar kamu di sebelah sana. Dan ini kamarku. Jangan pernah masuk ke dalam kamarku kalau aku tidak ada di sini."Cyntia mengerucutkan bibirnya. "Iyaa, iyaa. Kakak kan, nggak punya sekretaris. Kenapa nggak aku aja yang jadi sekretaris Kakak?"Hans menaikan alisnya sebelah. "Selalu ada niat terselubung apa pun yang kamu buat ini, yaa. Ya udah, kalau memang mau jadi sekretarisku. Jadi, aku tidak perlu lagi mencari kandidat untuk menjadi sekretarisku."Cyntia menerbitkan senyumnya dengan lebar kepada lelaki itu. "Oke! Aku akan membantu Kakak menyelesaikan semua kerjaan di kantor sini. Karena di Bandung, udah ada yang handle.""Good! Kalau kayak gini, nggak sia-sia kamu datang ke Jakarta."Cyntia lantas menyunggingkan bibirnya. Ia kemudian menoleh ke arah dapur hendak mencar
Hati Thania sangat lega mendengar ucapan dari Hans. "Kamu nggak bohong, kan?""Mana pernah aku bohong sama kamu, Thania. Kalau aku memang nggak terima, sudah sejak awal saat tahu kamu hamil aku nggak akan ngejar kamu lagi."Thania menghela napasnya dengan panjang. "Aku masih trauma soalnya. Gara-gara ditipu dan akhirnya malah bikin aku menderita.""Iya. Aku paham itu. Aku juga nggak maksa kamu buat percaya. Tapi, aku akan buktikan kalau aku tulus menerima dan mencintai kamu. Jadi, jangan berpikir yang aneh-aneh lagi, yaa. Kamu bisa melihatnya nanti."Thania menganggukan kepalanya. "Terima kasih, sudah mau kasih aku harapan untuk bisa mencintai lagi. Setelah gagal dalam rumah tangga meskipun saat ini masih bertahan.""No worry. Aku senang, bisa jadi alasan kamu untuk bisa tersenyum lagi dan merasakan bahagia itu."Thania kembali menerbitkan senyumnya. "Hans. Pak Dony akan bantu kamu untuk ke sini kalau kamu mau. Itu pun tidak bisa diprediksi kapan-kapannya. Karena kalau cuma di kantor
Pukul 19.00 WIB.Rani sudah tiba di rumah Thania dan William. Lelaki itu yang sedari tadi mendumel karena Thania yang tidak mau berkata jujur lalu menaikan kedua alisnya."Mami?" panggilnya dengan nada bingungnya. "Kenapa nggak kasih tahu dulu kalau mau ke sini?" tanyanya kemudian."Memangnya penting? Mami sudah menghubungi istri kamu dan katanya boleh, datang ke sini. Lagi pula kedatangan Mami ke sini bukan mau ketemu sama kamu. Tapi, sama Thania, anak menantu Mami!" tegasnya kemudian.Bahkan dari cara bicaranya pun sangat kelihatan bila perempuan berucap dengan ketus. Ia masih belum mau berdamai dengan anaknya karena telah menyakiti Thania.William hanya menelan saliva dengan pelan mendengar ucapan dari maminya itu. "Aku panggil dulu, Thania-nya. Mami duduk saja dulu di sana," ucap William dengan pelan sembari menunjuk sofa ruang tengah.Rani kemudian berjalan ke arah sofa lalu duduk di sana. Sementara William masuk ke dalam kamar memanggil Thania yang masih betah di dalam sana.Tha
Pukul 21.00 WIB.Reynold dan Hans menemui orang yang sudah dihubungi oleh Reynold di sebuah tempat yang sunyi dan gelap."Om. Di sini, tempatnya?" tanya Hans usai keluar dari dalam mobilnya.Reynold mengangguk. "Karena mereka mintanya ketemu di sini. Sebenarnya ini hanya markas kecil yang biasa digunakan oleh mereka untuk main judi, gapleh atau sekadar mabuk."Hans manggut-manggut dengan pelan. Sementara Reynold menghubungi teman yang bernama Rommy itu hendak memberi tahu bila dirinya sudah tiba di sana."Gue udah di depan markas kecil elo.""Oke! Tunggu di sana. Gue sebentar lagi keluar."Reynold menutup panggilan itu dan menoleh pada Hans yang tengah mengedarkan pandangannya di sekitar tempat itu."Kenapa, Hans? Sangat asing, dengan tempat ini? Tentu saja. Kamu anak baik-baik mana mungkin hafal dengan tempat-tempat seperti ini," ucap Reynold kemudian menyalakan sebatang rokok miliknya.Hans menoleh pada pamannya itu dan menatapnya. "Om terlalu berani untuk melakukan hal gila saat Om
Banyak hal yang belum Hans ketahui tentang kehidupan di masa lalu terutama tentang kematian sang kakak yang masih menjadi misteri.Di dalam kamarnya, ia merenung memikirkan ucapan dari Rommy tadi yang mana kasus kematian sang kakak ada campur tangan keluarga William."Kak Olive tidak pernah menceritakan tentang keluarga William. Dan nggak mungkin kalau dia memang salah satu dari keluarga William," ucapnya kemudian menghela napasnya dengan panjang."Di mana dia sekarang? Nomornya sudah tidak aktif, semakin sulit aku mencari keberadaan dia," ucapnya dengan pelan.Sedari tadi Hans mencoba menghubungi Olivia, namun sayangnya nomor milik perempuan itu sudah tidak aktif lagi."Aku akan mencari dalang pembunuhan Kak Erald. Walau bagaimanapun juga, kematian itu harus diungkap meski Kak Erald sudah pergi untuk selamanya."Hans kemudian mengambil ponselnya di mana ada pesan masuk dari Thania. Ia pun tersenyum kala melihatnya.Thania: [Nggak bisa tidur karena nunggu kabar dari kamu. Where are yo
Usia kandungan Thania sudah menginjak tiga bulan. Selama tiga bulan itu pula William tak pernah pergi ke luar kota maupun negeri. Hanya menunggu Thania, dan pulang kantor pun selalu tepat di jam lima sore."Kak. Lusa, Mr. Aston minta Kakak ke Amerika untuk bahas project yang kemarin Kakak tawarin ke mereka. Mereka ingin lihat sample dan menandatangi kontraknya," ujar Jenny memberi tahu William tentang project di Amerika."Harus aku, yang ke sana? Kalau diganti oleh yang lain, dianya mau atau tidak?" tanya William keberatan harus pergi ke Amerika.Jenny menggeleng. "Aku udah tanya soal ini dan katanya dia minta penjelasan langsung dari Kakak. Karena yang mencetuskan ide ini kan, Kakak sendiri. Desain pun Kakak yang buat."William menghela napasnya dengan panjang. "Harus lusa banget? Tidak bisa diundur satu atau dua minggu lagi?"Jenny menggeleng lagi. "Nggak, Kak. Kalau lusa nggak bisa datang, mereka mau cari yang lain aja. Bukannya Kakak nggak suka penolakan?"William berdecak pelan.
"Hi! Aku pikir kamu nggak mau angkat telepon dariku." Hans menghela napas lega setelah Thania akhirnya menerima panggilan darinya.Thania menghela napasnya. "Sibuk banget, yaa? Sampai tujuh pesan yang aku kirim nggak kamu baca sama sekali?""Banget. I'm sorry. Aku lagi dikejar deadline untuk project di Singapura yang harus aku selesaikan di minggu ini. Makanya nggak sempat chat kamu. Sorry.""Nggak apa-apa, Hans. Santai aja lagi. Lagian aku juga tadi lagi nonton film bagus banget. Jadi, agak lupa sama chat yang aku kirim tadi."Hans tersenyum mendengarnya juga lega karena Thania tidak marah padanya. "Thank you. Kamu memang selalu mengerti aku. By the way, aku belum sempat lihat chat kamu tadi. Ada apa, hm?"Thania menghela napas lagi. "Gini, Hans. Tadi, William bilang katanya dia mau ke Amerika satu sampai dua mingguan di sana. Ada project yang nggak bisa ditunda dan kamu tahu alasannya apa. Uangnya besar."Hans menyunggingkan senyum kecil lalu masuk ke dalam mobil dan melajukannya ta
Dua hari kemudian. Dengan berat hati William meninggalkan Thania ke Amerika selama dua minggu lamanya di sana."Jangan sampai Thania kabur apalagi menemui Hans. Jika Thania berani kabur, kalian akan dipecat dan tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di mana pun kalian melamar!" ancam William kepada Dony dan juga Zaky."Baik, Tuan. Anda tenang saja. Kami akan memperketat penjagaan dan kami pastikan Nona Thania tidak akan kabur. Karena Anda pun tahu, kondisi Nona Thania masih lemah semenjak hamil," ucap Dony meyakinkan William bila Thania pasti akan aman di tangannya.William mengangguk dan menghela napas kasar. "Ya. Kondisinya memang masih lemah. Seharusnya janin itu diangkat. Tapi, aku tidak mau Thania pergi karena sudah tidak ada lagi alasan untuk bertahan denganku."Dony menelan saliva dengan pelan. 'Kasihan sekali Nona Thania. Harus menahan derita karena janin di perutnya yang seharusnya diangkat malah dibiarkan karena keegeoisan suaminya,' ucapnya dalam hati.Pikiran dan batin Th
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani