Pukul 21.00 WIB.Reynold dan Hans menemui orang yang sudah dihubungi oleh Reynold di sebuah tempat yang sunyi dan gelap."Om. Di sini, tempatnya?" tanya Hans usai keluar dari dalam mobilnya.Reynold mengangguk. "Karena mereka mintanya ketemu di sini. Sebenarnya ini hanya markas kecil yang biasa digunakan oleh mereka untuk main judi, gapleh atau sekadar mabuk."Hans manggut-manggut dengan pelan. Sementara Reynold menghubungi teman yang bernama Rommy itu hendak memberi tahu bila dirinya sudah tiba di sana."Gue udah di depan markas kecil elo.""Oke! Tunggu di sana. Gue sebentar lagi keluar."Reynold menutup panggilan itu dan menoleh pada Hans yang tengah mengedarkan pandangannya di sekitar tempat itu."Kenapa, Hans? Sangat asing, dengan tempat ini? Tentu saja. Kamu anak baik-baik mana mungkin hafal dengan tempat-tempat seperti ini," ucap Reynold kemudian menyalakan sebatang rokok miliknya.Hans menoleh pada pamannya itu dan menatapnya. "Om terlalu berani untuk melakukan hal gila saat Om
Banyak hal yang belum Hans ketahui tentang kehidupan di masa lalu terutama tentang kematian sang kakak yang masih menjadi misteri.Di dalam kamarnya, ia merenung memikirkan ucapan dari Rommy tadi yang mana kasus kematian sang kakak ada campur tangan keluarga William."Kak Olive tidak pernah menceritakan tentang keluarga William. Dan nggak mungkin kalau dia memang salah satu dari keluarga William," ucapnya kemudian menghela napasnya dengan panjang."Di mana dia sekarang? Nomornya sudah tidak aktif, semakin sulit aku mencari keberadaan dia," ucapnya dengan pelan.Sedari tadi Hans mencoba menghubungi Olivia, namun sayangnya nomor milik perempuan itu sudah tidak aktif lagi."Aku akan mencari dalang pembunuhan Kak Erald. Walau bagaimanapun juga, kematian itu harus diungkap meski Kak Erald sudah pergi untuk selamanya."Hans kemudian mengambil ponselnya di mana ada pesan masuk dari Thania. Ia pun tersenyum kala melihatnya.Thania: [Nggak bisa tidur karena nunggu kabar dari kamu. Where are yo
Usia kandungan Thania sudah menginjak tiga bulan. Selama tiga bulan itu pula William tak pernah pergi ke luar kota maupun negeri. Hanya menunggu Thania, dan pulang kantor pun selalu tepat di jam lima sore."Kak. Lusa, Mr. Aston minta Kakak ke Amerika untuk bahas project yang kemarin Kakak tawarin ke mereka. Mereka ingin lihat sample dan menandatangi kontraknya," ujar Jenny memberi tahu William tentang project di Amerika."Harus aku, yang ke sana? Kalau diganti oleh yang lain, dianya mau atau tidak?" tanya William keberatan harus pergi ke Amerika.Jenny menggeleng. "Aku udah tanya soal ini dan katanya dia minta penjelasan langsung dari Kakak. Karena yang mencetuskan ide ini kan, Kakak sendiri. Desain pun Kakak yang buat."William menghela napasnya dengan panjang. "Harus lusa banget? Tidak bisa diundur satu atau dua minggu lagi?"Jenny menggeleng lagi. "Nggak, Kak. Kalau lusa nggak bisa datang, mereka mau cari yang lain aja. Bukannya Kakak nggak suka penolakan?"William berdecak pelan.
"Hi! Aku pikir kamu nggak mau angkat telepon dariku." Hans menghela napas lega setelah Thania akhirnya menerima panggilan darinya.Thania menghela napasnya. "Sibuk banget, yaa? Sampai tujuh pesan yang aku kirim nggak kamu baca sama sekali?""Banget. I'm sorry. Aku lagi dikejar deadline untuk project di Singapura yang harus aku selesaikan di minggu ini. Makanya nggak sempat chat kamu. Sorry.""Nggak apa-apa, Hans. Santai aja lagi. Lagian aku juga tadi lagi nonton film bagus banget. Jadi, agak lupa sama chat yang aku kirim tadi."Hans tersenyum mendengarnya juga lega karena Thania tidak marah padanya. "Thank you. Kamu memang selalu mengerti aku. By the way, aku belum sempat lihat chat kamu tadi. Ada apa, hm?"Thania menghela napas lagi. "Gini, Hans. Tadi, William bilang katanya dia mau ke Amerika satu sampai dua mingguan di sana. Ada project yang nggak bisa ditunda dan kamu tahu alasannya apa. Uangnya besar."Hans menyunggingkan senyum kecil lalu masuk ke dalam mobil dan melajukannya ta
Dua hari kemudian. Dengan berat hati William meninggalkan Thania ke Amerika selama dua minggu lamanya di sana."Jangan sampai Thania kabur apalagi menemui Hans. Jika Thania berani kabur, kalian akan dipecat dan tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di mana pun kalian melamar!" ancam William kepada Dony dan juga Zaky."Baik, Tuan. Anda tenang saja. Kami akan memperketat penjagaan dan kami pastikan Nona Thania tidak akan kabur. Karena Anda pun tahu, kondisi Nona Thania masih lemah semenjak hamil," ucap Dony meyakinkan William bila Thania pasti akan aman di tangannya.William mengangguk dan menghela napas kasar. "Ya. Kondisinya memang masih lemah. Seharusnya janin itu diangkat. Tapi, aku tidak mau Thania pergi karena sudah tidak ada lagi alasan untuk bertahan denganku."Dony menelan saliva dengan pelan. 'Kasihan sekali Nona Thania. Harus menahan derita karena janin di perutnya yang seharusnya diangkat malah dibiarkan karena keegeoisan suaminya,' ucapnya dalam hati.Pikiran dan batin Th
"Sekarang saya tanya pada Anda. Berapa, gaji yang diberikan oleh William pada Anda?" tanya Hans ingin tahu.Dony menelan saliva pelan. "Eum. Dua puluh juta, Tuan Hans. Saya dibayar hanya untuk menjaga Nona Thania agar tidak kabur."Hans menghela napasnya dengan panjang. "Saya tidak akan membawa kabur Thania. Saya hanya ingin bertemu dengannya, ingin melihat kondisi dia kalau dia memang baik-baik saja."Tidak lebih dari itu. Dan Anda juga mesti tahu, soal di Bandung kemarin, Thania memang ingin pergi ke sana untuk bertemu dengan orang tuanya dan juga memberi tahu mereka tentang kondisi rumah tangganya."Dony menganggukkan kepalanya. "Iya, Tuan. Saya tahu itu dan kami juga mempersilakan Anda untuk datang kemari asalkan tetap hati-hati. Tuan William selalu punya cara untuk memperketat penjagaan Nona Thania."Apa yang di ucapkan oleh Dony ada benarnya. Saat di Bandung pun tanpa sepengetahuan dia dan Thania, tiba-tiba saja orang itu datang dan menghajarnya juga membawa Thania ke Jakarta.H
Tok tok tok!"Permisi. Pesanan pie atas nama Nona Thania sudah sampai." Zaky membawakan pesanan itu ke dalam kamar Thania."Terima kasih, Pak. Pak Dony di mana, ya?" tanya Hans ingin tahu."Pak Dony sedang keluar sebentar, Tuan. Ada keluarganya datang ke sini."Hans manggut-manggut kemudian mengambil pie tersebut. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Pak.""Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya keluar lagi." Zaky pamit keluar lagi setelah memberikan pesanan pie milik Thania."Pie kamu sudah datang." Hans kemudian membuka kotak pie itu dan mengambil kue pie lalu menyuapi perempuan itu yang kini tengah menginginkan pie."Makasih, Hans. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot pesankan yang lagi aku inginkan.""Nggak apa-apa. Akunya yang mau dan menawarkan ini ke kamu. Lagi pula aku senang, karena kamu masih mau bergantung padaku. Setidaknya ada harapan untuk aku bisa bersama kamu suatu saat nanti. Karena kamu masih mengharapkan aku ada di samping kamu."Tak dapat ia pungkiri bila kini ia amat
"Kalimantan?" kata Dony sedikit terheran-heran karena selama ini William mencari Mhika ke luar negeri.Hans mengangguk. "Iya, Pak. Mhika ada di Kalimantan dan ini alamat dia tinggal. Biar saya saja yang merawat Thania di sini. Hanya butuh lima sampai tujuh hari saja di sana, Pak. Setelah itu, Anda bawa pulang Mhika ke sini."Dony manggut-manggut dengan pelan. "Kalau masih di Indonesia, saya pasti akan membawa Nona Mhika ke sini. Saya siap membawa dia kemari, Tuan Hans. Karena bantuan Anda lebih berarti bagi saya."Hans menghela napas lega karena Dony bisa mewakilkan dia mencari Mhika di Kalimantan."Baiklah. Saya lega mendengarnya, Pak Dony. Anda jangan khawatir. Semua akomodasi dan keperluan Anda akan saya penuhi semuanya. Kalau bisa, secepatnya Mhika dibawa ke Jakarta, Pak."Agar William fokus pada kehadiran Mhika dan saya bisa membawa Thania pergi dari dia. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi Thania kalau terlalu lama berada di sini. Setidaknya Thania baik-baik saja."Dony mengangg