"Katakan, Pak Dony. Saya ingin mendengarnya." Thania tampaknya sudah tak sabar ingin mendengar apa yang akan disampaikan Dony kepadanya.Dony kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya menatap wajah Thania dengan lekat."Tuan Hans ingin bertemu dengan Anda usai tiba di Jakarta. Kami memililki ide akan hal itu. Anda pun tahu, Tuan William akhir-akhir ini sangat sibuk bahkan akan bepergian ke luar kota atau negeri."Jadi, ada banyak waktu untuk Anda bertemu dengan Tuan Hans nanti. Saya akan membantu Tuan Hans untuk menemui Anda di sini tanpa diketahui oleh Tuan William. Itu pun jika Anda setuju dengan usul saya."Thania langsung menganggukkan kepalanya setelah diberi tahu akan membantu Hans untuk bertemu dengannya."Saya akan menyetujuinya jika memang itu tidak akan membahayakan dia, Pak. Saya ingin bertemu dengannya meski hanya sebentar. Jadi, tolong usahakan agar bisa membawa Hans kemari, Pak."Thania memohon kepada lelaki itu untuk membantunya bertemu dengan Hans. Dony kemudian
Sesampainya di Jakarta. Hans membawa Cyntia masuk ke dalam apartemen di mana ia tinggal selama di Jakarta."Oh, jadi di sini tempat persembunyian Kakak dari kami semua," ucap Cyntia kemudian duduk di sofa ruang tengah."Kamar kamu di sebelah sana. Dan ini kamarku. Jangan pernah masuk ke dalam kamarku kalau aku tidak ada di sini."Cyntia mengerucutkan bibirnya. "Iyaa, iyaa. Kakak kan, nggak punya sekretaris. Kenapa nggak aku aja yang jadi sekretaris Kakak?"Hans menaikan alisnya sebelah. "Selalu ada niat terselubung apa pun yang kamu buat ini, yaa. Ya udah, kalau memang mau jadi sekretarisku. Jadi, aku tidak perlu lagi mencari kandidat untuk menjadi sekretarisku."Cyntia menerbitkan senyumnya dengan lebar kepada lelaki itu. "Oke! Aku akan membantu Kakak menyelesaikan semua kerjaan di kantor sini. Karena di Bandung, udah ada yang handle.""Good! Kalau kayak gini, nggak sia-sia kamu datang ke Jakarta."Cyntia lantas menyunggingkan bibirnya. Ia kemudian menoleh ke arah dapur hendak mencar
Hati Thania sangat lega mendengar ucapan dari Hans. "Kamu nggak bohong, kan?""Mana pernah aku bohong sama kamu, Thania. Kalau aku memang nggak terima, sudah sejak awal saat tahu kamu hamil aku nggak akan ngejar kamu lagi."Thania menghela napasnya dengan panjang. "Aku masih trauma soalnya. Gara-gara ditipu dan akhirnya malah bikin aku menderita.""Iya. Aku paham itu. Aku juga nggak maksa kamu buat percaya. Tapi, aku akan buktikan kalau aku tulus menerima dan mencintai kamu. Jadi, jangan berpikir yang aneh-aneh lagi, yaa. Kamu bisa melihatnya nanti."Thania menganggukan kepalanya. "Terima kasih, sudah mau kasih aku harapan untuk bisa mencintai lagi. Setelah gagal dalam rumah tangga meskipun saat ini masih bertahan.""No worry. Aku senang, bisa jadi alasan kamu untuk bisa tersenyum lagi dan merasakan bahagia itu."Thania kembali menerbitkan senyumnya. "Hans. Pak Dony akan bantu kamu untuk ke sini kalau kamu mau. Itu pun tidak bisa diprediksi kapan-kapannya. Karena kalau cuma di kantor
Pukul 19.00 WIB.Rani sudah tiba di rumah Thania dan William. Lelaki itu yang sedari tadi mendumel karena Thania yang tidak mau berkata jujur lalu menaikan kedua alisnya."Mami?" panggilnya dengan nada bingungnya. "Kenapa nggak kasih tahu dulu kalau mau ke sini?" tanyanya kemudian."Memangnya penting? Mami sudah menghubungi istri kamu dan katanya boleh, datang ke sini. Lagi pula kedatangan Mami ke sini bukan mau ketemu sama kamu. Tapi, sama Thania, anak menantu Mami!" tegasnya kemudian.Bahkan dari cara bicaranya pun sangat kelihatan bila perempuan berucap dengan ketus. Ia masih belum mau berdamai dengan anaknya karena telah menyakiti Thania.William hanya menelan saliva dengan pelan mendengar ucapan dari maminya itu. "Aku panggil dulu, Thania-nya. Mami duduk saja dulu di sana," ucap William dengan pelan sembari menunjuk sofa ruang tengah.Rani kemudian berjalan ke arah sofa lalu duduk di sana. Sementara William masuk ke dalam kamar memanggil Thania yang masih betah di dalam sana.Tha
Pukul 21.00 WIB.Reynold dan Hans menemui orang yang sudah dihubungi oleh Reynold di sebuah tempat yang sunyi dan gelap."Om. Di sini, tempatnya?" tanya Hans usai keluar dari dalam mobilnya.Reynold mengangguk. "Karena mereka mintanya ketemu di sini. Sebenarnya ini hanya markas kecil yang biasa digunakan oleh mereka untuk main judi, gapleh atau sekadar mabuk."Hans manggut-manggut dengan pelan. Sementara Reynold menghubungi teman yang bernama Rommy itu hendak memberi tahu bila dirinya sudah tiba di sana."Gue udah di depan markas kecil elo.""Oke! Tunggu di sana. Gue sebentar lagi keluar."Reynold menutup panggilan itu dan menoleh pada Hans yang tengah mengedarkan pandangannya di sekitar tempat itu."Kenapa, Hans? Sangat asing, dengan tempat ini? Tentu saja. Kamu anak baik-baik mana mungkin hafal dengan tempat-tempat seperti ini," ucap Reynold kemudian menyalakan sebatang rokok miliknya.Hans menoleh pada pamannya itu dan menatapnya. "Om terlalu berani untuk melakukan hal gila saat Om
Banyak hal yang belum Hans ketahui tentang kehidupan di masa lalu terutama tentang kematian sang kakak yang masih menjadi misteri.Di dalam kamarnya, ia merenung memikirkan ucapan dari Rommy tadi yang mana kasus kematian sang kakak ada campur tangan keluarga William."Kak Olive tidak pernah menceritakan tentang keluarga William. Dan nggak mungkin kalau dia memang salah satu dari keluarga William," ucapnya kemudian menghela napasnya dengan panjang."Di mana dia sekarang? Nomornya sudah tidak aktif, semakin sulit aku mencari keberadaan dia," ucapnya dengan pelan.Sedari tadi Hans mencoba menghubungi Olivia, namun sayangnya nomor milik perempuan itu sudah tidak aktif lagi."Aku akan mencari dalang pembunuhan Kak Erald. Walau bagaimanapun juga, kematian itu harus diungkap meski Kak Erald sudah pergi untuk selamanya."Hans kemudian mengambil ponselnya di mana ada pesan masuk dari Thania. Ia pun tersenyum kala melihatnya.Thania: [Nggak bisa tidur karena nunggu kabar dari kamu. Where are yo
Usia kandungan Thania sudah menginjak tiga bulan. Selama tiga bulan itu pula William tak pernah pergi ke luar kota maupun negeri. Hanya menunggu Thania, dan pulang kantor pun selalu tepat di jam lima sore."Kak. Lusa, Mr. Aston minta Kakak ke Amerika untuk bahas project yang kemarin Kakak tawarin ke mereka. Mereka ingin lihat sample dan menandatangi kontraknya," ujar Jenny memberi tahu William tentang project di Amerika."Harus aku, yang ke sana? Kalau diganti oleh yang lain, dianya mau atau tidak?" tanya William keberatan harus pergi ke Amerika.Jenny menggeleng. "Aku udah tanya soal ini dan katanya dia minta penjelasan langsung dari Kakak. Karena yang mencetuskan ide ini kan, Kakak sendiri. Desain pun Kakak yang buat."William menghela napasnya dengan panjang. "Harus lusa banget? Tidak bisa diundur satu atau dua minggu lagi?"Jenny menggeleng lagi. "Nggak, Kak. Kalau lusa nggak bisa datang, mereka mau cari yang lain aja. Bukannya Kakak nggak suka penolakan?"William berdecak pelan.
"Hi! Aku pikir kamu nggak mau angkat telepon dariku." Hans menghela napas lega setelah Thania akhirnya menerima panggilan darinya.Thania menghela napasnya. "Sibuk banget, yaa? Sampai tujuh pesan yang aku kirim nggak kamu baca sama sekali?""Banget. I'm sorry. Aku lagi dikejar deadline untuk project di Singapura yang harus aku selesaikan di minggu ini. Makanya nggak sempat chat kamu. Sorry.""Nggak apa-apa, Hans. Santai aja lagi. Lagian aku juga tadi lagi nonton film bagus banget. Jadi, agak lupa sama chat yang aku kirim tadi."Hans tersenyum mendengarnya juga lega karena Thania tidak marah padanya. "Thank you. Kamu memang selalu mengerti aku. By the way, aku belum sempat lihat chat kamu tadi. Ada apa, hm?"Thania menghela napas lagi. "Gini, Hans. Tadi, William bilang katanya dia mau ke Amerika satu sampai dua mingguan di sana. Ada project yang nggak bisa ditunda dan kamu tahu alasannya apa. Uangnya besar."Hans menyunggingkan senyum kecil lalu masuk ke dalam mobil dan melajukannya ta