Thania kemudian memeluk Hans. Mengusapi punggung lelaki itu dan menghela napasnya dengan panjang."Aku harap kamu bisa menemukan titik terang ini, Hans. Kak Erald memang sudah pergi. Tapi, bukan berarti kita harus menerimanya dengan ikhlas jika sebenarnya kematian itu ada yang telah merencanakannya."Hans mengangguk pelan. Ia lalu mencium sisian wajah Thania dan menghela napasnya dengan panjang."Setelah urusan kamu dan William selesai, aku ingin menyelesaikan ini juga. Mencari Kak Olive, sebab dia kunci dari ini semua. Meski kematian Kak Erald sedang berada di kantor bahkan CCTV di sana mati tak berfungsi."Benar-benra di luar nalar. Kak Erald manusia yang taat. Mana mungkin bunuh diri sementara dia sangat takut pada Tuhan. Bahkan ibadahnya pun sangat rajin, lebih rajin dia dibanding aku."Thania mengangguk dengan pelan. "Ya. I know. Karena kamu masih sering kabur-kaburan dan sangat jail."Hans terkekeh pelan. Ia kemudian melepaskan pelukan itu lalu menghela napasnya dengan panjang.
Rommy sudah tiba di Kalimantan setelah kurang lebih dua jam lamanya ia terbang dari Jakarta ke Kalimantan. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Dony."Halo, Dony. Elo masih di tempat itu, kan?" tanyanya usai Dony menerima panggilan darinya."Iya, Pak. Saya masih di sini. Anda sudah di Kalimantan, Pak?" tanya Dony kemudian."Iya. Gue baru aja nyampe. Ya udah, elo tunggu di sana. Dua sampai tiga jam lagi gue nyampe.""Baik, Pak. Saya tunggu di sini," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Rommy lantas masuk ke dalam mobil yang sudah ia sewa untuk menyusul Dony ke tempat yang tertera pada alamat yang pernah ia berikan pada Hans.Sebab ia sangat yakin, Mhika masih berada di sana. Tak pernah pergi ke mana pun. Dengan uang sepuluh miliar yang pernah Rani berikan padanya, ia rasa sudah mencukupi hidupnya selama dua tahun ini.Sementara di Jakarta.Hans dan Thania tengah menikmati makan siang berdua di dalam kamar di sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Hans?" panggil Thani
Rommy mengetuk pintu rumah tersebut. Tak peduli dengan waktu yang sudah malam bahkan tengah malam itu. Yang penting dia bisa membawa pulang Mhika ke Jakarta.Tidak ada sahutan dari dalam sana. Rommy kembali mengetuk pintu tersebut sembari menoleh ke arah Dony yang hanya berdiri di sampingnya."Jangan khawatir. Gue yakin si Mhika ada di dalam. Kayaknya ini anak udah molor. Jam berapa sekarang?"Dony melihat jam yang melingkar di tangannya. "Jam sebelas, Pak."Rommy menghela napas kasar. Namun, tak lama kemudian ada suara orang yang berjalan ke arah mereka hendak membukakan pintu tersebut."Siapa sih, malam-malam begini gedor-gedor pintu? Ganggu banget!" gerutunya di dalam sana.Rommy menyunggingkan senyumnya kala mendengar suara itu. "Elo pasti masih hafal sama suara itu."Dony mengangguk. Kini ia merasa sangat lega karena Mhika memang ada di sana. Rumah sederhana yang dia tinggali terlihat lebih bagus dan luas dibanding dengan rumah lainnya yang ada di sana.Mhika kemudian membuka pin
Pagi harinya, jam sudah menunjuk angka tujuh pagi. Kedua pria itu bangun dari tidrunya yang mana mereka tidur dalam satu kamar di rumah Mhika. Sebab tidak akan pulang sebelum Mhika kembali ke Jakarta.Rommy menaikan kedua alisnya kala melihat anak kecil berusia satu tahun tengah duduk di sofa."Anak lo?" tanya Rommy sembari menunjuk anak kecil itu.Mhika mengangguk. "Iyalah. Masa anak tetangga. Ngurus dia aja gue ogah-ogahan."Rommy mencebikan bibirnya. "Tapi, karena ada anak ini elo bisa dapat duit banyak, kan?""Iya sih. Kalau gue nggak hamil, mungkin sampai sekarang gue masih digantung, statusnya sama William."Rommy menyunggingkan senyumnya. Ia pun duduk di sofa dan menatap Mhika dengan lekat."Elo harus ikut pulang sama kita. Kalau nggak, elo bakalan mati di tangan gue."Mhika memutar bola matanya. "Kan udah deal. Gimana sih lo!""Jangan kabur! Elo masih cinta apa nggak, sama William?"Mhika tersenyum miring mendengar pertanyaan dari lelaki itu. Ia kemudian menghela napasnya deng
Pukul 19.00 WIB.Mhika, Dony dan juga Rommy sudah sampai di Jakarta."Gue balik duluan. Besok harus operasi ke Palembang soalnya. Kalau si Hans nanya, tinggal elo jawab aja gitu," ucap Rommy pada Dony yang tengah menggendong anaknya Mhika karena tertidur.Dony menganggukkan kepalanya. "Terima kasih atas bantuannya, Pak Rommy.""Sama-sama. Kalau bukan karena Hans ngasih gue duit banyak, mana mau gue berangkat jauh-jauh dan ninggalin kerjaan gue. Dah! Gue balik duluan." Rommy menepuk pundak Dony lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menyusulnya.Sementara Dony menunggu Mhika yang tengah pergi ke toilet terlebih dahulu sembari menunggu taksi yang sudah mereka pesan."Selamat malam, Tuan Hans. Kami sudah tiba di Jakarta. Sepertinya Nona Mhika tidak bisa langsung ke rumah itu, Tuan. Bukankah kita harus kasih tahu Tuan William terlebih dahulu?"Dony menghubungi Hans untuk memastikan akan dibawa ke mana, perempuan itu. Sebab bila dibawa ke rumah William rasanya tidak mungkin."Saya punya satu
Mhika mengembalikan ponsel kepada sang pemiliknya—Dony. "Nih. Udah selesai, kan?"Dony mengambil ponselnya dan menatap wajah Mhika yang kembali seperti semula. "Apa saja yang beliau katakan kepada Anda, Nona Mhika?" tanya Dony ingin tahu.Mhika menghela napasnya dengan panjang. "Nggak boleh ke mana-mana. Nanti dia nyusul ke sini dan dua hari lagi dia pulang."Dony manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya tugas saya untuk hari ini sudah selesai. Setelah Tuan William sampai, ada lagi yang mesti kita lakukan agar bisa membuat Nona Thania dan Tuan William bercerai."Mhika menganggukkan kepalanya. "Ya. Kalian atur saja lah. Aku hanya ikuti kemauan kalian. Lagi pula, kembali pada William bukanlah suatu kesalahan. Karena dia masih mencintaiku, aku pun juga sama."Dony mengulas senyumnya. "Semoga kalian bisa langgeng sampai tua nanti."Mhika tersenyum miring. "Asalkan keluarganya tidak membenciku, sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi, jika mereka masih membuangku, yaa aku pu
Usai menemani Thania sarapan dan membuatkan susu ibu hamil untuknya, Hans bergegas berangkat ke hotel menemui Mhika untuk menyampaikan semua yang ingin dia sampaikan kepada perempuan itu."Selamat pagi. Saya Hans. Bisa ketemu di restoran hotel sekarang juga?" Hans menghubungi Mhika setelah mendapat nomor teleponnya dari Dony."Bisa. Kebetulan aku lagi di restoran, lagi sarapan. Kamu ke sini saja.""Baik. Sebentar lagi saya tiba di sana." Hans kemudian menutup panggilan tersebut dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju hotel tempat di mana Mhika berada kini sampai William tiba.Lima belas menit kemudian, Hans sudah sampai di sana. Ia melangkahkan kakinya dengan lebar menuju restoran. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Mhika dan menyampaikan semuanya kepada perempuan itu agar Thania segera keluar dari rumah tangga toxic itu."Mhika?" Hans duduk di depan perempuan itu lalu mengulas senyum tipis."Oh. Jadi kamu, yang namanya Hans. Pacarnya Thania?"Hans mengulas senyum
William terdiam mendengar pertanyaan dari kekasihnya itu. Ia tak tahu dan bingung harus jawab apa sementara kini Thania tengah mengandung anaknya."William?" Mhika memanggil lelaki itu sebab tidak menjawab apa pun.Mhika menaikan kedua alisnya sembari menatap Hans. Lalu menggeleng pelan menandakan bila William belum mau menjawab pertanyaan darinya tadi."Sorry, Sayang. Tadi signalnya agak ngelag. Kamu nanya apa tadi, heum?"Mhika tersenyum miring mendengarnya. "Kamu kapan pulang? Jam berapa tiba di Indonesia?" tanyanya kemudian. Ia sangat yakin, William tidak akan pernah mau memberi tahu dirinya bila dia sudah menikah."Oh! Malam ini aku berangkat, Sayang.""Oh. Baiklah. Semoga selamat sampai tujuan, Sayang. Sudah lama sekali aku tidak pernah melihat wajah kamu. Aku benar-benar rindu pelukan kamu dan semuanya.""Sayang. Jangan buat aku semakin merasa bersalah. Aku akan segera pulang, maafkan aku karena aku tidak mencarimu dengan baik. Aku sangat minta maaf soal itu."'Dan aku belum be