“K—kok mendadak sekali ya, Mi, mau ke rumahku.” Thania berucap dengan pelan lalu menggigit jarinya karena Hans belum juga keluar dari kamar mandi.
“Iya, Sayang. Mami baru aja selesai buatin brownies dan mau dibawa ke rumah kamu. Sekitar setengah jam lagi Mami sampai. Kamu sudah mandi?”
“Be—belum, Mi. Aku baru bangun soalnya.”
“Oh, ya sudah kalau begitu. Kamu mandi dulu. Mami juga mau siap-siap dulu.” Rani kemudian menutup panggilan tersebut usai memberi tahu bila dirinya hendak ke rumah Thania.
Perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menggigit bibir bawahnya melirik ke pintu kamar mandi di mana Hans belum juga keluar.
“Kenapa terasa lama, padahal baru lima menit Hans masuk ke kamar mandi. Mungkin karena aku sedang panik, makanya terasa lama.” Thania menghela napasnya lagi.
Tak lama kemudian, Hans akhirnya k
Hans kembali mencari barang-barang lainnya yang akan ia jadikan sebagai alat bukti jika memang lelaki itu telah membunuh kakaknya. Ia tak akan diam saja setelah hampir tujuh tahun lamanya kematian Erald masih belum tahu siapa dalang di balik ini semua.Di dalam lemari arsip, Hans membuka satu persatu ordner di dalam sana. Banyak sekali file yang disimpan oleh lelaki itu di sana."Transaksi ilegal pun dia simpan di sini. Sepertinya memang sengaja dia simpan di sini agar tidak ketahuan," ucap Hans dengan tangan terus mencari file yang bisa ia jadikan bukti nanti.Hans makin tak percaya bila nama Erald ada di dalam daftar hitam yang disimpan oleh William."Kenapa juga William mengenal Kak Erald? Apa hubungan mereka kala itu?" tanyanya dengan pelan.Hans menghela napas kasar sebab tidak menemukan satu bukti apa pun yang ada di sana untuk dia jadikan bukti. Ia kemudian memijat keningnya dan menatap nama sang kakak yang masih ia genggam itu."Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian? Ke
Thania kemudian memeluk Hans. Mengusapi punggung lelaki itu dan menghela napasnya dengan panjang."Aku harap kamu bisa menemukan titik terang ini, Hans. Kak Erald memang sudah pergi. Tapi, bukan berarti kita harus menerimanya dengan ikhlas jika sebenarnya kematian itu ada yang telah merencanakannya."Hans mengangguk pelan. Ia lalu mencium sisian wajah Thania dan menghela napasnya dengan panjang."Setelah urusan kamu dan William selesai, aku ingin menyelesaikan ini juga. Mencari Kak Olive, sebab dia kunci dari ini semua. Meski kematian Kak Erald sedang berada di kantor bahkan CCTV di sana mati tak berfungsi."Benar-benra di luar nalar. Kak Erald manusia yang taat. Mana mungkin bunuh diri sementara dia sangat takut pada Tuhan. Bahkan ibadahnya pun sangat rajin, lebih rajin dia dibanding aku."Thania mengangguk dengan pelan. "Ya. I know. Karena kamu masih sering kabur-kaburan dan sangat jail."Hans terkekeh pelan. Ia kemudian melepaskan pelukan itu lalu menghela napasnya dengan panjang.
Rommy sudah tiba di Kalimantan setelah kurang lebih dua jam lamanya ia terbang dari Jakarta ke Kalimantan. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Dony."Halo, Dony. Elo masih di tempat itu, kan?" tanyanya usai Dony menerima panggilan darinya."Iya, Pak. Saya masih di sini. Anda sudah di Kalimantan, Pak?" tanya Dony kemudian."Iya. Gue baru aja nyampe. Ya udah, elo tunggu di sana. Dua sampai tiga jam lagi gue nyampe.""Baik, Pak. Saya tunggu di sini," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Rommy lantas masuk ke dalam mobil yang sudah ia sewa untuk menyusul Dony ke tempat yang tertera pada alamat yang pernah ia berikan pada Hans.Sebab ia sangat yakin, Mhika masih berada di sana. Tak pernah pergi ke mana pun. Dengan uang sepuluh miliar yang pernah Rani berikan padanya, ia rasa sudah mencukupi hidupnya selama dua tahun ini.Sementara di Jakarta.Hans dan Thania tengah menikmati makan siang berdua di dalam kamar di sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Hans?" panggil Thani
Rommy mengetuk pintu rumah tersebut. Tak peduli dengan waktu yang sudah malam bahkan tengah malam itu. Yang penting dia bisa membawa pulang Mhika ke Jakarta.Tidak ada sahutan dari dalam sana. Rommy kembali mengetuk pintu tersebut sembari menoleh ke arah Dony yang hanya berdiri di sampingnya."Jangan khawatir. Gue yakin si Mhika ada di dalam. Kayaknya ini anak udah molor. Jam berapa sekarang?"Dony melihat jam yang melingkar di tangannya. "Jam sebelas, Pak."Rommy menghela napas kasar. Namun, tak lama kemudian ada suara orang yang berjalan ke arah mereka hendak membukakan pintu tersebut."Siapa sih, malam-malam begini gedor-gedor pintu? Ganggu banget!" gerutunya di dalam sana.Rommy menyunggingkan senyumnya kala mendengar suara itu. "Elo pasti masih hafal sama suara itu."Dony mengangguk. Kini ia merasa sangat lega karena Mhika memang ada di sana. Rumah sederhana yang dia tinggali terlihat lebih bagus dan luas dibanding dengan rumah lainnya yang ada di sana.Mhika kemudian membuka pin
Pagi harinya, jam sudah menunjuk angka tujuh pagi. Kedua pria itu bangun dari tidrunya yang mana mereka tidur dalam satu kamar di rumah Mhika. Sebab tidak akan pulang sebelum Mhika kembali ke Jakarta.Rommy menaikan kedua alisnya kala melihat anak kecil berusia satu tahun tengah duduk di sofa."Anak lo?" tanya Rommy sembari menunjuk anak kecil itu.Mhika mengangguk. "Iyalah. Masa anak tetangga. Ngurus dia aja gue ogah-ogahan."Rommy mencebikan bibirnya. "Tapi, karena ada anak ini elo bisa dapat duit banyak, kan?""Iya sih. Kalau gue nggak hamil, mungkin sampai sekarang gue masih digantung, statusnya sama William."Rommy menyunggingkan senyumnya. Ia pun duduk di sofa dan menatap Mhika dengan lekat."Elo harus ikut pulang sama kita. Kalau nggak, elo bakalan mati di tangan gue."Mhika memutar bola matanya. "Kan udah deal. Gimana sih lo!""Jangan kabur! Elo masih cinta apa nggak, sama William?"Mhika tersenyum miring mendengar pertanyaan dari lelaki itu. Ia kemudian menghela napasnya deng
Pukul 19.00 WIB.Mhika, Dony dan juga Rommy sudah sampai di Jakarta."Gue balik duluan. Besok harus operasi ke Palembang soalnya. Kalau si Hans nanya, tinggal elo jawab aja gitu," ucap Rommy pada Dony yang tengah menggendong anaknya Mhika karena tertidur.Dony menganggukkan kepalanya. "Terima kasih atas bantuannya, Pak Rommy.""Sama-sama. Kalau bukan karena Hans ngasih gue duit banyak, mana mau gue berangkat jauh-jauh dan ninggalin kerjaan gue. Dah! Gue balik duluan." Rommy menepuk pundak Dony lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menyusulnya.Sementara Dony menunggu Mhika yang tengah pergi ke toilet terlebih dahulu sembari menunggu taksi yang sudah mereka pesan."Selamat malam, Tuan Hans. Kami sudah tiba di Jakarta. Sepertinya Nona Mhika tidak bisa langsung ke rumah itu, Tuan. Bukankah kita harus kasih tahu Tuan William terlebih dahulu?"Dony menghubungi Hans untuk memastikan akan dibawa ke mana, perempuan itu. Sebab bila dibawa ke rumah William rasanya tidak mungkin."Saya punya satu
Mhika mengembalikan ponsel kepada sang pemiliknya—Dony. "Nih. Udah selesai, kan?"Dony mengambil ponselnya dan menatap wajah Mhika yang kembali seperti semula. "Apa saja yang beliau katakan kepada Anda, Nona Mhika?" tanya Dony ingin tahu.Mhika menghela napasnya dengan panjang. "Nggak boleh ke mana-mana. Nanti dia nyusul ke sini dan dua hari lagi dia pulang."Dony manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya tugas saya untuk hari ini sudah selesai. Setelah Tuan William sampai, ada lagi yang mesti kita lakukan agar bisa membuat Nona Thania dan Tuan William bercerai."Mhika menganggukkan kepalanya. "Ya. Kalian atur saja lah. Aku hanya ikuti kemauan kalian. Lagi pula, kembali pada William bukanlah suatu kesalahan. Karena dia masih mencintaiku, aku pun juga sama."Dony mengulas senyumnya. "Semoga kalian bisa langgeng sampai tua nanti."Mhika tersenyum miring. "Asalkan keluarganya tidak membenciku, sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi, jika mereka masih membuangku, yaa aku pu
Usai menemani Thania sarapan dan membuatkan susu ibu hamil untuknya, Hans bergegas berangkat ke hotel menemui Mhika untuk menyampaikan semua yang ingin dia sampaikan kepada perempuan itu."Selamat pagi. Saya Hans. Bisa ketemu di restoran hotel sekarang juga?" Hans menghubungi Mhika setelah mendapat nomor teleponnya dari Dony."Bisa. Kebetulan aku lagi di restoran, lagi sarapan. Kamu ke sini saja.""Baik. Sebentar lagi saya tiba di sana." Hans kemudian menutup panggilan tersebut dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju hotel tempat di mana Mhika berada kini sampai William tiba.Lima belas menit kemudian, Hans sudah sampai di sana. Ia melangkahkan kakinya dengan lebar menuju restoran. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Mhika dan menyampaikan semuanya kepada perempuan itu agar Thania segera keluar dari rumah tangga toxic itu."Mhika?" Hans duduk di depan perempuan itu lalu mengulas senyum tipis."Oh. Jadi kamu, yang namanya Hans. Pacarnya Thania?"Hans mengulas senyum