Keesokan harinya, Dony berangkat ke Kalimantan sangat pagi sekali agar langsung mencari alamat di mana Mhika kini berada.
Sementara Thania baru bangun dari tidurnya. Ia melihat ada Hans di sampingnya membuat ia mengulas senyumnya.
"Andai bisa setiap hari aku lihat wajah Hans di sisiku. Mungkin aku tidak akan seperti ini," gumamnya sembari menatap wajah Hans yang masih menutup matanya itu.
Namun, tak lama kemudian Hans membuka matanya. Ia menolehkan kepalanya ke arah Thania dan tersenyum.
"Morning. Sudah dari tadi, bangunnya?" tanya Hans kepada Thania.
"Baru aja. Kamu hari ini beneran nggak akan masuk kantor?" tanyanya kemudian.
Hans bangun dari tidurnya kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur lalu menggeleng dengan pelan.
"Nggak, Thania. Aku akan di sini menunggu kamu sampai William pulang. Pak Dony sudah berangkat kayaknya," u
“K—kok mendadak sekali ya, Mi, mau ke rumahku.” Thania berucap dengan pelan lalu menggigit jarinya karena Hans belum juga keluar dari kamar mandi.“Iya, Sayang. Mami baru aja selesai buatin brownies dan mau dibawa ke rumah kamu. Sekitar setengah jam lagi Mami sampai. Kamu sudah mandi?”“Be—belum, Mi. Aku baru bangun soalnya.”“Oh, ya sudah kalau begitu. Kamu mandi dulu. Mami juga mau siap-siap dulu.” Rani kemudian menutup panggilan tersebut usai memberi tahu bila dirinya hendak ke rumah Thania.Perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menggigit bibir bawahnya melirik ke pintu kamar mandi di mana Hans belum juga keluar.“Kenapa terasa lama, padahal baru lima menit Hans masuk ke kamar mandi. Mungkin karena aku sedang panik, makanya terasa lama.” Thania menghela napasnya lagi.Tak lama kemudian, Hans akhirnya k
Hans kembali mencari barang-barang lainnya yang akan ia jadikan sebagai alat bukti jika memang lelaki itu telah membunuh kakaknya. Ia tak akan diam saja setelah hampir tujuh tahun lamanya kematian Erald masih belum tahu siapa dalang di balik ini semua.Di dalam lemari arsip, Hans membuka satu persatu ordner di dalam sana. Banyak sekali file yang disimpan oleh lelaki itu di sana."Transaksi ilegal pun dia simpan di sini. Sepertinya memang sengaja dia simpan di sini agar tidak ketahuan," ucap Hans dengan tangan terus mencari file yang bisa ia jadikan bukti nanti.Hans makin tak percaya bila nama Erald ada di dalam daftar hitam yang disimpan oleh William."Kenapa juga William mengenal Kak Erald? Apa hubungan mereka kala itu?" tanyanya dengan pelan.Hans menghela napas kasar sebab tidak menemukan satu bukti apa pun yang ada di sana untuk dia jadikan bukti. Ia kemudian memijat keningnya dan menatap nama sang kakak yang masih ia genggam itu."Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian? Ke
Thania kemudian memeluk Hans. Mengusapi punggung lelaki itu dan menghela napasnya dengan panjang."Aku harap kamu bisa menemukan titik terang ini, Hans. Kak Erald memang sudah pergi. Tapi, bukan berarti kita harus menerimanya dengan ikhlas jika sebenarnya kematian itu ada yang telah merencanakannya."Hans mengangguk pelan. Ia lalu mencium sisian wajah Thania dan menghela napasnya dengan panjang."Setelah urusan kamu dan William selesai, aku ingin menyelesaikan ini juga. Mencari Kak Olive, sebab dia kunci dari ini semua. Meski kematian Kak Erald sedang berada di kantor bahkan CCTV di sana mati tak berfungsi."Benar-benra di luar nalar. Kak Erald manusia yang taat. Mana mungkin bunuh diri sementara dia sangat takut pada Tuhan. Bahkan ibadahnya pun sangat rajin, lebih rajin dia dibanding aku."Thania mengangguk dengan pelan. "Ya. I know. Karena kamu masih sering kabur-kaburan dan sangat jail."Hans terkekeh pelan. Ia kemudian melepaskan pelukan itu lalu menghela napasnya dengan panjang.
Rommy sudah tiba di Kalimantan setelah kurang lebih dua jam lamanya ia terbang dari Jakarta ke Kalimantan. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Dony."Halo, Dony. Elo masih di tempat itu, kan?" tanyanya usai Dony menerima panggilan darinya."Iya, Pak. Saya masih di sini. Anda sudah di Kalimantan, Pak?" tanya Dony kemudian."Iya. Gue baru aja nyampe. Ya udah, elo tunggu di sana. Dua sampai tiga jam lagi gue nyampe.""Baik, Pak. Saya tunggu di sini," ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Rommy lantas masuk ke dalam mobil yang sudah ia sewa untuk menyusul Dony ke tempat yang tertera pada alamat yang pernah ia berikan pada Hans.Sebab ia sangat yakin, Mhika masih berada di sana. Tak pernah pergi ke mana pun. Dengan uang sepuluh miliar yang pernah Rani berikan padanya, ia rasa sudah mencukupi hidupnya selama dua tahun ini.Sementara di Jakarta.Hans dan Thania tengah menikmati makan siang berdua di dalam kamar di sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Hans?" panggil Thani
Rommy mengetuk pintu rumah tersebut. Tak peduli dengan waktu yang sudah malam bahkan tengah malam itu. Yang penting dia bisa membawa pulang Mhika ke Jakarta.Tidak ada sahutan dari dalam sana. Rommy kembali mengetuk pintu tersebut sembari menoleh ke arah Dony yang hanya berdiri di sampingnya."Jangan khawatir. Gue yakin si Mhika ada di dalam. Kayaknya ini anak udah molor. Jam berapa sekarang?"Dony melihat jam yang melingkar di tangannya. "Jam sebelas, Pak."Rommy menghela napas kasar. Namun, tak lama kemudian ada suara orang yang berjalan ke arah mereka hendak membukakan pintu tersebut."Siapa sih, malam-malam begini gedor-gedor pintu? Ganggu banget!" gerutunya di dalam sana.Rommy menyunggingkan senyumnya kala mendengar suara itu. "Elo pasti masih hafal sama suara itu."Dony mengangguk. Kini ia merasa sangat lega karena Mhika memang ada di sana. Rumah sederhana yang dia tinggali terlihat lebih bagus dan luas dibanding dengan rumah lainnya yang ada di sana.Mhika kemudian membuka pin
Pagi harinya, jam sudah menunjuk angka tujuh pagi. Kedua pria itu bangun dari tidrunya yang mana mereka tidur dalam satu kamar di rumah Mhika. Sebab tidak akan pulang sebelum Mhika kembali ke Jakarta.Rommy menaikan kedua alisnya kala melihat anak kecil berusia satu tahun tengah duduk di sofa."Anak lo?" tanya Rommy sembari menunjuk anak kecil itu.Mhika mengangguk. "Iyalah. Masa anak tetangga. Ngurus dia aja gue ogah-ogahan."Rommy mencebikan bibirnya. "Tapi, karena ada anak ini elo bisa dapat duit banyak, kan?""Iya sih. Kalau gue nggak hamil, mungkin sampai sekarang gue masih digantung, statusnya sama William."Rommy menyunggingkan senyumnya. Ia pun duduk di sofa dan menatap Mhika dengan lekat."Elo harus ikut pulang sama kita. Kalau nggak, elo bakalan mati di tangan gue."Mhika memutar bola matanya. "Kan udah deal. Gimana sih lo!""Jangan kabur! Elo masih cinta apa nggak, sama William?"Mhika tersenyum miring mendengar pertanyaan dari lelaki itu. Ia kemudian menghela napasnya deng
Pukul 19.00 WIB.Mhika, Dony dan juga Rommy sudah sampai di Jakarta."Gue balik duluan. Besok harus operasi ke Palembang soalnya. Kalau si Hans nanya, tinggal elo jawab aja gitu," ucap Rommy pada Dony yang tengah menggendong anaknya Mhika karena tertidur.Dony menganggukkan kepalanya. "Terima kasih atas bantuannya, Pak Rommy.""Sama-sama. Kalau bukan karena Hans ngasih gue duit banyak, mana mau gue berangkat jauh-jauh dan ninggalin kerjaan gue. Dah! Gue balik duluan." Rommy menepuk pundak Dony lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menyusulnya.Sementara Dony menunggu Mhika yang tengah pergi ke toilet terlebih dahulu sembari menunggu taksi yang sudah mereka pesan."Selamat malam, Tuan Hans. Kami sudah tiba di Jakarta. Sepertinya Nona Mhika tidak bisa langsung ke rumah itu, Tuan. Bukankah kita harus kasih tahu Tuan William terlebih dahulu?"Dony menghubungi Hans untuk memastikan akan dibawa ke mana, perempuan itu. Sebab bila dibawa ke rumah William rasanya tidak mungkin."Saya punya satu
Mhika mengembalikan ponsel kepada sang pemiliknya—Dony. "Nih. Udah selesai, kan?"Dony mengambil ponselnya dan menatap wajah Mhika yang kembali seperti semula. "Apa saja yang beliau katakan kepada Anda, Nona Mhika?" tanya Dony ingin tahu.Mhika menghela napasnya dengan panjang. "Nggak boleh ke mana-mana. Nanti dia nyusul ke sini dan dua hari lagi dia pulang."Dony manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya tugas saya untuk hari ini sudah selesai. Setelah Tuan William sampai, ada lagi yang mesti kita lakukan agar bisa membuat Nona Thania dan Tuan William bercerai."Mhika menganggukkan kepalanya. "Ya. Kalian atur saja lah. Aku hanya ikuti kemauan kalian. Lagi pula, kembali pada William bukanlah suatu kesalahan. Karena dia masih mencintaiku, aku pun juga sama."Dony mengulas senyumnya. "Semoga kalian bisa langgeng sampai tua nanti."Mhika tersenyum miring. "Asalkan keluarganya tidak membenciku, sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi, jika mereka masih membuangku, yaa aku pu
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani