Pagi harinya, jam sudah menunjuk angka tujuh pagi. Kedua pria itu bangun dari tidrunya yang mana mereka tidur dalam satu kamar di rumah Mhika. Sebab tidak akan pulang sebelum Mhika kembali ke Jakarta.Rommy menaikan kedua alisnya kala melihat anak kecil berusia satu tahun tengah duduk di sofa."Anak lo?" tanya Rommy sembari menunjuk anak kecil itu.Mhika mengangguk. "Iyalah. Masa anak tetangga. Ngurus dia aja gue ogah-ogahan."Rommy mencebikan bibirnya. "Tapi, karena ada anak ini elo bisa dapat duit banyak, kan?""Iya sih. Kalau gue nggak hamil, mungkin sampai sekarang gue masih digantung, statusnya sama William."Rommy menyunggingkan senyumnya. Ia pun duduk di sofa dan menatap Mhika dengan lekat."Elo harus ikut pulang sama kita. Kalau nggak, elo bakalan mati di tangan gue."Mhika memutar bola matanya. "Kan udah deal. Gimana sih lo!""Jangan kabur! Elo masih cinta apa nggak, sama William?"Mhika tersenyum miring mendengar pertanyaan dari lelaki itu. Ia kemudian menghela napasnya deng
Pukul 19.00 WIB.Mhika, Dony dan juga Rommy sudah sampai di Jakarta."Gue balik duluan. Besok harus operasi ke Palembang soalnya. Kalau si Hans nanya, tinggal elo jawab aja gitu," ucap Rommy pada Dony yang tengah menggendong anaknya Mhika karena tertidur.Dony menganggukkan kepalanya. "Terima kasih atas bantuannya, Pak Rommy.""Sama-sama. Kalau bukan karena Hans ngasih gue duit banyak, mana mau gue berangkat jauh-jauh dan ninggalin kerjaan gue. Dah! Gue balik duluan." Rommy menepuk pundak Dony lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menyusulnya.Sementara Dony menunggu Mhika yang tengah pergi ke toilet terlebih dahulu sembari menunggu taksi yang sudah mereka pesan."Selamat malam, Tuan Hans. Kami sudah tiba di Jakarta. Sepertinya Nona Mhika tidak bisa langsung ke rumah itu, Tuan. Bukankah kita harus kasih tahu Tuan William terlebih dahulu?"Dony menghubungi Hans untuk memastikan akan dibawa ke mana, perempuan itu. Sebab bila dibawa ke rumah William rasanya tidak mungkin."Saya punya satu
Mhika mengembalikan ponsel kepada sang pemiliknya—Dony. "Nih. Udah selesai, kan?"Dony mengambil ponselnya dan menatap wajah Mhika yang kembali seperti semula. "Apa saja yang beliau katakan kepada Anda, Nona Mhika?" tanya Dony ingin tahu.Mhika menghela napasnya dengan panjang. "Nggak boleh ke mana-mana. Nanti dia nyusul ke sini dan dua hari lagi dia pulang."Dony manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya tugas saya untuk hari ini sudah selesai. Setelah Tuan William sampai, ada lagi yang mesti kita lakukan agar bisa membuat Nona Thania dan Tuan William bercerai."Mhika menganggukkan kepalanya. "Ya. Kalian atur saja lah. Aku hanya ikuti kemauan kalian. Lagi pula, kembali pada William bukanlah suatu kesalahan. Karena dia masih mencintaiku, aku pun juga sama."Dony mengulas senyumnya. "Semoga kalian bisa langgeng sampai tua nanti."Mhika tersenyum miring. "Asalkan keluarganya tidak membenciku, sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi, jika mereka masih membuangku, yaa aku pu
Usai menemani Thania sarapan dan membuatkan susu ibu hamil untuknya, Hans bergegas berangkat ke hotel menemui Mhika untuk menyampaikan semua yang ingin dia sampaikan kepada perempuan itu."Selamat pagi. Saya Hans. Bisa ketemu di restoran hotel sekarang juga?" Hans menghubungi Mhika setelah mendapat nomor teleponnya dari Dony."Bisa. Kebetulan aku lagi di restoran, lagi sarapan. Kamu ke sini saja.""Baik. Sebentar lagi saya tiba di sana." Hans kemudian menutup panggilan tersebut dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju hotel tempat di mana Mhika berada kini sampai William tiba.Lima belas menit kemudian, Hans sudah sampai di sana. Ia melangkahkan kakinya dengan lebar menuju restoran. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Mhika dan menyampaikan semuanya kepada perempuan itu agar Thania segera keluar dari rumah tangga toxic itu."Mhika?" Hans duduk di depan perempuan itu lalu mengulas senyum tipis."Oh. Jadi kamu, yang namanya Hans. Pacarnya Thania?"Hans mengulas senyum
William terdiam mendengar pertanyaan dari kekasihnya itu. Ia tak tahu dan bingung harus jawab apa sementara kini Thania tengah mengandung anaknya."William?" Mhika memanggil lelaki itu sebab tidak menjawab apa pun.Mhika menaikan kedua alisnya sembari menatap Hans. Lalu menggeleng pelan menandakan bila William belum mau menjawab pertanyaan darinya tadi."Sorry, Sayang. Tadi signalnya agak ngelag. Kamu nanya apa tadi, heum?"Mhika tersenyum miring mendengarnya. "Kamu kapan pulang? Jam berapa tiba di Indonesia?" tanyanya kemudian. Ia sangat yakin, William tidak akan pernah mau memberi tahu dirinya bila dia sudah menikah."Oh! Malam ini aku berangkat, Sayang.""Oh. Baiklah. Semoga selamat sampai tujuan, Sayang. Sudah lama sekali aku tidak pernah melihat wajah kamu. Aku benar-benar rindu pelukan kamu dan semuanya.""Sayang. Jangan buat aku semakin merasa bersalah. Aku akan segera pulang, maafkan aku karena aku tidak mencarimu dengan baik. Aku sangat minta maaf soal itu."'Dan aku belum be
Keesokan harinya ...."Aku harus pulang sekarang. Kamu jangan khawatir dan takut, Pak Dony dan Pak Zaky akan jaga dan lindungi kamu. Sebagai pengganti aku di sini."Hans harus pulang setelah hampir sepuluh hari di rumah Thania dan selama itu pula ia libur masuk kantor.Thania menghela napas kasar. "Iya, Hans. Nanti berkabar aja, yaa. Aku janji, akan jaga kesehatan. Aku nggak mau nyusahin kamu terus."Hans mengusap sisian wajah perempuan itu seraya mengulas senyumnya. "Kamu nggak repotin aku kok. Jangan bicara seperti itu. Dan satu lagi. Jangan bahas soal Mhika yang aku bawa ke sini ke orang tuanya William, yaa."Aku mohon banget sama kamu. Ini demi kebaikan kita semua. Agar kamu tidak kena marah orang tuanya William juga. Karena kita tahu, mereka sangat membenci Mhika.”Thania mengangguk. “Kamu jangan khawatir. Aku mau berakting juga, kayak Mhika. Lagian aku di rumah terus, kapan punya waktunya buat mencari keberadaan dia.”Hans menerbitkan senyumnya dan mengangguk kecil. “Ya sudah ka
Mhika menarik tangan William dan menggenggamnya. "Aku tahu mami kamu pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi, kamu juga merasakan kebahagiaan itu denganku. Tapi, karena mami kamu ingin nama keluarganya selalu bersih, dia tidak mau menganggapku, William."Lelaki itu semakin emosi apalagi melihat raut wajah Mhika yang sangat memprihatinkan."Aku kembali ke sini karena dia, anakmu. Charles, dia selalu bertanya kapan bertemu dengan Daddy. Dan aku bingung harus jawab apa."William semakin merasa bersalah. Ia kemudian menoleh ke arah Charles dan mengusapi sisian wajah anak kecil itu."Ini Daddy, Nak. Maaf ya, karena kita baru bisa bertemu sekarang." William berucap lirih dengan mata berkaca-kaca.Ia lalu menoleh pelan ke arah Mhika. "Aku juga minta maaf karena tidak bisa ada di samping kamu selama kamu hamil."Mhika mengangguk pelan dan mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa. Lagi pula, selama aku hamil itu, aku nggak ingat apa-apa tentang kamu. Beruntung, kecelakaan yang aku alami dulu ha
"Ada apa, Mi?" tanyanya dengan pelan.Ia tetap melangkahkan kakinya keluar menunggu taksi di depan saja. Sembari menunggu jawaban dari Rani yang memintanya pulang sekarang juga."Aku masih di jalan, sebentar lagi sampai. Aku baru pulang dari Amerika, Mi.""Ya. Mami tahu. Makanya kamu cepat pulang, William. Tidak banyak komplain bisa, kan?" ucap Rani ketus. Ia tampak kesal karena William tak pernah langsung mengiyakan perintahnya itu.William menghela napas kasar. "Iya. Aku sudah bilang kan, aku sedang di jalan. Sabarlah."Rani menutup panggilan tersebut. Sementara William berdecak kesal karena baru saja bertemu dengan Mhika, sudah diminta pulang oleh maminya itu."Ada apa, William?" tanya Mhika ingin tahu."Mami minta aku pulang. Ada yang ingin dia bicarakan katanya. Padahal malas sekali, pulang ke rumah. Aku ingin bersamamu."Mhika mengusapi lengan William dengan lembut. "Pulanglah. Jangan buat mami kamu semakin marah karena menunggu.""Iya. Setelah tiba di apartemen. Memangnya kamu