Pukul 19.00 WIB.Mhika, Dony dan juga Rommy sudah sampai di Jakarta."Gue balik duluan. Besok harus operasi ke Palembang soalnya. Kalau si Hans nanya, tinggal elo jawab aja gitu," ucap Rommy pada Dony yang tengah menggendong anaknya Mhika karena tertidur.Dony menganggukkan kepalanya. "Terima kasih atas bantuannya, Pak Rommy.""Sama-sama. Kalau bukan karena Hans ngasih gue duit banyak, mana mau gue berangkat jauh-jauh dan ninggalin kerjaan gue. Dah! Gue balik duluan." Rommy menepuk pundak Dony lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menyusulnya.Sementara Dony menunggu Mhika yang tengah pergi ke toilet terlebih dahulu sembari menunggu taksi yang sudah mereka pesan."Selamat malam, Tuan Hans. Kami sudah tiba di Jakarta. Sepertinya Nona Mhika tidak bisa langsung ke rumah itu, Tuan. Bukankah kita harus kasih tahu Tuan William terlebih dahulu?"Dony menghubungi Hans untuk memastikan akan dibawa ke mana, perempuan itu. Sebab bila dibawa ke rumah William rasanya tidak mungkin."Saya punya satu
Mhika mengembalikan ponsel kepada sang pemiliknya—Dony. "Nih. Udah selesai, kan?"Dony mengambil ponselnya dan menatap wajah Mhika yang kembali seperti semula. "Apa saja yang beliau katakan kepada Anda, Nona Mhika?" tanya Dony ingin tahu.Mhika menghela napasnya dengan panjang. "Nggak boleh ke mana-mana. Nanti dia nyusul ke sini dan dua hari lagi dia pulang."Dony manggut-manggut dengan pelan. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya tugas saya untuk hari ini sudah selesai. Setelah Tuan William sampai, ada lagi yang mesti kita lakukan agar bisa membuat Nona Thania dan Tuan William bercerai."Mhika menganggukkan kepalanya. "Ya. Kalian atur saja lah. Aku hanya ikuti kemauan kalian. Lagi pula, kembali pada William bukanlah suatu kesalahan. Karena dia masih mencintaiku, aku pun juga sama."Dony mengulas senyumnya. "Semoga kalian bisa langgeng sampai tua nanti."Mhika tersenyum miring. "Asalkan keluarganya tidak membenciku, sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi, jika mereka masih membuangku, yaa aku pu
Usai menemani Thania sarapan dan membuatkan susu ibu hamil untuknya, Hans bergegas berangkat ke hotel menemui Mhika untuk menyampaikan semua yang ingin dia sampaikan kepada perempuan itu."Selamat pagi. Saya Hans. Bisa ketemu di restoran hotel sekarang juga?" Hans menghubungi Mhika setelah mendapat nomor teleponnya dari Dony."Bisa. Kebetulan aku lagi di restoran, lagi sarapan. Kamu ke sini saja.""Baik. Sebentar lagi saya tiba di sana." Hans kemudian menutup panggilan tersebut dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju hotel tempat di mana Mhika berada kini sampai William tiba.Lima belas menit kemudian, Hans sudah sampai di sana. Ia melangkahkan kakinya dengan lebar menuju restoran. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Mhika dan menyampaikan semuanya kepada perempuan itu agar Thania segera keluar dari rumah tangga toxic itu."Mhika?" Hans duduk di depan perempuan itu lalu mengulas senyum tipis."Oh. Jadi kamu, yang namanya Hans. Pacarnya Thania?"Hans mengulas senyum
William terdiam mendengar pertanyaan dari kekasihnya itu. Ia tak tahu dan bingung harus jawab apa sementara kini Thania tengah mengandung anaknya."William?" Mhika memanggil lelaki itu sebab tidak menjawab apa pun.Mhika menaikan kedua alisnya sembari menatap Hans. Lalu menggeleng pelan menandakan bila William belum mau menjawab pertanyaan darinya tadi."Sorry, Sayang. Tadi signalnya agak ngelag. Kamu nanya apa tadi, heum?"Mhika tersenyum miring mendengarnya. "Kamu kapan pulang? Jam berapa tiba di Indonesia?" tanyanya kemudian. Ia sangat yakin, William tidak akan pernah mau memberi tahu dirinya bila dia sudah menikah."Oh! Malam ini aku berangkat, Sayang.""Oh. Baiklah. Semoga selamat sampai tujuan, Sayang. Sudah lama sekali aku tidak pernah melihat wajah kamu. Aku benar-benar rindu pelukan kamu dan semuanya.""Sayang. Jangan buat aku semakin merasa bersalah. Aku akan segera pulang, maafkan aku karena aku tidak mencarimu dengan baik. Aku sangat minta maaf soal itu."'Dan aku belum be
Keesokan harinya ...."Aku harus pulang sekarang. Kamu jangan khawatir dan takut, Pak Dony dan Pak Zaky akan jaga dan lindungi kamu. Sebagai pengganti aku di sini."Hans harus pulang setelah hampir sepuluh hari di rumah Thania dan selama itu pula ia libur masuk kantor.Thania menghela napas kasar. "Iya, Hans. Nanti berkabar aja, yaa. Aku janji, akan jaga kesehatan. Aku nggak mau nyusahin kamu terus."Hans mengusap sisian wajah perempuan itu seraya mengulas senyumnya. "Kamu nggak repotin aku kok. Jangan bicara seperti itu. Dan satu lagi. Jangan bahas soal Mhika yang aku bawa ke sini ke orang tuanya William, yaa."Aku mohon banget sama kamu. Ini demi kebaikan kita semua. Agar kamu tidak kena marah orang tuanya William juga. Karena kita tahu, mereka sangat membenci Mhika.”Thania mengangguk. “Kamu jangan khawatir. Aku mau berakting juga, kayak Mhika. Lagian aku di rumah terus, kapan punya waktunya buat mencari keberadaan dia.”Hans menerbitkan senyumnya dan mengangguk kecil. “Ya sudah ka
Mhika menarik tangan William dan menggenggamnya. "Aku tahu mami kamu pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi, kamu juga merasakan kebahagiaan itu denganku. Tapi, karena mami kamu ingin nama keluarganya selalu bersih, dia tidak mau menganggapku, William."Lelaki itu semakin emosi apalagi melihat raut wajah Mhika yang sangat memprihatinkan."Aku kembali ke sini karena dia, anakmu. Charles, dia selalu bertanya kapan bertemu dengan Daddy. Dan aku bingung harus jawab apa."William semakin merasa bersalah. Ia kemudian menoleh ke arah Charles dan mengusapi sisian wajah anak kecil itu."Ini Daddy, Nak. Maaf ya, karena kita baru bisa bertemu sekarang." William berucap lirih dengan mata berkaca-kaca.Ia lalu menoleh pelan ke arah Mhika. "Aku juga minta maaf karena tidak bisa ada di samping kamu selama kamu hamil."Mhika mengangguk pelan dan mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa. Lagi pula, selama aku hamil itu, aku nggak ingat apa-apa tentang kamu. Beruntung, kecelakaan yang aku alami dulu ha
"Ada apa, Mi?" tanyanya dengan pelan.Ia tetap melangkahkan kakinya keluar menunggu taksi di depan saja. Sembari menunggu jawaban dari Rani yang memintanya pulang sekarang juga."Aku masih di jalan, sebentar lagi sampai. Aku baru pulang dari Amerika, Mi.""Ya. Mami tahu. Makanya kamu cepat pulang, William. Tidak banyak komplain bisa, kan?" ucap Rani ketus. Ia tampak kesal karena William tak pernah langsung mengiyakan perintahnya itu.William menghela napas kasar. "Iya. Aku sudah bilang kan, aku sedang di jalan. Sabarlah."Rani menutup panggilan tersebut. Sementara William berdecak kesal karena baru saja bertemu dengan Mhika, sudah diminta pulang oleh maminya itu."Ada apa, William?" tanya Mhika ingin tahu."Mami minta aku pulang. Ada yang ingin dia bicarakan katanya. Padahal malas sekali, pulang ke rumah. Aku ingin bersamamu."Mhika mengusapi lengan William dengan lembut. "Pulanglah. Jangan buat mami kamu semakin marah karena menunggu.""Iya. Setelah tiba di apartemen. Memangnya kamu
Pukul 23.00 WIB.William melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen setelah selesai perang dengan Thania dan juga Rani. Pikirannya sangat runyam dan kacau."Dua wanita itu memang nggak ada yang bisa buat aku tenang. Mereka selalu saja membuatku naik darah setiap hari," gerutunya lalu duduk di sofa ruang tengah.Mhika yang mendengar suara pintu masuk lantas keluar dari kamarnya. Dengan dress tipis yang ia kenakan, tentu saja akan ia mulai di malam ini sebab Hans sudah memintanya sekarang juga.Ia kemudian duduk di samping William dan mengusapi sisian wajah lelaki itu. "What happen?" tanyanya dengan suara lembutnya.William menoleh pelan dan menggeleng pelan. "Mami masih saja menyangkal kalau dia sudah usir kamu dan minta untuk pergi dari hidup aku. Padahal, bahagiaku hanya ada di dalam diri kamu."Mhika mengulas senyumnya lalu menghela napas panjang. "It's okay. Tidak perlu kamu pikirkan, Sayang. Yang penting sekarang kamu sudah tahu alasan aku pergi itu karena apa. Bukan karena ing
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani