"Ada apa, Mi?" tanyanya dengan pelan.Ia tetap melangkahkan kakinya keluar menunggu taksi di depan saja. Sembari menunggu jawaban dari Rani yang memintanya pulang sekarang juga."Aku masih di jalan, sebentar lagi sampai. Aku baru pulang dari Amerika, Mi.""Ya. Mami tahu. Makanya kamu cepat pulang, William. Tidak banyak komplain bisa, kan?" ucap Rani ketus. Ia tampak kesal karena William tak pernah langsung mengiyakan perintahnya itu.William menghela napas kasar. "Iya. Aku sudah bilang kan, aku sedang di jalan. Sabarlah."Rani menutup panggilan tersebut. Sementara William berdecak kesal karena baru saja bertemu dengan Mhika, sudah diminta pulang oleh maminya itu."Ada apa, William?" tanya Mhika ingin tahu."Mami minta aku pulang. Ada yang ingin dia bicarakan katanya. Padahal malas sekali, pulang ke rumah. Aku ingin bersamamu."Mhika mengusapi lengan William dengan lembut. "Pulanglah. Jangan buat mami kamu semakin marah karena menunggu.""Iya. Setelah tiba di apartemen. Memangnya kamu
Pukul 23.00 WIB.William melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen setelah selesai perang dengan Thania dan juga Rani. Pikirannya sangat runyam dan kacau."Dua wanita itu memang nggak ada yang bisa buat aku tenang. Mereka selalu saja membuatku naik darah setiap hari," gerutunya lalu duduk di sofa ruang tengah.Mhika yang mendengar suara pintu masuk lantas keluar dari kamarnya. Dengan dress tipis yang ia kenakan, tentu saja akan ia mulai di malam ini sebab Hans sudah memintanya sekarang juga.Ia kemudian duduk di samping William dan mengusapi sisian wajah lelaki itu. "What happen?" tanyanya dengan suara lembutnya.William menoleh pelan dan menggeleng pelan. "Mami masih saja menyangkal kalau dia sudah usir kamu dan minta untuk pergi dari hidup aku. Padahal, bahagiaku hanya ada di dalam diri kamu."Mhika mengulas senyumnya lalu menghela napas panjang. "It's okay. Tidak perlu kamu pikirkan, Sayang. Yang penting sekarang kamu sudah tahu alasan aku pergi itu karena apa. Bukan karena ing
William menggenggam tangan perempuan itu dan menatapnya. "Aku mau jujur ke kamu soal ini, Mhika."Perempuan itu tahu, apa yang akan William katakan padanya. Namun, tentunya Mhika tak akan memperlihatkan raut wajah dirinya tahu semuanya."Apa?" tanyanya dengan pelan.William menghela napasnya dengan panjang. "Sebenarnya aku ...." William masih tak berani bicara. "Sebelumnya, aku akan bicara ini dulu. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu dan hanya kamu yang aku cinta selama ini."Mhika mengangguk. "I know. Ada apa?"William menelan salivanya dengan pelan. "Kamu tahu Thania, kan? Sekretarisku."Mhika mengadahkan matanya seolah tengah mengingat nama perempuan itu. "Oh iya, tahu. Kenapa dengan dia?" tanyanya kemudian.William menatap Mhika lagi. "Sayang. Setelah kepergian kamu, Mami dan Papi memaksa aku untuk menikahinya. Aku dijodohkan dengan dia karena wanita itu butuh uang untuk memberi modal usaha pada orang tuanya."Mhika terdiam sejenak. Pura-pura terkejut dan juga rasanya ingin t
"Tapi, ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Hans.""Apa?" tanya Hans.Mhika menatap lekat wajah Hans. "Dari semua wanita cantik yang ada di sekeliling kamu, kenapa hanya Thania, yang kamu cintai? Kulihat tadi sekretaris kamu juga cantik."Hans menghela napasnya dengan panjang. "Karena saya tidak melihat dari kecantikannya. Thania pun cantik. Hanya saja, bukan itu alasanku. Saya sudah mencintainya sejak lama dan dalam diam."Kami dulu bersahabat. Sangat dekat. Seperti yang sudah kuceritakan padamu. Wanita cantik yang kulihat dan mungkin ada yang baik juga, tidak bisa membuat saya jatuh cinta seperti saya jatuh cinta pada Thania."Mhika manggut-manggut dengan pelan. "Tapi, kamu akan menyayangi anaknya Thania, kan? Itu anaknya William juga, musuh bebuyut kamu."Hans mengangguk. "Ya. Tentu saja. Saya akan menyayanginya seperti anakku sendiri. Semoga hakim dapat mengabulkan permohonan cerai Thania nanti agar persalinan nanti, biar saya saja yang menemaninya."Mhika menyunggingkan s
"Apa? Kenapa Mhika datang ke rumah? Siapa yang sudah memberi tahu alamat rumah di sana, huh?" ucap William tampak panik dan juga kesal sebab Mhika datang ke sana."Kalau soal itu saya kurang tahu, Tuan. Karena Nona Mhika sudah ada di sini juga dan sudah masuk ke dalam. Sepertinya waktu Nona Mhika datang, saya sedang diminta Nyonya Rani tadi."William mendengus kasar. Dengan cepat William pulang ke rumahnya usai menerima panggilan dari Dony."Kenapa Mhika datang ke rumah sih! Arrgh!" pekiknya sembari melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke rumah.Sementara di rumah ....Suasana semakin memanas. Rani masih terus mengusir Mhika keluar dari rumah itu. Namun, tentu saja Mhika tetap teguh pada pendiriannya. Tidak akan pulang sebelum William datang."Mi, sudah. Sampai mulut Mami berbusa pun dia tidak akan pulang. Bukankah dia sedang menunggu Mas Willi pulang? Aku telepon dia dulu, yaa.""Tidak perlu! Jangan menghubungi William, Thania!" titah Rani tegas.Thania menga
Betapa terkejutnya Hans mendengar Mhika memberi tahu Thania tak sadarkan diri akibat William yang mendorong tubuhnya hingga terhuyung ke bawah."Bagaimana kondisinya, Mhika? Janinnya bagaimana?" tanya Hans panik."Nanti aku ceritakan kronologisnya. Kamu segera ke rumah sakit aja. Aku sama Pak Dony udah on the way. Gama Hospital.""Iya. Saya ke sana sekarang juga. Kalian bawa Thania ke ruangan VIP. Berikan penanganan tepat untuknya. Kamu jangan khawatirkan administrasi, bilang pada pihak rumah sakitnya.""Iya, iyaa. Ya udah, kamu cepat ke rumah sakit. Kita udah di jalan soalnya," ucapnya kemudian."Iya. Saya sedang di lft menuju ke bawah."Mhika kemudian menutup panggilan tersebut dan masuk ke dalam mobil usai Thania dibawa masuk ke dalam."Pak. Bawa Thania ke ruang VIP. Diminta Hans. Biar dia yang urus semuanya katanya. Kayaknya Hans juga nggak mau William tahu di mana Thania dirawat," ucapnya kepada Dony yang tengah mengendarai mobil menuju rumah sakit."Baik, Nona. Sepertinya Tuan W
Mhika: [Hans. Ibu Rani meninggal dunia karena gagal jantung. Sekarang William masih di ruang ICU dan menangis. Entah menangis karena kehilangan maminya atau karena takut keluarganya marah padanya.]Ting!Pesan masuk di ponsel Hans, dari Mhika. Ia membukanya dan membacanya. Betapa terkejutnya Hans kala membaca pesan tersebut. Ia kemudian menoleh pada Thania yang masih belum sadarkan diri.Hans: [Astaga. Apakah keluarganya sudah tahu, soal berita duka ini?]Pesan terkirim.Mhika: [William tidak mau memberi tahu keluarganya. Tapi, pihak rumah sakit sudah menghubungi Pak James agar segera ke rumah sakit.]Hans: [Baiklah. Sebaiknya kamu pergi saja dari sana. Kehadiranmu hanya akan memperkeruh keadaan. Maaf, sudah membuat Bu Rani harus mengalami gagal jantung bahkan sampai meninggal dunia. Dia pasti kaget. It's my mistake.]Mhika: [No worry. Bu Rani meninggal karena terkejut, telah ditipu oleh anaknya sendiri. Dia sangat kecewa karena pengakuan dari Thania yang mana William hanya menjadikan
Pemakaman Rani telah selesa dilaksanakan. Semua anggota keluarga kembali ke rumah begitupun dengan William. Meski masih tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Andrew kemarin."Sekarang katakan apa yang tidak aku ketahui!" ucap William kepada anggota keluarganya itu.iJames menoleh ke arah William dan menatapnya dengan tatapan datarnya. "Apa yang ingin kamu ketahui, huh? Tidak penting dan tidak akan pernah kami beri tahu!" ucapnya tegas."Tapi, kenapa? Kenapa hanya aku yang tidak tahu apa-apa soal ini? Kalian sengaja, ingin buat aku semakin tertekan karena hal ini, huh?" ucap William tampak kesal.James tersenyum miring. Ia kemudian menghampiri anak bungsunya itu dan menatapnya dengan tatapan tegasnya."Kamu ingin kembali pada Mhika, kan? Silakan. Asalkan jangan pernah menyesal, jika suatu saat nanti kamu tahu, apa yang telah dilakukan oleh perempuan itu di belakang kamu."Ceraikan Thania, jauhi dia, jangan pernah ganggu dia lagi. Anak itu terlalu polos, terlalu baik. Sampai-sampai p