Bab 4 - Papa Eleanna
"Assalamualaikum," sapa orang tersebut.
Aku menatap ke arah pintu, sedikit terkejut dengan kehadiran orang itu. Begitu juga dengan Mas Heru, buru-buru dia tak jadi menamparku, malah kini membelai pipiku mesra. Dasar, pandai sekali dia bersandiwara."Masuk, Pa. Maaf Anna dan Mas Heru jarang berkunjung," kataku.Ya, lelaki itu adalah papaku. Ah, bukan Papa biologis, tetapi dia papa sambungku. Mamak menikah lagi setelah bapak meninggal.Papa mengangguk."Gak apa-apa, kamu sehat, El?" tanya papa.Aku tersenyum saja. Ingin sekali kukatakan bahwa badanku sehat, tetapi jiwaku sakit. Namun, itu kuurungkan, mengingat penyakit jantung yang diderita papa."El, ditanya kok malah tersenyum saja? Kamu sedang ada masalah sama suamimu?" tanya papa lagi."Ah, El sehat, Pa. Papa sudah makan? Tumben gak ngomong kalau mau ke sini, harusnya papa bilang, jadi El masak yang enak hari ini," kataku basa-basi."El, meski kamu bukan anak kandung papa, papa tahu kalau kamu sedang ada masalah," ucapnya.Aku meneguk saliva, dari dulu memang lelaki pengganti ayahku tahu bagaimana sifatku."Heru, El, apa kalian ada masalah?" tanya papa.Mas Heru kelabakan, ia mungkin saat ini sedang menyusun rangkaian kalimat untuk diucapkan."Ehm ... kami, kami baik-baik saja pa, tak ada masalah," jawab Mas Heru bohong.Dasar lelaki pandai bersandiwara, harusnya dia jujur saja kalau dirinya memang sedang ada masalah denganku, toh tadi dia mengangkat tangannya dan ingin menamparku."El, benar apa yang dikatakan Heru?" tanya papa.Aku bingung, mau menjawab jujur takut kalau-kalau jantung papa kumat. Maka, mau tak mau aku mengikuti alur drama yang tadi dibuat Mas Heru."Iya pa, kami gak lagi ada masalah kok," kataku bohong."El, kalau suamimu ini berbuat yang tidak-tidak, katakan saja pada papa. Papa tak segan-segan memberi dia hukuman yang setimpal," ujar papa.Aku tersenyum saja, sedangkan Mas Heru terlihat ketakutan."Heru, kenapa tadi papa dengar suara ribut-ribut dari luar?" Mata papa menatap Mas Heru tajam.Mas Heru gelagapan, ia mungkin sedang berpikir kalimat apa yang ingin dikatakan agar papa percaya."Hemm ... itu ... tadi Heru lagi ... lagi ... lagi latihan drama, pa," kata Mas Heru.Cuih, latihan drama katanya, latihan drama kepalanya botak. Udah jelas-jelas dia ingin menghajarku, malah dibilang latihan drama. Benar-benar lelaki yang pandai bersilat lidah."Latihan drama? Latihan drama pakai membentak istrimu dan mau mengayunkan tangan ke arahnya?" tanya papa sinis.Mas Heru terlihat salah tingkah, aku juga. Aku takut kalau kebohongan kami terbongkar."El, kamu tahu Nak, kamu itu adalah putri papa satu-satunya. Kamu mungkin bukan anak kandung papa, tetapi sedari kecil, papa membesarkanmu sampai akhirnya menikah. Kalau Heru menyakitimu, katakan saja, papa tak akan segan-segan meminta anggota papa untuk menghabisi Heru," kata papa tegas.Mas Heru hanya diam, ia meneguk salivanya, keringat dingin mulai bercucuran di keningnya. Ah, aku belum mengatakan pada kalian, papa adalah mantan preman pasar yang disegani orang-orang. Meski mantan preman, banyak sekali anak buahnya yang masih setia sampai sekarang."Pa, kami gak apa-apa. Kalau rumah tangga berantam dan adu mulut itu biasa," kataku.Aku juga kasihan kalau nanti Mas Heru dijadikan perkedel tempe oleh papa. Bisa-bisa mertuaku minta ganti rugi nanti."Iya, papa tahu. Papa hanya gak mau ada yang menyakiti putri papa ini," katanya.Aku tersenyum saja."Pa, papa mau makan apa? Biar El siapkan," tawarku.Papa menggeleng."Papa ke rumahmu bukan untuk numpang makan, ada yang ingin papa katakan sama kamu," ujarnya.Aku mengernyitkan kening, ada hal penting apa sampai papa bela-bela datang ke rumah ini."Hal penting apa, pa?" tanyaku.Papa diam saja. Ia melirik Mas Heru yang masih keringat dingin."Nanti saja, papa katakan padamu. Ingat El, kalau Heru menyakitimu, jangan sungkan kabari papa. Nanti, papa pasti akan memberitahu hal penting apa yang harus kamu ketahui. Papa pamit ya, El. Heru, tolong jaga putriku. Jangan macam-macam apalagi sampai menyakitinya!" ucap Papa.Kulihat perubahan ekspresi wajah Mas Heru. Namun ia tetap mengangguk.***Saat Papa pulang, Mas Heru kembali memarahiku."Pasti kamu yang memanggil preman itu ke mari!" ujar Mas Heru sinis.Aku menatapnya tajam. Tak menyangka kalau Mas Heru akan menuduhku sembarangan."Kita sama-sama kaget. Jangan menuduhku sembarangan!" kataku tegas.Mas Heru mencebik, ia seperti tak percaya dengan ucapanku."Kau tak bisa dipercaya. Jangan berbohong padaku!" kata Mas Heru.Ingin sekali aku pukul wajahnya itu."Aku tak berbohong. Kau kenapa sih, Mas?" tanyaku.Mas Heru malah meninggalkanku pergi.Dasar lelaki aneh.***"Ini uang jatah nafkahmu!" kata Mas Heru.Mas Heru memberikan uang enam puluh ribu dan menaruhnya di atas meja. Aku terheran-heran, sebab baru kali ini ia memberikan uang senilai enam puluh ribu."Ini jatah selama empat hari," kata Mas Heru lagi.Akh, aku yang tadinya merasa senang, berubah kecewa. Ternyata sama saja, aku tetap dijatah lima belas ribu sehari."Maaf, kemarin aku sudah marah-marah dan ingin menamparmu," kata Mas Heru lagi.Aku mengangguk, tetapi bercampur heran. Karena ini adalah kali pertama Mas Heru meminta maaf padaku. Biasanya, dia akan dengan pongah memarahiku tanpa merasa bersalah."Ya, aku juga minta maaf," ucapku.Mas Heru tersenyum."Dek, nanti, kalau papa ke mari, tolong masakkan makanan yang enak. Papamu mungkin akan ke mari lagi," kata Mas Heru.Aku mengernyitkan dahi. Ada apa sebenarnya dengan lelaki ini. Kenapa tiba-tiba dia menyuruhku belanja dan masak yang enak. Apa ada sesuatu?"Mas tahu dari mana kalau papa mau ke mari?" tanyaku curiga."Tahu dari si Sindi. Tadi dia ngabari Mas, katanya mau ke sini," ucap Mas Heru.Sindi? Sejak kapan Mas Heru berkomunikasi dengan anak tetangga rumah papa itu? "Sejak kapan Mas jalin komunikasi dengan Sindi?" tanyaku menyelidik.Mas Heru terlihat gelagapan, aku paham benar sifat Mas Heru saat gugup dan melakukan kesalahan."Hemm ... tadi Sindi yang ngasih tahu Mas. Mas mana pernah komunikasi dengannya," jawab Mas Heru.Aku hanya ber-oh ria saja. Awas saja kalau kamu berbohong, Mas. Aku tak akan segan-segan mengadu pada papa dan membiarkanmu jadi perkedel.***Sesuai titah Mas Heru, aku kembali ke pasar, tentu dengan berjalan kaki seperti biasa. Alasannya tak lain adalah untuk menghemat biaya. Tiba-tiba, ponselku berdering. Tertera nama papa di sana."Halo, pa. Assalamualaikum," jawabku.[Waalaikumussalam. Kamu di mana El?] tanya papa."Di pasar, kenapa pa?" tanyaku.[Jangan ke mana-mana. Papa akan menyusulmu sekarang. Ada yang ingin papa sampaikan perihal kemarin.] kata papa.Aku menunggunya di sebuah warung bakso langganan. Ah, bukan untuk membeli bakso, aku hanya numpang duduk dan ngaso sebentar.Tak lama, papa muncul dengan mengendarai motor."Maaf ya El, papa lama. Kamu udah pesan bakso?" tanya papa.Aku menggeleng.Papa memanggil Mamang bakso dan memesan dua mangkuk sekaligus."Makanlah, El. Semenjak menikah, kau tampak kurus," ucap papa.Aku meneguk ludah, ya, papa benar, semenjak menikah badanku tak terurus, bahkan bobot tubuhku turun drastis."El, makan yang banyak. Papa akan memberitahukan sesuatu padamu," ucap Papa.Aku menurut apalagi bakso di hadapanku benar-benar menggugah selera. Ini adalah kali pertama aku makan bakso lagi setelah 3 tahun menikah dengan Mas Heru. Ah, menyedihkan memang, bahkan untuk jajan semangkuk bakso saja uang jatah nafkahku tak cukup.Namun, apa yang ingin papa sampaikan padaku?Bab 5 - Ditemani BelanjaPapa memperhatikanku yang mengunyah bakso dengan lahap."Pelan-pelan El, makannya. Kamu kayak gak makan bakso bertahun-tahun saja!" seru papa.Aku tersedak, ya, memang benar kalau aku sudah tak makan bakso selama bertahun-tahun. Ah, papa dinasihati seperti itu membuatku malu."Hemmm ... maaf pa, El memang baru kali ini makan bakso lagi," ucapku jujur.Bola mata papa membulat, ia terkejut mendengarnya."Jadi, selama ini kamu gak pernah makan bakso?"tanyanya prihatin.Aku mengangguk pelan."Keterlaluan sekali Heru! Harusnya dia membiarkanmu untuk sekadar jajan bakso!"ucap papa.Ah, papa tak tahu saja, berapa uang nafkah yang diberikan Mas Heru padaku selama ini. Jika tahu, mungkin dia akan jauh lebih marah."Ya sudah, kalau kamu mau bungkus lagi untuk dibawa pulang, bungkus saja," ujar papa.Aku menggeleng. Kalau nanti aku iy
Bab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Cuih, kau bilang tak ada hubungan apa pun, tetapi baru beberapa menit yang lalu kalian bergandengan tangan begitu mesra layaknya pasangan suami dan istri, atau seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu. Aku lelah dengan semua omong kosong yang kau katakan, Sin. Mulai saat ini, kutalak kau, sekarang!” ucapku penuh penekanan. Wajah Sindi berubah pucat pasi, keringat dingin seperti biji jagung mengucur dengan derasnya melewati dahi Sindi yang lebar. Meski sedikit merasa kasihan, tetapi rasa kasihan ku menguap begitu saja. Entah karena rasa benci yang menyeruak hati lebih mendominasi, atau memang aku sudah tak peduli dengan itu. Kuayuhkan kaki panjangku menjauh dari dua pengkhianat itu. Sindi, mantan istriku dan Heru, salah satu pegawaiku. Kutinggalkan kedua pengkhianat itu diiikuti Pak Suprapto yang sedari tadi diam tanpa kata. Tak sengaja, kulihat Pak Suprapto tersenyum penuh arti ke arah Heru. Entah apa yang dipikirkan Pa
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
Bab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga