Bab 5 - Ditemani Belanja
Papa memperhatikanku yang mengunyah bakso dengan lahap.
"Pelan-pelan El, makannya. Kamu kayak gak makan bakso bertahun-tahun saja!" seru papa.Aku tersedak, ya, memang benar kalau aku sudah tak makan bakso selama bertahun-tahun. Ah, papa dinasihati seperti itu membuatku malu."Hemmm ... maaf pa, El memang baru kali ini makan bakso lagi," ucapku jujur.Bola mata papa membulat, ia terkejut mendengarnya."Jadi, selama ini kamu gak pernah makan bakso?"tanyanya prihatin.Aku mengangguk pelan."Keterlaluan sekali Heru! Harusnya dia membiarkanmu untuk sekadar jajan bakso!"ucap papa.Ah, papa tak tahu saja, berapa uang nafkah yang diberikan Mas Heru padaku selama ini. Jika tahu, mungkin dia akan jauh lebih marah."Ya sudah, kalau kamu mau bungkus lagi untuk dibawa pulang, bungkus saja," ujar papa.Aku menggeleng. Kalau nanti aku iyakan, pasti Mas Heru akan menintrogasiku dan menuduh macam-macam."Jangan pa, aku makan di sini saja. El sudah kenyang kok," kataku.Aku tak berbohong, memang sudah kenyang dan perutku seperti ingin meletus sekarang."El, ada yang mau papa katakan," ujar papa.Ya, aku hampir lupa bahwa papa ingin mengatakan sesuatu padaku.Hal ini karena kekenyangan makan bakso, pasti. Makanya aku mendadak pikun."Papa mau ngomong apa?" tanyaku serius.Sebab, tak biasanya Papa akan seperti ini."Papa ingin mewariskan seluruh harta papa padamu. Rumah, mobil, serta pabrik keripik kentang semua sudah atas namamu. Tak lupa beberapa bidang sawah dan tanah yang dulu atas nama almarhum ibumu, sekarang menjadi punyamu. Papa harap, kamu pergunakan dengan sebaik-baiknya. Papa juga akan memberitahu Heru tentang ini," jelas papa.Mendengar nama Mas Heru, seketika aku berpikir dan langsung mencegah Papa untuk memberitahunya. Ah, kalau suamiku tahu, pasti dia akan merasa kepemilikan."Jangan beritahu Mas Heru, Pa. El mohon. El gak mau Mas Heru dan keluarganya tahu," ujarku.Alis papa bertaut, sepertinya ia ingin bertanya alasan kenapa aku tak ingin Mas Heru tahu soal harta yang diberikan papa."El, bisa kamu jelaskan kenapa kamu gak mau Heru tahu?" tanya papa.Aku menghela napas dan membuangnya kasar."Pa, selama ini, uang nafkah El dijatah sama Mas Heru. Mas Heru hanya memberi uang lima belas ribu, setiap harinya," kataku jujur.Papa terlihat shock mendengar penuturan putri sambungnya ini. Bagaimana tak shock, dulu, sebelum menikah, uang lima belas ribu adalah uang yang diberikan papa untuk jajanku di sekolah. Itu hanya sekali jajan saja. Belum uang jajan siang dan sore.Bulir bening dari pelupuk mata papa keluar, beliau menangis. Ah, tadinya aku tak ingin memberitahu papa, mengingat kondisi kesehatannya yang tak bagus. Namun, kalau sampai papa memberitahu Mas Heru soal harta warisan itu, Mas Heru pasti akan menyuruhku menjualnya."El, maafkan papa, papa sudah mengizinkanmu menikah dengan orang yang salah," kata papa menyesal.Aku menggeleng, ini bukan salah papa. Ini salahku. Harusnya dulu aku tak usah percaya sama Mas Heru. Mentang-mentang dulu dibelikan apa yang kumau, saat diajak menikah aku mau saja."Bukan salah Papa, ini salahku. Jadi, kumohon untuk tak memberitahu Mas Heru soal warisan ini," pintaku memohon.Papa mengangguk, ia paham benar dengan kondisiku saat ini."El, maaf papa baru tahu kalau selama ini kamu kekurangan, ini, ambillah. Pinnya adalah tanggal lahir Mamakmu," jelas papa.Papa memberikan sebuah kartu ATM padaku. Aku menolaknya, toh aku bukan tanggungjawabnya lagi. Namun papa memaksaku untuk menerima ATM tersebut."Jangan ditolak. Papa mau kamu hidup berkecukupan. Itu bukan uang papa, tetapi uang almarhumah Mamakmu yang dikumpulkan. Sedikit banyak juga ada uang almarhum bapakmu. Jadi, jangan kamu tolak El," kata papaMau tak mau, aku menerima benda pipih itu."Terima kasih, pa," kataku.Papa tersenyum."Ya sudah, ayo kita pulang, papa antar kamu, El," ajak papa.Aku menolak, mengingat aku baru membeli ayam dan cabai saja, bagaimanapun aku harus membeli beberapa macam sayur dan lauk agar tak ke pasar lagi beberapa hari ke depan. Tentu, menggunakan uang enam puluh ribu yang tadi pagi Mas Heru berikan."Aku mau belanja lagi, pa. Untuk stock agar tak bolak-balik ke pasar. Papa kalau mau duluan, tak apa-apa. Aku belanja dulu," ucapku.Papa tak setuju, ia akhirnya menemaniku belanja."Kamu mau belanja apa, El? Biar papa yang bayar," tawar papa.Aku menolak, kalau nanti aku beli lauk yang enak,Mas Heru pasti akan berpikir kalau uang belanja yang diberikannya cukup."Biar El saja yang bayar, pa. El hanya mau belanja sayur dan ikan untuk empat hari ke depan dengan uang ini," kataku.Papa membuka genggaman tanganku. Ada beberapa sisa uang kembalian membeli ayam dan cabai tadi. Ya, karena disuruh masak yang enak, aku membeli ayam yang harganya dua puluh ribu, sekilo. Uang jatahku sehari saja tak cukup membeli ayam sekilo itu. Sementara beli cabai tadi, hanya lima ribu rupiah saja, beruntung bisa dapat setengah kilo sebab belakangan ini harga cabai turun drastis."Ya ampun El, hanya sisa uang tiga puluh lima ribu?" tanya papa tak percaya.Aku mengangguk. Semoga saja cukup untuk membeli lauk lainnya.***Aku dan papa berkeliling pasar, mencari tahu dan tempe yang bisa dijadikan lauk untuk dua hari ke depan. Harga tahu dan tempe cukup terjangkau bagi dompetku, makanya aku selalu membeli lauk tersebut."Tempenya dua, tahunya satu, Kang. Jadi berapa?" tanyaku pada penjual tersebut."Tempe dua, enam ribu, tahu satu empat ribu, jadi sepuluh ribu, Neng," kata penjual tersebut.Aku menyerahkan selembar uang sepuluh ribu pada pedagang tersebut.Kini, aku mengajak Papa untuk membeli kentang, wortel, terong, kol, dan kacang panjang."Pa, kita belanja sayuran ya," ajakku.Papa menurut, ia melangkah megikutiku."Pak, kentangnya berapa sekilo?" tanyaku."Lima belas ribu, Neng. Mau?" tanya pedagang tersebut."Kasih setengah kilo aja. Jadi tujuh ribu aja, ya?" tawarku.Pedagang itu setuju, ia menimbang kentang setengah kilo untukku."Pak, terongnya kasih tiga ribu, wortel tiga ribu, kacang panjang tiga ribu, dan kol empat ribu, ya," ucapku.Pedagang itu mengangguk, ia kemudian memasukkan belanjaanku."Jadi berapa, Pak?" tanyaku."Kentang tujuh ribu, terong tiga ribu, jadi sepuluh ribu, tambah wortel dan kacang panjang enam ribu, kol empat ribu, jadi dua puluh ribu, Neng." Pedagang tersebut menyerahkan belanjaan sayur yang kubeli tadi.Kini, uang enam puluh ribu yang diserahkan Mas Heru tadi pagi bersisa lima ribu rupiah. Rasanya ingin kusimpan untuk kebutuhan mendesak, tetapi aku teringat kalau bawang merah dan bawang putih di rumah sudah habis, maka aku berjalan menuju tukang bawang."Pak, kasih bawang merah dan bawang putihnya ya. Lima ribu saja," kataku.Meski dengan wajah cemberut, pedagang tersebut tetap melayaniku."Beli sekilo dong, Neng. Ini beli cuma lima ribu, doang!" ejek Pedagang bawang.Papa yang mendengar ingin marah, tetapi kularang. Ya, sudah makananku jika dilayani penjual di pasar dengan wajah tak suka seperti itu. Aku sudah terbiasa."El, papa mau menghajar penjual tersebut!" kata papa geram."Gak usah pa, buang-buang energi. Ayo, kita pulang," ajakku.Papa menurut, kini ia malah menangis. Maafkan papa, El. Kamu makan sampai mengirit seperti itu."Gak apa-apa, pa. El sudah tiga tahun terbiasa dengan semua ini," kataku."Ya Allah, El. Malang sekali nasibmu, Nak. Papa janji, kamu tak akan kekurangan seperti ini lagi," kata papa.Aku menggeleng, sebenarnya, jika Mas Heru mau makan yang kumasak, tak jadi masalah uang lima belas ribu yang diberikannya. Toh, aku juga belum punya anak dan kebutuhan dapur yang lain seperti gas, gula, minyak, garam, sabun, dan yang lain, dibeli oleh Mas Heru sendiri. Namun, suamiku itu sering tak terima jika makan dengan lauk ala kadarnya."El, ada yang mau papa katakan lagi, ini soal Heru," kata papa.Aku terbengong, kira-kira papa mau mengatakan apalagi?***TBCBab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Cuih, kau bilang tak ada hubungan apa pun, tetapi baru beberapa menit yang lalu kalian bergandengan tangan begitu mesra layaknya pasangan suami dan istri, atau seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu. Aku lelah dengan semua omong kosong yang kau katakan, Sin. Mulai saat ini, kutalak kau, sekarang!” ucapku penuh penekanan. Wajah Sindi berubah pucat pasi, keringat dingin seperti biji jagung mengucur dengan derasnya melewati dahi Sindi yang lebar. Meski sedikit merasa kasihan, tetapi rasa kasihan ku menguap begitu saja. Entah karena rasa benci yang menyeruak hati lebih mendominasi, atau memang aku sudah tak peduli dengan itu. Kuayuhkan kaki panjangku menjauh dari dua pengkhianat itu. Sindi, mantan istriku dan Heru, salah satu pegawaiku. Kutinggalkan kedua pengkhianat itu diiikuti Pak Suprapto yang sedari tadi diam tanpa kata. Tak sengaja, kulihat Pak Suprapto tersenyum penuh arti ke arah Heru. Entah apa yang dipikirkan Pa
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
Bab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga