"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."
-Anna-
***
Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu.
"Dek."
Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku.
"Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."
Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf.
"Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"
Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak.
"Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"
Sepertinya, lelaki kikir yang menikah denganku tiga tahun lalu ini kesabarannya sudah diambang batas.
"Terserah kamu Anna. Mas capek! Entah apa maumu. Orang kamu ýang salah kok, siapa suruh rumah berantakan saat Mas pulang. Coba kalau kamu jadi orang rapi sedikit, bersih sedikit, 'kan rumah kita enak dipandang. Gak seperti ini."
Aku diam saja. Menjadi pendengar setia Mas Heru.
"Ya udah. Oke. Kalau kamu diam saja. Gak usah jawab pertanyaan Mas. Diam saja sudah. Gak usah dijawab. Toh percuma juga kalau kamu jawab. Gak merubah keadaan kalau kamu hanya bisa membela dirimu sendiri. Pasti kamu memiliki seribu macam alasan untuk berkelit. Dasar pemalas! Kerja kamu cuma ongkang-ongkang kaki saja di rumah! Membersihkan rumah saja kau tak bisa! Istri tak berguna!"
Aku membalikkan tubuh, menatap wajah Mas Heru. Tatapan kami begitu intens. Aku tak tahu kenapa lelaki yang sudah bersamaku 3 tahu teràkhir ini tega berbicara seperti itu.
"Maksud Mas apa?"
"Kenapa? Kau tak suka dikatai pemalas? Memang benar, kau itu istri tak berguna! Sudah malas, kerjanya hanya tiduran saja, tak mau membersihkan rumah. Apa namanya kalau seharian hanya duduk berdiam diri di rumah, hah?"
"Terserah, Mas. Kujelaskan pun Mas tak akan percaya! Apa perlu setiap hal yang kulakukan harus kuvideokan agar kau percaya? Kau hanya menuduhku tanpa bukti. Padahal, kesalahanmu banyak sekali! Tak berkaca pada diri sendiri yang bukannya bekerja malah bermain api dengan janda!"
Mas Heru terkesiap, terlihat wajahnya pucat pasi mendengar kata bermain api dengan janda.
Aku tak peduli, kutinggalkan dia sendiri di kamar sempit yang hanya bisa muat kasur busa untuk kami rebahan.
***
Aku menangis sesenggukan di ruang tamu. Kulihat, Mas Heru sudah berada tepat di belakangku.
"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Salah makan? Kenapa ngambek terus? Kita sedang membahas soal kau yang tak membereskan rumah. Kenapa pula larinya ke janda? Siapa yang bermain api dengan janda?"
"Pikir saja sendiri! Tak perlu kujelaskan. Kau pasti tahu pasti jawabannya! Satu lagi, kalau menurut Mas rumah ini tidak rapi, kotor, dan tak sesuai apa yang Mas harapkan, Mas saja yang menjadi ibu rumah tangga! Mas kira aku gak lelah apa seharian membersihkan rumah, belanja, masak untukmu. Itu juga gak pernah kamu hargai! Sebenarnya aku ini apa bagimu, Mas?"
Emosiku meluap bak Sungai Ciliwung yang membanjiri kota Bogor.
"Kerja cuma membereskan rumah saja mengeluh! Kamu itu gak bersyukur jadi orang!"
"Terserah katamu, Mas! Terserah maumu apa! Aku lelah!"
Aku keluar rumah, meninggalkan Mas Heru sendirian.
***
Jalanan sangat sepi. Aku menyusuri setiap trotoar jalan yang menghantarkan kaki ini entah ke mana.
"Tega kamu, Mas! Kamu benar-benar tak punya hati!"
Aku terduduk di bangku taman ditemani temaram bulan.
Ada apa sebenarnya antara kau dan Sindi? Kenapa kalian terlihat mesra?
Aku memandang ponsel untuk melihat pukul berapa sekarang. Sudah pukul sembilan malam ternyata. Aku segera menghubungi Papa sembari menangis tersedu.
"Pa,"
"Eleanna, kamu kenapa?"
"Elea habis berantam sama Mas Heru. Sekarang, Elea sedang di taman kota. Papa bisa jemput?"
"Oke. Papa ke sana sekarang! Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu sampai Papa tiba."
Setelah mengatakan keberadaanku pada Papa, panggilan terputus.
***
"Nak, apa yang terjadi?"
Aku tak ingin menjawab, rasanya teramat sakit mengingat apa yang disampaikan Mas Heru beberapa jam lalu.
Aku istri tak berguna katanya. Lihat saja nanti, kau akan menangis bertekuk lutut setelah tahu kalau aku adalah pewaris tunggal kekayaan papa tiriku.
***
Perjalanan antara taman kota ke rumah Papa tiriku memang tak jauh, hanya membutuhkan beberapa menit. Kini, kami sudah sampai di rumah Papa. Saat keluar dari mobil, kudapati Mas Heru sedang bercengkrama dengan Sindi, tepat di depan rumah ibu satu anak itu.
"Dasar lelaki buaya! Istri kabur bukan disusul, malah enak-enakan pacaran di sini!"
Aku sangat geram melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Mas Heru begitu mesra bercengkrama dengan Sindi dan anaknya. Ke mana suaminya Sindi? Kenapa sampai sekarang belum pulang, juga?
Darahku mendidih, ingin sekali menghampiri kedua makhluk tersebut, lalu mencakarnya dengan kuku-kuku panjang ini.
Namun, Papa mencegahku melakukan itu.
"Biarkan saja! Kamu masuk ke dalam. Ada cara yang lebih elegan untuk membalaskan perlakuan Heru kepada kamu, Anna."
Papa benar, aku adalah wanita baik-baik, bukan levelku jika harus mencakar dan membuat malu Sindi dan Mas Heru.
"Lihat saja nanti, Mas. Tunggu pembalasanku. Kau akan bertekuk lutut dan memohon padaku. Kau dan Sindi akan menerima akibatnya!" seruku.
Aku langsung masuk ke dalam rumah Papa. Lelaki yang sudah berusia tak muda lagi itu memanggil Mbok Ani, pembantu rumah tangga yang sejak kecil mengurus diriku.
"Mbok, siapkan kamar untuk Eleanna. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini!" titah Papa.
Mbok Ani mengangguk, kemudian langsung menuju kamarku yang dulu. Kamar yang selalu menjadi saksi tempatku berkeluh kesah.
"Sudah selesai, Non," ucap Mbok Ani.
Aku mengucapkan terima kasih padanya, sembari memeluk tubuh yang sudah tak muda lagi itu.
"Mbok, Elea kangen sama Mbok Ani," ujarku jujur.
Mbok Ani hanya tersenyum.
"Mbok juga kangen sama Non. Non apa kabar? Lama sekali tak main ke rumah ini?" tanya Mbok Ani.
"Kabarku tak baik, Mbok. Aku sakit hati." Aku mengurai pelukan Mbok Ani.
"Mbok kenal dengan pemilik rumah di depan tidak?" tanyaku penasaran.
"Kenal, namanya Sindi. Dia istrinya Bos suami Non Eleanna. Suami Non Eleanna sering main ke sini. Kadang keduanya jalan-jalan tanpa sepengetahuan suami Sindi," ujar Mbok Ani padaku.
Aku cukup kaget mendengar penuturan Mbok Ani. Ternyata, Sindi adalah istri dari bos Mas Heru.
Seketika ide muncul di kepalaku. Kini, aku tahu bagaimana harus membalaskan rasa sakit hati yang diperbuat oleh Mas Heru dan Sindi.
"Lihat saja, Mas. Kamu akan menyesal karena sudah menyakiti hatiku!"
Tbc
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Cuih, kau bilang tak ada hubungan apa pun, tetapi baru beberapa menit yang lalu kalian bergandengan tangan begitu mesra layaknya pasangan suami dan istri, atau seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu. Aku lelah dengan semua omong kosong yang kau katakan, Sin. Mulai saat ini, kutalak kau, sekarang!” ucapku penuh penekanan. Wajah Sindi berubah pucat pasi, keringat dingin seperti biji jagung mengucur dengan derasnya melewati dahi Sindi yang lebar. Meski sedikit merasa kasihan, tetapi rasa kasihan ku menguap begitu saja. Entah karena rasa benci yang menyeruak hati lebih mendominasi, atau memang aku sudah tak peduli dengan itu. Kuayuhkan kaki panjangku menjauh dari dua pengkhianat itu. Sindi, mantan istriku dan Heru, salah satu pegawaiku. Kutinggalkan kedua pengkhianat itu diiikuti Pak Suprapto yang sedari tadi diam tanpa kata. Tak sengaja, kulihat Pak Suprapto tersenyum penuh arti ke arah Heru. Entah apa yang dipikirkan Pa
Teriknya matahari membakar kulitku, rasanya sungguh lelah jika harus berjalan berkilo meter dari pasar ke rumah hanya demi menghemat ongkos. Akan tetapi, hal itu tetap kulakukan.Aku mempercepat langkah agar segera sampai ke rumah, bukan untuk istirahat, tetapi melaksanakan tugas seorang ibu rumah tangga yang sangat melelahkan.Sebelum membongkar belanjaan yang tak seberapa yang baru saja kubeli di pasar, membersihkan rumah adalah tujuan utamaku. Mas Heru, suamiku sangat marah jika melihat rumah dalam keadaan kotor. Pernah suatu ketika ia marah dan kabur dari rumah selama berhari-hari hanya karena noda yang ada di lantai. Lebai, suamiku itu memang benar-benar lebai."Rumah berantakan sekali, sih! Ini rumah atau kandang ayam, hah? Kamu ini, ngapain aja di rumah? Bisanya minta uang saja! Giliran membersihkan rumah tak mau! Dasar pengangguran! Tak becus! Seharian kerjaanmu apa? Cuma bersihkan rumah saja gak bisa!" Mas Heru memakiku dengan kata-kata menyakitka
"Cuih, kau bilang tak ada hubungan apa pun, tetapi baru beberapa menit yang lalu kalian bergandengan tangan begitu mesra layaknya pasangan suami dan istri, atau seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu. Aku lelah dengan semua omong kosong yang kau katakan, Sin. Mulai saat ini, kutalak kau, sekarang!” ucapku penuh penekanan. Wajah Sindi berubah pucat pasi, keringat dingin seperti biji jagung mengucur dengan derasnya melewati dahi Sindi yang lebar. Meski sedikit merasa kasihan, tetapi rasa kasihan ku menguap begitu saja. Entah karena rasa benci yang menyeruak hati lebih mendominasi, atau memang aku sudah tak peduli dengan itu. Kuayuhkan kaki panjangku menjauh dari dua pengkhianat itu. Sindi, mantan istriku dan Heru, salah satu pegawaiku. Kutinggalkan kedua pengkhianat itu diiikuti Pak Suprapto yang sedari tadi diam tanpa kata. Tak sengaja, kulihat Pak Suprapto tersenyum penuh arti ke arah Heru. Entah apa yang dipikirkan Pa
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe
"Orang tua adalah tempat kembali pulang bagi seorang anak perempuan yang memiliki masalah dalam rumah tangganya."-Eleanna-***Aku menatap langit-langit kamar yang bercat biru. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Heru, kamar inilah yang menjadi saksi bisu setiap kegiatan yang kulakukan. Tempat di mana aku mencurahkan segala keluh kesah, melepas lelah, juga melepas amarah pada seseorang. Ya, kamar ini adalah tempat ternyaman dan teramanku. Di sini begitu banyak kenangan tentang almarhumah Mama dan Ayah.Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamar yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran kamar di rumah Mas Heru."Ellea, boleh Papa masuk?" Ternyata orang tersebut adalah papa tiriku. Sosok pengganti almarhum ayah yang sangat menyayangiku."Boleh, Pa. Masuk saja, pintunya gak Ellea kunci," jawabku sekenanya.Pintu kamar terbuka, lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk, sambil tersenyum hangat padaku. Tangannya membawa sebua
"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."-Anna-***Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu."Dek."Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku."Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf."Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak."Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"Sepertinya, lelaki kikir yang menikah
Bab 6- Ucapan Papa"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa."Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa."Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.Papa menggeleng."Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga