Share

bab 4

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Krucuk ... Krucuk....

"Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"

Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami?

"Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu."

"Iya, Budhe," jawabku datar.

Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada.

"Dimakan dulu, Rat."

Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang.

"Budhe mau bilang minggu depan mengantar Sholeh menikah. Kalian ikut ya, rumah calonnya tidak jauh kok."

"Iya, Budhe."

"Kalau acara di sini kapan, Budhe?" tanya Mas Bima menimpali.

"Satu minggu setelah mengantar ke tempat pengantin perempuan. Lebih tepatnya dua minggu dari sekarang."

Aku dan Mas Bima mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Kami pun menikmati hidangan yang disuguhkan Budhe Salimah. Setelah itu kami berpamitan pulang.

"Bisa gak, Mas?" tanyaku saat hendak memasukkan kunci motor.

"Bentar Mas nyalain dulu."

Mas Bima menyalakan kendaraan roda dua kami. Satu kali, dua kali distarter motor itu tak jua menyala. Hingga akhirnya setelah tiga kali mencoba, si biru pun menyala. Nampaknya ia tahu sang pemilik sudah kelelahan mendorongnya beberapa kilometer.

Kendaraan yang kami naiki berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah Budhe Salimah. Ya, memang hanya perlahan karena motor ini tak bisa melaju kencang seperti kendaraan roda dua model terbaru. Namun aku tetap bersyukur meski hanya ini yang kumiliki saat ini.

***

"Kamu mau ke mana, Rat? Bukannya masih libur ya?"

Aku memang meminta libur lebaran selama 2 hari. Niat hati ingin menginap di rumah ibu. Bukan sambutan baik yang kuterima, tapi sebuah hinaan yang membuatku merasa tak berguna. Seperti inikah rasanya tak memiliki materi? Aku seolah tak memiliki harga diri.

"Bosen di rumah, Mas. Mau cari tambahan buat acara Budhe Salimah minggu depan."

"Hati-hati, Rat."

Aku mengangguk, mencium punggung tangannya lalu berangkat ke rumah Bu Susan. Kediaman majikanku masih berada di kampung yang sama, hanya terletak di RT yang berbeda.

Aku melangkah perlahan menuju rumah Bu Susan. Sesekali memberi salam pada tetangga yang berada di depan rumah. Aku tersenyum hambar saat melihat orang-orang bercengkrama dengan keluarganya. Tidak bisa dipungkiri ada rasa iri yang tiba-tiba menelusup dalam rongga dada. Kapan aku memiliki kehangatan keluarga seperti itu?

"Assalamualaikum," ucapku saat membuka pintu gerbang dari besi itu.

Pintu rumah dengan nuansa modern ini sudah terbuka lebar ketika aku datang. Beberapa gelas berceceran di teras rumah. Belum lagi kulit kacang, bungkus jeli yang tergeletak di samping tempat sampah yang sudah penuh.

Aku menggeleng pelan melihat keadaan rumah ini. Baru ditinggal kemarin tapi sudah berantakan begini. Bu Niken adalah anak tunggal. Ibunya juga berada di rumah ini tapi jarang keluar karena sakit-sakitan. Itu dia alasan mereka tidak bisa mudik ke Lampung.

"Lho, kamu masuk, Mbak Ratna? Ini baru lebaran hari kedua lho?" tanya Bu Susan ketika aku masuk ke dalam lewat pintu samping.

Aku memang sering masuk lewat pintu samping. Takut menganggu jika aku berjalan lewat depan. Apalagi saat ada tamu.

"Saya tidak jadi menginap, Bu."

"Alhamdulillah kalau gitu, Mbak. Tolong bersihkan ruang tamu, ya. Semalam ada tamu belum sempat aku bereskan."

Aku pun mengangguk. Kemudian berjalan ke belakang untuk mengambil sapu dan kemoceng. Ini ciri khas alat perang seorang asisten rumah tangga.

Gelas-gelas yang berserakan aku bawa ke wastafel. Aku biarkan menumpuk di sana karena aku akan membersihkan rumah terlebih dahulu. Aku menyapu dari ruang makan hingga ke teras. Sesekali berdiri sejenak seraya mengamati bagian ruangan yang masih berdebu. Maklum rumah ini terbilang luas. Sering kali aku kelelahan saat membersihkannya.

Sejak dulu aku tak pernah membayangkan akan berakhir menjadi asisten rumah tangga. Aku sering kali bermimpi memiliki perusahaan sendiri. Namun ternyata keadaan memaksaku menerima pekerjaan ini. Tak masalah, toh ini merupakan pekerjaan halal meski tak berkelas di mata orang-orang.

Jangan dengarkan apa kata orang lain, Ratna. Teruslah maju hingga hinaan yang kamu terima berubah menjadi pujian.

Tanpa sadar butiran hangat jatuh membasahi pipi. Perkataan bapak yang terlintas di kepala membuat rasa rindu datang dengan sendirinya. Andai bapak masih ada, mungkin hidupku tak akan menderita begini.

Ah, sudahlah ... tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Kini aku harus terus berusaha agar mimpi tak sekedar bunga tidur semata.

***

Pagi-pagi aku dan Mas Bima sudah siap untuk berangkat ke rumah Budhe Salimah. Kami sudah memakai pakaian terbaik yang kami punya. Lagi-lagi pakaian yang kupakai di hari raya.

Pukul 07.30 kami berangkat dari rumah. Sengaja kami berangkat lebih awal karena motor yang tidak bisa berjalan cepat. Dari pada terlambat lebih baik datang lebih awal bukan?

Rumah Budhe Salimah belum terlalu ramai saat kami tiba. Beberapa tetangga dan kerabat sudah duduk di kursi. Aku pun segera dan duduk si kursi yang telah disediakan. Halaman rumah Budhe Salimah memang ditata kursi untuk digunakan para saudara yang diajak ke rumah mempelai wanita, termasuk aku.

"Assalamualaikum."

Aku menoleh ketika mendengar suara perempuan yang begitu familiar di telingaku. Mendadak senyum yang sempat tercipta hilang dalam sekejap mata. Perasaan tak nyaman pun memenuhi rongga dada. Aku takut ibu menghinaku di depan umum.

"Sudah datang kamu, Rat?" ucap Mbak Dita saat berdiri di samping kursi yang kududuki.

"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"

Bab terkait

  • Hantaran Lebaran   bab 5

    "Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?""Memalukan kamu, Rat!"Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri.""Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik

  • Hantaran Lebaran   Bab 6

    Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi. Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi. "Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya. Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan. Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas.""Maaf ya, Dek."Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?""Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi

  • Hantaran Lebaran   Bukan Anak Kandung

    "Saudara saya akan menikah, Bu. Kalau boleh gaji minggu depan dibayar diawal."Aku menunduk seraya meremas jemari, sekuat tenaga menahan rasa takut yang sejak tadi menelusup dalam rongga dada. Ini kali pertama aku meminta hak sebelum menjalankan kewajiban. Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku bahkan merasa tak memiliki muka. "Owalah, itu to Mbak.""I--iya, Bu.""Boleh kok, Mbak."Aku mendongak, menatap lengkungan indah di bibir majikanku. Ternyata Bu Susan tak marah seperti yang kubayangkan sejak tadi pagi.Aku mendekat. "Makasih ya, Bu.""Iya sama-sama. Kamu boleh pulang, Mbak ... kasihan suami kamu sudah menunggu sejak tadi.""Makasih,Bu. Saya pamit pulang." Aku membalikkan badan, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu."Mbak Ratna tunggu!"Aku menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga dapat melihat Bu Susan yang tengah mengambil sebuah kantung plastik di atas meja. "Ini untuk kamu.""Makasih, Bu."Seketika bibir melengkung ke atas. Hari ini Al

  • Hantaran Lebaran   Bab 8

    "Jelas beda to yo. Seno dan Jaka itu anak kandung Bu Endang. Kalau Ratna kan bukan."DEG! Dalam sekejap jantung ini seolah berhenti berdetak. Perkataan orang-orang bagai ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Bagaimana mungkin aku ini anak angkat. Tidak ... tidak, mereka pasti salah bicara. Aku juga anak kandung bapak dan ibu, toh wajahku mirip bapak. "Yang bener?""Ini sudah menjadi rahasia umum kalau Ratna bukan anak kandung Bu Endang. "Lalu Ratna anak siapa?" tanya sorang perempuan yang tengah memotong kubis. Aku diam seraya menahan sesuatu yang bergemuruh dalam rongga dada. Di sini aku mempertajam indra pendengaran. Aku ingin mengetahui kenyataan yang ada. Entah sepahit apa nanti, aku tak lagi peduli. Bukankah hidupku sudah teramat pahit? "Lho, Mbak Ratna kenapa berdiri di situ? Ayo ke sana!"Seketika semua orang menatap ke arahku. Mereka membisu. Hilang sudah kalimat hinaan yang sedari tadi terlontar untukku. Sialnya ... aku menjadi tak tahu kenyataan ini, siapa diriku seben

  • Hantaran Lebaran   Bab 9

    "Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku

  • Hantaran Lebaran   Bab 10

    "Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan

  • Hantaran Lebaran   Bab 11

    "Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua

  • Hantaran Lebaran   Bab 12

    Aku tercengang melihat halaman rumah yang telah dipenuhi dengan barang-barang elektronik dan berbagai perabot rumah. Ada sofa, kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Entah siapa yang membeli barang sebanyak itu? "Kembalikan pada orang itu. Saya tidak mau menerima semua ini!" pekik Mas Bima. Aku pun melangkah mendekati sumber suara. Mas Bima tengah berada di dekat pagar masuk, tatapannya tajam kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dapat kulihat kemarahan di sorot netranya. "Kamu kenapa, Mas?" Aku sentuh pundaknya yang bergerak naik dan turun. Sebisa mungkin aku hilangkan amarah yang bersemayam dalam rongga dadanya. Aku belum tahu pasti pokok permasalahan sehingga Mas Bima marah besar. Satu hal yang dapat kucerna, kemarahan Mas Bima ada sangkut pautnya dengan barang-barang ini. Sebenarnya siapa orang yang mengirim benda-benda mewah ini? "Sekali tolong masukkan barang-barang ini ke dalam mobil lalu bawa pergi.""Tapi, Mas... barang-barang ini sudah dibayar lunas. Bahkan tiap o

Bab terbaru

  • Hantaran Lebaran   Bab 33

    "Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur

  • Hantaran Lebaran   Bab 32

    "Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki

  • Hantaran Lebaran   Bab 31

    "Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be

  • Hantaran Lebaran   Bab 30

    "Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te

  • Hantaran Lebaran   Bab 29

    "Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj

  • Hantaran Lebaran   Bab 28

    "Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert

  • Hantaran Lebaran   Bab 27

    "Ngapain kamu di sini, Ratna?"Seketika aku dan ibu menoleh ke arah pintu. Mas Seno sudah berdiri sambil menatapku tajam. "Aku... aku.""Ratna merawat ibu," jawab ibu. Ibu menjawab seperti itu. Apa aku tidak salah dengar? "Ibu..." Mas Seno menatap penuh tanda tanya. Bahkan terkesan marah dengan sikap ibu terhadapku. Apa aku tak boleh dekat dengan ibu? Meski ibu bukan ibu kandungku. "Kenapa? Kamu kaget ibu bilang begitu?"Mas Seno mendekat, lalu duduk di ranjang, tepat di sebelah ibu. Aku sendiri berdiri dekat nakas. Lagi, kedua jemari saling terpaut karena rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menelusup. "Bu, dia itu anak kandung wanita yang telah merebut bapak dari kita? Dia anak istri kedua bapak. Wanita yang ibu benci seumur hidup." Mas Seno menatap lekat netra ibu. "Apa ibu lupa itu? Hem!"Detik ini hatiku bak diremas. Begitu bencikah Mas Seno terhadapku? Sehingga apa yang kulakukan selalu salah di matanya? "Iya memang benar anak kandung ibu itu kamu dan Jaka. Anak yang selal

  • Hantaran Lebaran   Bab 26

    "Tadi ada pihak rumah sakit yang meneleponku, Mas. Ibu pingsan saat menunggu obat. Ratna ke sana dan mengantar ibu pulang.""Lalu kenapa kamu tidak ikut pulang bersama Pak Agung?""Ratna tidak tega melihat ibu, Mas. Rumah berantakan, cucian segunung tapi ibu sendirian di rumah." Aku menunduk, memilin ujung hijab instan yang aku kenakan. Kali ini aku tak berani beradu pandang dengan suamiku. Helaan napas terdengar di telinga, meski tak terlalu jelas. Namun aku yakin, suara itu dari Mas Bima. Mungkin dia kecewa dengan sikapku yang tak tegaan. "Setelah apa yang mereka perbuat padamu? Kamu tetap mau membantunya, Dek?"Aku diam, tak mampu merangkai kata hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya. Bahkan aku sendiri tak tahu... kenapa masih memantu setalah berulang kali ibu menyakiti hatiku? Aku hanya membayangkan, sepi yang ibu rasakan karena orang yang kita sayang memilih pergi atau mengabaikan keberadaannya. Padahal keadaan ibu sedang tidak baik-baik saja. Ah, itu sangat menyak

  • Hantaran Lebaran   Bab 25

    "Makasih, Pak.""Saya ikut atau di parkiran saja?" tanyanya setelah membuka pintu mobil bagian belakang."Bapak tunggu di tempat parkir saja. Nanti saya hubungi jika mau pulang."Lelaki yang menjadi sopir kepercayaan ayah itu mengangguk, kemudian kembali masuk ke mobil. Perlahan mobil berjalan meninggalkan halaman depan lobi IGD rumah sakit. "Mau periksa, Mbak? Pendaftarannya, lewat sana!" ucap satpam yang berjaga di depan IGD. Pintu yang menuju ke IGD dan pendaftaran memang berbeda. Semua dirancang agar jalannya proses pendaftaran dan pengobatan tidak terhambat atau terkendala. "Bukan, Pak. Ibu saya ada di ruang IGD. Boleh saya masuk?""Oe, silakan Mbak. Maaf saya tidak mengetahuinya."Aku melangkah menuju tempat duduk suster dan dokter yang ada di ruang IGD. Sesekali melirik tempat evaluasi yang tertutup gorden berwarna biru muda. "Maaf, Mbak. Saya cari pasien atas nama Endang. Tadi pihak rumah sakit menghubungi saya.""Putrinya Bu Endang ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum. "

DMCA.com Protection Status