"Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku
"Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan
"Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua
Aku tercengang melihat halaman rumah yang telah dipenuhi dengan barang-barang elektronik dan berbagai perabot rumah. Ada sofa, kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Entah siapa yang membeli barang sebanyak itu? "Kembalikan pada orang itu. Saya tidak mau menerima semua ini!" pekik Mas Bima. Aku pun melangkah mendekati sumber suara. Mas Bima tengah berada di dekat pagar masuk, tatapannya tajam kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dapat kulihat kemarahan di sorot netranya. "Kamu kenapa, Mas?" Aku sentuh pundaknya yang bergerak naik dan turun. Sebisa mungkin aku hilangkan amarah yang bersemayam dalam rongga dadanya. Aku belum tahu pasti pokok permasalahan sehingga Mas Bima marah besar. Satu hal yang dapat kucerna, kemarahan Mas Bima ada sangkut pautnya dengan barang-barang ini. Sebenarnya siapa orang yang mengirim benda-benda mewah ini? "Sekali tolong masukkan barang-barang ini ke dalam mobil lalu bawa pergi.""Tapi, Mas... barang-barang ini sudah dibayar lunas. Bahkan tiap o
"Kamu ke sini mau ngapain, Ratna? Di sini tidak bisa ngutang lho, Rat!" ucapnya dengan suara sedikit keras. Seketika semua mata tertuju padaku. Bisik-bisik tak terelakkan. Semua orang yang ada di sekitarku menatap ke arahku. Lagi-lagi tatapan mengejek dan menghina mereka layangkan padaku. Apa orang sepertiku tak boleh berada di sini? Seketika tangan mengepal ke samping. Bahkan amarah mulai naik hingga ke pucuk kepala. Namun untuk kesekian kali aku memilih diam. Aku tidak ingin terjadi pertengkaran. "Kenapa diem, Rat? Bener ya, kamu mau ngutang?" Mbak Dita menutup mulutnya, ada tawa di balik telapak tangannya. "Mbaknya tahu saja di sini gak bisa ngutang. Jangan-jangan Mbak sudah pernah nyoba ngutang, ya?"Seketika wajah Mbak Dita memerah, tangannya mengepal, dan pundaknya naik turun. Tanpa mengatakan sesuatu dia pergi meninggalkan tempat ini. Ucapan Bu Susan mampu membungkam mulut julid Mbak Dita. "Makasih, Bu.""Sama-sama,Mbak. Sekali-kali lawan jika ada yang menyakiti kamu. Gak
"Kami antar, Mas Bima dan Mbak Ratna," ucap seorang lelaki yang mengantar suamiku ke klinik. Aku dan Mas Bima saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Meski ada keraguan karena terhalang biaya. Namun kesehatan Mas Bima jauh lebih penting. Dengan sepeda motor kami menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan aku terus menatap Mas Bima yang terus menahan tangan kirinya. Terlihat jelas ia berusaha menahan rasa sakit. Dari klinik ke rumah sakit membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Maklum klinik berada di perbatasan kampung sementara rumah sakit sedikit ke pusat kabupaten. Rumah sakit dipenuhi para pasien yang hendak berobat. Karena kebanyakan praktek dokter spesialis sore hati. Entah rumah sakit lain. "Saya hanya bisa mengantar sampai sini, Mas. Untuk biaya kami tidak bisa membantu.""Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah mengantar kami."Dua lelaki itu pun pergi meninggalkan aku dan Mas Bima di lobi rumah sakit. Sedikit ragu kami melangkah masuk. Setibanya di depan pendaftaran sem
"Saya tidak bisa memakai uang ini, Pak." Aku kembali memberikan amplop uang tersebut. "Karena Bima melarang kamu memakai atau menerima pemberianku?"Aku mengangguk pelan. Mas Bima memang kekeh melarangku menerima apa pun pemberian ayahnya. Sebagai istri aku harus mematuhi perintah suami. Meski aku berharap hubungan mereka membaik seiring berjalannya waktu. "Kalau kamu gak mau terima, dengan apa kamu membayar biaya rumah sakit Bima? Bukankah uang ini sudah ditunggu suami kamu, Ratna?"Aku membisu, tak ada kata yang mampu menjawab runtutan pertanyaan ayah Mas Bima. Bagaimana caranya aku membayar biaya rumah sakit, sedang uang dalam dompet hanya tersisa Rp. 200.000,-.Apa aku ambil saja amplop itu? Tapi kalau Mas Bima tahu bagaimana? Dia pasti akan marah dan kecewa karena aku melanggar perintahnya. Dua pilihan yang membuatku kebingungan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Dan aku tidak tahu harus memilih apa. "Ambilan Ratna, jangan bilang uang ini dariku.""Tapi ...."
"Lha sudah sepantasnya to." Budhe Tinah melirik ke arah ibu. "Kamu sudah jenguk Bima to, Bu Endang?""Em... itu anu."Ibu terlihat gelagapan. Mendadak butiran kristal memenuhi kening dan mungkin sekujur tubuhnya. Nah, bingung kan, Bu mau jawab apa? Malu jika semua orang tahu bagaimana sikap ibu padaku? Jangankan menjenguk, aku meminjam uang untuk membayar biaya rumah sakit saja ibu tak mau memberi. "Jangan-jangan kamu belum jenguk Bima, ya?""Sudah kok." Ibu melirik ke arahku. "Iya, kan Rat? Kemarin ibu dari rumahmu?"Aku mencebik, bisa-bisanya ibu berkata demikian. Aku lupa, ibu hanya ingin nama baiknya tak tercoret meski kenyataan berkata lain. "Ini kembaliannya, Mbak."Aku bernapas lega. Kedatangan penjual ayam bagai angin di bawah terik mentari. Akhirnya aku terbebas dari pertanyaan yang penuh dengan jebakan. "Saya pulang dulu, Bu, Budhe," ucapku setelah mendapatkan uang kembalian. Segera aku melangkah meninggalkan mereka. Setelah selesai berbelanja aku segera pulang. Motor ke
"Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur
"Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki
"Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be
"Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te
"Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj
"Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert
"Ngapain kamu di sini, Ratna?"Seketika aku dan ibu menoleh ke arah pintu. Mas Seno sudah berdiri sambil menatapku tajam. "Aku... aku.""Ratna merawat ibu," jawab ibu. Ibu menjawab seperti itu. Apa aku tidak salah dengar? "Ibu..." Mas Seno menatap penuh tanda tanya. Bahkan terkesan marah dengan sikap ibu terhadapku. Apa aku tak boleh dekat dengan ibu? Meski ibu bukan ibu kandungku. "Kenapa? Kamu kaget ibu bilang begitu?"Mas Seno mendekat, lalu duduk di ranjang, tepat di sebelah ibu. Aku sendiri berdiri dekat nakas. Lagi, kedua jemari saling terpaut karena rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menelusup. "Bu, dia itu anak kandung wanita yang telah merebut bapak dari kita? Dia anak istri kedua bapak. Wanita yang ibu benci seumur hidup." Mas Seno menatap lekat netra ibu. "Apa ibu lupa itu? Hem!"Detik ini hatiku bak diremas. Begitu bencikah Mas Seno terhadapku? Sehingga apa yang kulakukan selalu salah di matanya? "Iya memang benar anak kandung ibu itu kamu dan Jaka. Anak yang selal
"Tadi ada pihak rumah sakit yang meneleponku, Mas. Ibu pingsan saat menunggu obat. Ratna ke sana dan mengantar ibu pulang.""Lalu kenapa kamu tidak ikut pulang bersama Pak Agung?""Ratna tidak tega melihat ibu, Mas. Rumah berantakan, cucian segunung tapi ibu sendirian di rumah." Aku menunduk, memilin ujung hijab instan yang aku kenakan. Kali ini aku tak berani beradu pandang dengan suamiku. Helaan napas terdengar di telinga, meski tak terlalu jelas. Namun aku yakin, suara itu dari Mas Bima. Mungkin dia kecewa dengan sikapku yang tak tegaan. "Setelah apa yang mereka perbuat padamu? Kamu tetap mau membantunya, Dek?"Aku diam, tak mampu merangkai kata hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya. Bahkan aku sendiri tak tahu... kenapa masih memantu setalah berulang kali ibu menyakiti hatiku? Aku hanya membayangkan, sepi yang ibu rasakan karena orang yang kita sayang memilih pergi atau mengabaikan keberadaannya. Padahal keadaan ibu sedang tidak baik-baik saja. Ah, itu sangat menyak
"Makasih, Pak.""Saya ikut atau di parkiran saja?" tanyanya setelah membuka pintu mobil bagian belakang."Bapak tunggu di tempat parkir saja. Nanti saya hubungi jika mau pulang."Lelaki yang menjadi sopir kepercayaan ayah itu mengangguk, kemudian kembali masuk ke mobil. Perlahan mobil berjalan meninggalkan halaman depan lobi IGD rumah sakit. "Mau periksa, Mbak? Pendaftarannya, lewat sana!" ucap satpam yang berjaga di depan IGD. Pintu yang menuju ke IGD dan pendaftaran memang berbeda. Semua dirancang agar jalannya proses pendaftaran dan pengobatan tidak terhambat atau terkendala. "Bukan, Pak. Ibu saya ada di ruang IGD. Boleh saya masuk?""Oe, silakan Mbak. Maaf saya tidak mengetahuinya."Aku melangkah menuju tempat duduk suster dan dokter yang ada di ruang IGD. Sesekali melirik tempat evaluasi yang tertutup gorden berwarna biru muda. "Maaf, Mbak. Saya cari pasien atas nama Endang. Tadi pihak rumah sakit menghubungi saya.""Putrinya Bu Endang ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum. "