"Kami antar, Mas Bima dan Mbak Ratna," ucap seorang lelaki yang mengantar suamiku ke klinik. Aku dan Mas Bima saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Meski ada keraguan karena terhalang biaya. Namun kesehatan Mas Bima jauh lebih penting. Dengan sepeda motor kami menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan aku terus menatap Mas Bima yang terus menahan tangan kirinya. Terlihat jelas ia berusaha menahan rasa sakit. Dari klinik ke rumah sakit membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Maklum klinik berada di perbatasan kampung sementara rumah sakit sedikit ke pusat kabupaten. Rumah sakit dipenuhi para pasien yang hendak berobat. Karena kebanyakan praktek dokter spesialis sore hati. Entah rumah sakit lain. "Saya hanya bisa mengantar sampai sini, Mas. Untuk biaya kami tidak bisa membantu.""Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah mengantar kami."Dua lelaki itu pun pergi meninggalkan aku dan Mas Bima di lobi rumah sakit. Sedikit ragu kami melangkah masuk. Setibanya di depan pendaftaran sem
"Saya tidak bisa memakai uang ini, Pak." Aku kembali memberikan amplop uang tersebut. "Karena Bima melarang kamu memakai atau menerima pemberianku?"Aku mengangguk pelan. Mas Bima memang kekeh melarangku menerima apa pun pemberian ayahnya. Sebagai istri aku harus mematuhi perintah suami. Meski aku berharap hubungan mereka membaik seiring berjalannya waktu. "Kalau kamu gak mau terima, dengan apa kamu membayar biaya rumah sakit Bima? Bukankah uang ini sudah ditunggu suami kamu, Ratna?"Aku membisu, tak ada kata yang mampu menjawab runtutan pertanyaan ayah Mas Bima. Bagaimana caranya aku membayar biaya rumah sakit, sedang uang dalam dompet hanya tersisa Rp. 200.000,-.Apa aku ambil saja amplop itu? Tapi kalau Mas Bima tahu bagaimana? Dia pasti akan marah dan kecewa karena aku melanggar perintahnya. Dua pilihan yang membuatku kebingungan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Dan aku tidak tahu harus memilih apa. "Ambilan Ratna, jangan bilang uang ini dariku.""Tapi ...."
"Lha sudah sepantasnya to." Budhe Tinah melirik ke arah ibu. "Kamu sudah jenguk Bima to, Bu Endang?""Em... itu anu."Ibu terlihat gelagapan. Mendadak butiran kristal memenuhi kening dan mungkin sekujur tubuhnya. Nah, bingung kan, Bu mau jawab apa? Malu jika semua orang tahu bagaimana sikap ibu padaku? Jangankan menjenguk, aku meminjam uang untuk membayar biaya rumah sakit saja ibu tak mau memberi. "Jangan-jangan kamu belum jenguk Bima, ya?""Sudah kok." Ibu melirik ke arahku. "Iya, kan Rat? Kemarin ibu dari rumahmu?"Aku mencebik, bisa-bisanya ibu berkata demikian. Aku lupa, ibu hanya ingin nama baiknya tak tercoret meski kenyataan berkata lain. "Ini kembaliannya, Mbak."Aku bernapas lega. Kedatangan penjual ayam bagai angin di bawah terik mentari. Akhirnya aku terbebas dari pertanyaan yang penuh dengan jebakan. "Saya pulang dulu, Bu, Budhe," ucapku setelah mendapatkan uang kembalian. Segera aku melangkah meninggalkan mereka. Setelah selesai berbelanja aku segera pulang. Motor ke
"Terima kasih sudah meminjamkan uang untuk biaya rumah sakit tempo hari. Saya berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya, Bu.""Uang untuk biaya rumah sakit?""Iya, kata Ratna ibu yang meminjamkan uang."Ibu menatap ke arahku. Sejuta pertanyaan nampak jelas di sorot netranya. Aku mengedipkan mata, berharap kali ini ibu mengatakan iya. Ya... kali ini saja aku berharap dia mau membantuku. Selama ini bisa dihitung dengan jari ibu membantuku. Hanya bapak yang ada saat aku membutuhkan. Lainnya hanya mengganggapku beban. Kenyataannya memang benar, aku beban untuk mereka. "Eh... iya, Bim. Ibu kok lupa. Ibu yang meminjamkan uangnya. Pakai saja dulu, gak masalah kok."Seketika aku dapat bernapas lega. Meski ada kekecewaan dengan sikap ibu. Dia membanggakan apa yang sebenarnya tak ia lakukan. Tak ingatkan dia dengan penolakan dan pengusiran beberapa hari yang lalu. "Sekali lagi terima kasih, Bu."Ibu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah cukup puas berbincang dengan M
"Selingkuh?""Iya, kamu selingkuh, kan? Dari mana kamu mendapatkan uang banyak? Aku tadi ke rumah ibu, aku tidak sengaja mendengar dia berbicara dengan Mbak Dita di telepon. Dia bilang tidak pernah meminjamkan uang padamu."Aku menghirup oksigen lalu menghembuskannya perlahan. Sekuat tenaga aku atur emosi agar tak semakin tersulut dan menghancurkan segalanya. Selingkuh... bisa-bisanya dia menuduhku menduakan cintanya? "Apa benar, kamu memiliki pria idaman lain dan uang yang kamu gunakan untuk membayar rumah sakit itu dari dia?""Aku gak pernah selingkuh, Mas. Gak pernah!" "Lalu dari siapa uang itu, Ratna? Kenapa teman Mas melihat kamu berbicara dengan seorang lelaki di dekat warung Bu Arini?""Kamu ingin tahu siapa dia, Mas? Dia itu ayah kamu. Ayah kandung kamu, Mas Bima. Dia datang kemari untuk mendengar kabar tentang kamu. Dan uang yang aku gunakan ... uang itu dari ayah kamu, Mas!"Lepas semua beban yang menempel di pundak beberapa bulan ini. Memang lebih baik berkata jujur mesk
Aku menggeleng pelan setelah membaca pesan dari Mbak Dita. Entah apa alasan hingga ia begitu membenciku? Hingga selalu mendoakan hal buruk atas apa yang kami capai. Sejak ia masuk ke dalam keluarga kami, tak sekali pun Mbak Dita menganggapku ada. Dia hanya memanggilku saat membutuhkan tenagaku, selebihnya dia hanya membisu. Aku tak heran dan sadar diri, di dunia ini bukan persaudaraan yang dicari, melainkan banyaknya materi. "Udah salat belum, Dek?"Aku menoleh, menatap lelaki yang kini berdiri di mulut pintu. Seketika kenangan bersama mbak Dita lenyap begitu saja. "Eh, belum, Mas." Aku letakkan ponsel di atas meja. "Lihat apa sih? Kok sampai lupa belum salat ashar?" Mas Bima mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia menghela napas ketika membaca pesan dari Mbak Dita. Aku memang belum keluar dari aplikasi berwarna hijau itu, ponsel hanya kututup. "Mikirin omongan Mbak Dita?" tanyanya seraya menatap lekat netra ini. "Motornya dikembaliin ke ayah saja kalau begitu.""Jang
"Atas bukti apa, Bapak menuduh istri saya?" tanya Mas Bima penuh penekanan. Aku tahu, dia tengah berusaha menahan gejolak amarah dalam dada. "Kalau bukan Ratna siapa lagi? Hanya dia yang ada di rumah tadi?""Anda yakin jika kehilangan jam tangan hari ini? Bukan kemarin atau lusa?"Lelaki yang duduk di samping Bu Susan itu terdiam. Pasti dia tengah berpikir sejak kapan ia kehilangan benda berharga itu. "Papa yakin menaruhnya di laci? Jangan-jangan gak papa bawa pulang lagi?""Papa ingat kok, Ma. Em... aku taruh di laci.""Coba diingat-ingat lagi, Pa. Gak baik menuduh orang tanpa bukti."Suami Bu Susan kembali diam. Lagi-lagi dia berusaha mengingat benda penting yang menjadi perdebatan. "Papa yakin, Ma. Ada di dalam laci kok.""Sudah dicari di rumah, Bu? Barang kali terjatuh atau lupa menaruhnya." Aku mencoba memberi usul. Karena aku sendiri tak pernah melihat benda mahal yang baru saja lelaki itu katakan. Bagaimana aku mengambil jika barangnya saja tidak tahu. Tuduhan itu benar-ben
"Pa! Papa!" pekik Dita seraya berlari menuju teras. Perempuan yang mengenakan setelan rayon itu tengah mencari suaminya. Dia hendak memberikan kabar bahagia untuk mereka. Dia menoleh kanan dan kiri. Namun lelaki yang ia cari belum jua ia temukan. "Di mana sih?" Dita menghentakkan kaki, kesal karena tak menemukan seseorang yang dicari. "Papa!" panggil Dita untuk kesekian kalinya. Namun lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena Seno tak jua mendengar panggilannya. Dita melangkah meninggalkan teras depan. Sembari memanggil nama Seno, ia berjalan menuju teras belakang. Dia berharap dapat menemukan suaminya di sana. Perempuan itu tak sabar untuk menceritakan kabar bahagia pada suaminya. "Ya ampun, dari tadi aku manggil, tapi kamu gak denger?" Dita menyilangkan kedua tangan di dada. Netranya menetap tajam lelaki yang tengah duduk sambil membaca koran. Seno memang lebih menyukai membaca koran dari pada berselancar di media sosial. Baginya membaca koran sambil menikmati segelas kopi
"Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur
"Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki
"Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be
"Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te
"Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj
"Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert
"Ngapain kamu di sini, Ratna?"Seketika aku dan ibu menoleh ke arah pintu. Mas Seno sudah berdiri sambil menatapku tajam. "Aku... aku.""Ratna merawat ibu," jawab ibu. Ibu menjawab seperti itu. Apa aku tidak salah dengar? "Ibu..." Mas Seno menatap penuh tanda tanya. Bahkan terkesan marah dengan sikap ibu terhadapku. Apa aku tak boleh dekat dengan ibu? Meski ibu bukan ibu kandungku. "Kenapa? Kamu kaget ibu bilang begitu?"Mas Seno mendekat, lalu duduk di ranjang, tepat di sebelah ibu. Aku sendiri berdiri dekat nakas. Lagi, kedua jemari saling terpaut karena rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menelusup. "Bu, dia itu anak kandung wanita yang telah merebut bapak dari kita? Dia anak istri kedua bapak. Wanita yang ibu benci seumur hidup." Mas Seno menatap lekat netra ibu. "Apa ibu lupa itu? Hem!"Detik ini hatiku bak diremas. Begitu bencikah Mas Seno terhadapku? Sehingga apa yang kulakukan selalu salah di matanya? "Iya memang benar anak kandung ibu itu kamu dan Jaka. Anak yang selal
"Tadi ada pihak rumah sakit yang meneleponku, Mas. Ibu pingsan saat menunggu obat. Ratna ke sana dan mengantar ibu pulang.""Lalu kenapa kamu tidak ikut pulang bersama Pak Agung?""Ratna tidak tega melihat ibu, Mas. Rumah berantakan, cucian segunung tapi ibu sendirian di rumah." Aku menunduk, memilin ujung hijab instan yang aku kenakan. Kali ini aku tak berani beradu pandang dengan suamiku. Helaan napas terdengar di telinga, meski tak terlalu jelas. Namun aku yakin, suara itu dari Mas Bima. Mungkin dia kecewa dengan sikapku yang tak tegaan. "Setelah apa yang mereka perbuat padamu? Kamu tetap mau membantunya, Dek?"Aku diam, tak mampu merangkai kata hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya. Bahkan aku sendiri tak tahu... kenapa masih memantu setalah berulang kali ibu menyakiti hatiku? Aku hanya membayangkan, sepi yang ibu rasakan karena orang yang kita sayang memilih pergi atau mengabaikan keberadaannya. Padahal keadaan ibu sedang tidak baik-baik saja. Ah, itu sangat menyak
"Makasih, Pak.""Saya ikut atau di parkiran saja?" tanyanya setelah membuka pintu mobil bagian belakang."Bapak tunggu di tempat parkir saja. Nanti saya hubungi jika mau pulang."Lelaki yang menjadi sopir kepercayaan ayah itu mengangguk, kemudian kembali masuk ke mobil. Perlahan mobil berjalan meninggalkan halaman depan lobi IGD rumah sakit. "Mau periksa, Mbak? Pendaftarannya, lewat sana!" ucap satpam yang berjaga di depan IGD. Pintu yang menuju ke IGD dan pendaftaran memang berbeda. Semua dirancang agar jalannya proses pendaftaran dan pengobatan tidak terhambat atau terkendala. "Bukan, Pak. Ibu saya ada di ruang IGD. Boleh saya masuk?""Oe, silakan Mbak. Maaf saya tidak mengetahuinya."Aku melangkah menuju tempat duduk suster dan dokter yang ada di ruang IGD. Sesekali melirik tempat evaluasi yang tertutup gorden berwarna biru muda. "Maaf, Mbak. Saya cari pasien atas nama Endang. Tadi pihak rumah sakit menghubungi saya.""Putrinya Bu Endang ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum. "