"Pa! Papa!" pekik Dita seraya berlari menuju teras. Perempuan yang mengenakan setelan rayon itu tengah mencari suaminya. Dia hendak memberikan kabar bahagia untuk mereka. Dia menoleh kanan dan kiri. Namun lelaki yang ia cari belum jua ia temukan. "Di mana sih?" Dita menghentakkan kaki, kesal karena tak menemukan seseorang yang dicari. "Papa!" panggil Dita untuk kesekian kalinya. Namun lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena Seno tak jua mendengar panggilannya. Dita melangkah meninggalkan teras depan. Sembari memanggil nama Seno, ia berjalan menuju teras belakang. Dia berharap dapat menemukan suaminya di sana. Perempuan itu tak sabar untuk menceritakan kabar bahagia pada suaminya. "Ya ampun, dari tadi aku manggil, tapi kamu gak denger?" Dita menyilangkan kedua tangan di dada. Netranya menetap tajam lelaki yang tengah duduk sambil membaca koran. Seno memang lebih menyukai membaca koran dari pada berselancar di media sosial. Baginya membaca koran sambil menikmati segelas kopi
"Ratna, ngapain kamu ke sini? Jadi pelayan kamu?" tanya Dita dengan mata menata tajam ke arahku. "Bu Dita, kenal dengan menantu saya?"Seketika kami menoleh ke arah yang sama. Ayah melangkah mendekat dengan senyum yang tak pernah pudar. Ya, semenjak kami tinggal di sini, ayah terlihat bahagia. Tidak ada sorot kekecewaan yang pernah nampak di netranya. "Me--menantu, maksud Bapak bagaimana ya?" tanya Mbak Dita terbata. Raut wajah kakak iparku mendadak pucat. Keangkuhan yang sejak tadi nampak hilang dalam sekejap. Kini hanya tersisa ketakutan. "Bima itu anak kandung saya. Dan Ratna menantu saya.""A--apa!"Mbak Dita terdiam seketika. Dia terus menatapku dan Mas Bima bergantian. Seolah tak percaya dengan ucapan ayah. "Bapak yakin? Setahu saya Bima itu yatim piatu?""Yakin. Itu hanya kesalahpahaman saja.""Pa ...." Mbak Dita menarik tangan Mas Seno yang sedari diam membisu. "Kenapa jadi begini?" Mas Seno diam, hanya gelengan kepala yang menggambarkan jawaban dari pertanyaan itu. Mbak
"Adik ipar? Aku gak salah dengar kan, Mbak?" Aku melepas tangan yang melingkar di perut. "Ya enggaklah. Kamu kan adiknya Mas Seno. Jelas adikku juga."Aku tersenyum datar lalu menggeleng pelan. Bahkan aku ingin tertawa mendengar perkataannya. Dulu saat aku tak punya jangankan peluk, memanggil dengan intonasi lembut saja tak pernah. Namun sekarang sikapnya berubah 180 derajat. Harta dan kekayaan dapat mengubah watak dan sifat seseorang, seperti Mbak Dita. "Kamu dari mana, Rat?" tanyanya dengan mata fokus menatap katung plastik di tangan kiriku. "Dari toko alat dan bahan jahit." Aku melangkah menuju sofa berwarna merah bata yang terletak tak jauh dari pintu utama. "Duduk, Mbak!" pintaku pada perempuan yang masih mematung di dekat pintu. Mbak Dita segera menjatuhkan bobot di sofa panjang tak jauh dari tempatku duduk. Perempuan yang seumuran denganku itu terus mengawasi setiap inci rumah ini. Dia begitu kagum dengan interior rumah ayah. "Ada perlu apa Mbak Dita datang kemari?" tanyak
"Siapa, Mas?"Mas Bima menghela napas lalu menggeleng pelan. "Adalah salah satu karyawan ayah." Mas Bima kembali melangkah menuju kamar. "Aku mandi dulu, Dek."Aku mengangguk, membiarkan dia masuk ke dalam kamar mandi. Aku tidak terlalu menanggapi ucapannya tadi. Dalam bisnis akan selalu ada masalah, entah dari dalam atau luar. Aku duduk di kursi yang ada di balkon. Menatap ribuan bintang ada di langit. Malam ini cuaca cerah hingga aku dapat melihat indahnya malam yang berhiaskan bulan dan bintang. "Sedang apa, Dek?" Aku menoleh, menatap Mas Bima yang tengah menengok ke arahku. Kepalanya sedikit menyembul di pintu. "Lihat bintang, Mas. Indah, ya?" Aku kembali menatap atas, melihat malam yang dihiasi jutaan bintang. "Keluar yuk, Dek. Cari angin malam."Tanpa menjawab aku segera beranjak dari kursi. Dengan cepat aku masuk kamar. Tak lupa aku kunci pintu dan menutup gorden berwarna abu tersebut. Aku begitu antusias menerima ajakan Mas Bima. Gamis hitam dan hijab instan warna soft p
Aku melirik benda bulat yang menempel di diding, masih pukul empat sore. Aku beranjak, melangkah perlahan menuju dapur. Sebuah dapur sederhana yang terletak tak jauh dari kamar mandi. Bukan dapur dengan berbagai jenis perabot yang ada. Namun hanya kompor dan beberapa alat masak. Itu pun sudah tak layak pakai. Segera kuambil sebuah tempe yang ada di atas meja. Tempe dengan bungkus plastik yang akan menemani buka puasa hari ini. Sesaat kutatap tempe itu, tak terasa sesak memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak sedih jika kami hanya berbuka dengan lauk seadanya. Jangankan kolak, kami berbuka hanya dengan nasi dan tempe goreng saja. Bukan aku pelit atau perhitungan. Namun uang yang diberikan Mas Bima tak cukup untuk membeli ayam apa lagi kurma. Sesak memang tapi itu kenyataan yang harus aku jalani. Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tepis rasa iri yang sempat menyelimuti hati. Harusnya aku bersyukur karena bisa makan dua kali sehari meski hanya dengan lauk seada
"Coba lihat, Rat!" Mbak Dita menarik tanganku hingga kantung plastik yang aku genggam terlepas. Jatuh semua isinya di lantai. Untung saja gula masih utuh meski terbentur dengan lantai keramik. "Nah bener, kan, Pa." Mbak Dita tersenyum sinis. Tatapan mengejek ia layangkan padaku. Aku tahan air mata yang hendak berseluncur bebas lalu mendarat di pipi. Biarlah mereka berbicara sesuka hati. Toh memang benar hanya gula dan teh yang mampu kuberikan untuk ibu. Aku mengambil satu persatu isi kantung plastik dan meletakkannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan hempers pemberian Mas Seno dan Mas Jaka. Langkah tanganku seketika berhenti kala melihat tiga hempers untuk ibuku. Dari sini aku paham, hanya aku yang tidak mampu memberikan hantaran lebaran terbaik. Aku anak yang belum bisa membahagiakan orang tua. "Kenapa, Rat? Baru sadar jika hantaran lebaran kamu yang terburuk? Harusnya sebagai anak perempuan satu-satunya kamu bisa memberi lebih baik, Ratna."Aku membisu, perkataan Mbak Di
"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku. "Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu. "Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno. "Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku. "Ayo, Mas!"Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terla
Krucuk ... Krucuk.... "Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami? "Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu.""Iya, Budhe," jawabku datar. Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada. "Dimakan dulu, Rat."Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang. "Budhe mau bi